Bahkan sebelum pandemi Covid-19, kita sering mendengar bahwa dunia membutuhkan sains dan teknologi. Namun, setahun belakangan, kita makin merasakan betapa esensialnya peranan para ilmuwan dan tenaga kesehatan di garda terdepan penanganan wabah ini. Begitu pula pentingnya profesi seperti ahli matematika, data scientist, dan programmer dalam membangun teknologi digital yang memungkinkan sekolah dan (sebagian) pekerjaan dapat dilakukan secara jarak jauh.
Cabang ilmu pasti atau eksakta yang kerap disebut sebagai STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) seringkali dipandang sebagai bidang yang membawa solusi konkrit bagi permasalahan yang dihadapi manusia. Namun di berbagai budaya, bidang ini seringkali dianggap sebagai ‘wilayah’ laki-laki.
Padahal sejumlah studi menemukan bahwa perempuan cenderung lebih cerdas dan berbakat di bidang STEM ketimbang laki-laki. Menurut salah satu penelitian, pandangan ini muncul karena adanya pengaruh budaya maskulin yang menganggap laki-laki secara alamiah lebih superior dan kompeten di bidang STEM dibandingkan dengan perempuan.
Data dari UN menunjukkan bahwa secara keseluruhan di seluruh dunia, proporsi lulusan perempuan di bidang STEM lebih kecil daripada laki-laki. Namun, di sejumlah negara, perbedaan antara lulusan laki-laki dan perempuan (gender gap) lebih mencolok dari yang lainnya. Menariknya, dari data yang sama, Indonesia justru ada di antara negara-negara dengan proporsi lulusan perempuan di bidang STEM yang relatif tinggi.
Apakah ini merupakan angin segar dalam perjuangan perempuan mencapai kesetaraan di berbagai bidang?
Dalam upaya mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, kita dihadapkan pada sejumlah kenyataan. Pertama, bicara mengenai kesetaraan adalah bicara mengenai dimensi yang sangat kompleks. Di dalam isu gender misalnya, juga ada isu ras dan perjuangan kelas sosial.
Selain itu, kalau kita lihat dalam perspektif yang lebih luas, proporsi lulusan perempuan di bidang STEM yang relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain tidak bisa menjadi satu-satunya indikator untuk mengukur perbaikan kesetaraan gender. Apalagi jika kita melihat studi yang dilakukan oleh Stoet dan Geary yang menemukan bahwa negara-negara dengan tingkat kesetaraan gender yang rendah justru memiliki lebih banyak perempuan dengan gelar akademik di bidang STEM.
Sebaliknya, negara yang memberikan kesempatan pendidikan dan pemberdayaan yang lebih baik, serta mendorong partisipasi perempuan di bidang STEM, justru memiliki lulusan perempuan yang lebih rendah di bidang tersebut.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi kondisi ini. Pertama, pekerjaan di bidang STEM rata-rata bergaji lebih tinggi dari non-STEM. Hal ini membuat perempuan di negara dengan tingkat kesetaraan gender yang rendah cenderung memilih untuk menempuh karir di bidang yang menjanjikan kebebasan finansial, yaitu STEM.
Peningkatan pendapatan dan perbaikan ekonomi adalah jalan yang dirasa paling mudah bagi mereka. Dengan kondisi keuangan yang meningkat, mereka mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik pula, sehingga memperbesar kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Sementara itu, negara dengan tingkat kesetaraan yang tinggi umumnya merupakan ‘welfare states’ yang memberikan jaminan dan fasilitas perlindungan sosial yang tinggi. Dengan demikian, perempuan di negara-negara tersebut, tidak mengejar profesi di bidang STEM semata-mata untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dan jaminan masa depan. Oleh karena itu, di negara-negara tersebut, perempuan memiliki kebebasan untuk mencari pekerjaan dan karir di bidang yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Pilihan yang luas membuat mereka lebih mungkin untuk menjadi filsuf, pelukis, atau musisi.
Bicara tentang pilihan, dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender bukannya membuat perempuan tidak terdorong untuk mengejar karir di bidang STEM. Tapi, hal itu justru memungkinkan mereka untuk tidak memilih profesi tersebut, jika memang tidak tertarik.
