Memasuki revolusi industri 4.0, dunia pendidikan Indonesia dihadapkan pada tuntutan penyediaan sarana pendidikan berbasis kecanggihan teknologi. Untuk menjawab tantangan tersebut, diskursus tentang integrasi teknologi ke dunia pendidikan telah digaungkan di awal 2020 berupa kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka. Berdasarkan Peraturan Mendikbud No. 3 Tahun 2020, Kampus Merdeka memberikan hak kepada mahasiswa untuk belajar selama tiga semester di luar program studinya sehingga mahasiswa dapat memperkaya wawasan serta kompetensinya di dunia nyata sesuai dengan passion-nya (Kemdikbud, 2020). Desain perkuliahan dan kurikulum Kampus Merdeka juga mulai memasukkan nilai keunggulan industri 4.0 dan konten digital yang aplikatif.
Pada dasarnya, Kampus Merdeka merupakan wadah yang tepat untuk upskilling (akselerasi keterampilan) generasi muda Indonesia, khususnya para sarjana, mengingat angka pengangguran dari kelas sarjana mengalami kenaikan sebesar 25% dari 2017 ke 2019 (BPS, 2020). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2020), salah satu penyebab lulusan sarjana menganggur adalah keterampilan tidak sesuai kebutuhan. Di sisi lain, dibutuhkan setidaknya enam bulan untuk membentuk sebuah skill baru dan ada banyak skill yang harus dikuasai sebelum memasuki dunia profesional. Sayangnya, konsep dan implementasi kebijakan Kampus Merdeka sebagai sistem penyiapan tenaga kerja dirasa masih memerlukan sejumlah inovasi untuk mendukung upskilling para calon sarjana, termasuk peningkatan kolaborasi universitas-industri sebagai bentuk strategi link and match.
Dalam rangka meningkatkan serapan tenaga kerja, sebenarnya pemerintah telah memberlakukan program link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan industri di Indonesia, disertai dengan diklat 3in1, pembangunan infrastruktur, sertifikasi kompetensi, serta mencetak SDM industri 4.0 (Kemenperin, 2018). Sayangnya pada 2019-2020, lulusan SMK menempati posisi pertama dalam jumlah pengangguran terbuka, disusul lulusan diploma di posisi kedua (BPS, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa praktik link and match belum berhasil dalam menekan angka pengangguran, baik di level vokasi maupun diploma, sehingga diperlukan terobosan atas praktik link and match bagi sarjana.
Praktik link and match melalui kolaborasi antara kampus dengan industri telah dilakukan di banyak negara dengan bentuk kerjasama yang berbeda-beda, salah satunya adalah pembentukan learning hub, atau yang lebih dikenal sebagai knowledge hub dalam konsep pembangunan oleh World Bank (2013). Learning hub menurut Selinger (2013) adalah sebuah lingkungan pembelajaran berbasis teknologi yang didukung oleh komponen fisik dan virtual dalam menyediakan kesempatan untuk belajar bersama dengan berbagai latar belakang. Dalam konteks kolaborasi kampus-industri, learning hub dapat diwujudkan melalui pembimbingan (mentorship), pembentukan pusat kajian (research centre), program magang, pelatihan dan lokakarya. Hal ini dirasa jauh lebih efektif dibandingkan strategi link and match yang diterapkan pada jenjang vokasi.
Pembimbingan mahasiswa oleh dosen dan tenaga profesional dari suatu industri dapat dilakukan dengan mengundang tenaga profesional tersebut untuk memberikan kuliah tamu, pelatihan, atau lokakarya keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri tersebut. Di era serba digital seperti saat ini