Sayangnya, kesenjangan rasio perbandingan lulusan perempuan dan laki-laki di bidang STEM masih diperburuk dengan kenyataan bahwa rasio gender pekerja di bidang STEM lebih timpang lagi. Menurut suatu hasil penelitian di AS, sebanyak 43% perempuan memutuskan untuk berhenti kerja di bidang STEM setelah memiliki anak pertama. Di samping itu, pekerja perempuan juga mengalami sejumlah hambatan yang mendorong mereka untuk meninggalkan bidang STEM.
Lingkungan kerja dengan budaya maskulin yang sangat kuat seringkali tidak mendukung dan menghargai kontribusi perempuan. Dengan jumlahnya yang sedikit, perempuan menjadi minoritas di bidang ini. Mereka juga menghadapi berbagai isu, seperti diskriminasi, kurangnya mentor, dan isu work-life balance. Banyak dari mereka yang mengaku kelelahan menanggung beban berlebih untuk membuktikan kompetensi di bidang ini. Mereka pun cenderung lebih sulit untuk memperoleh kesempatan untuk meningkatkan karir meskipun sudah bekerja lebih.
Tingginya proporsi lulusan perempuan di bidang STEM di Indonesia memang berkorelasi dan bisa jadi merupakan sinyal dari tingginya ketidaksetaraan gender. Namun, upaya kita untuk membawa lebih banyak perempuan di bidang ini, tidak boleh surut.
Partisipasi perempuan di STEM penting untuk membawa perspektif yang lebih inklusif pada penemuan dan terobosan yang dihasilkan. Inovasi di bidang STEM dapat lebih bermanfaat, lebih aman, dan mengakomodasi kebutuhan berbagai gender dengan memasukkan pandangan perempuan.
Intervensi Pemerintah diperlukan sejak dini untuk mendorong kesetaraan gender. Sehingga tingginya proporsi perempuan lulusan STEM di Indonesia dapat menjadi enabler dalam perekonomian dan menjadi pendorong produktivitas.
Pertama, pemberian nutrisi yang adekuat dan vaksinasi yang lengkap pada seribu hari pertama kehidupan harus dijamin oleh negara melalui penguatan peran Puskesmas dan Posyandu. Kualitas kesehatan yang baik sejak dini diharapkan dapat memaksimalkan potensi anak-anak Indonesia dan produktivitas mereka di masa depan.
Kedua, selain menyediakan akses pendidikan yang merata, diperlukan peningkatan kualitas pendidikan usia dini hingga tinggi. Berbagai studi menunjukkan hubungan yang kuat antara pendidikan usia dini dan produktivitas saat dewasa. Karena itu, pemerintah pusat dan daerah perlu untuk bersama-sama menambah jumlah PAUD di seluruh Indonesia, memperpanjang jam belajar, dan mewajibkan anak usia 4 - 7 tahun untuk menempuh pendidikan tersebut.
Selain memberikan manfaat jangka panjang untuk anak-anak, pendidikan usia dini memberikan manfaat langsung kepada orang tua. Menurut penelitian Cameron dkk (2020) kecenderungan stagnasi partisipasi perempuan di Indonesia dalam dunia kerja diakibatkan oleh pernikahan dan pengasuhan anak. Oleh karena itu, tersedianya pendidikan usia dini memungkinkan orang tua fokus dan tenang bekerja karena anak-anak berada pada tempat yang aman.
Ketiga, pemerintah pusat dan daerah dapat memberikan insentif kepada perusahaan yang mendorong kesetaraan gender di tempat kerja termasuk menghilangkan diskriminasi berbasis gender. Penyediaan tempat penitipan anak di kawasan industri atau perkantoran dipercaya bisa memberikan solusi bagi perempuan pekerja khususnya di bidang STEM.
Data berbicara, perempuan cenderung lebih cerdas dan berbakat di bidang STEM ketimbang laki-laki. Siapa tahu dengan lebih banyak perempuan bekerja di bidang tersebut kita bisa menghasilkan penemuan besar yang mengubah dunia ke arah yang lebih baik? Who knows?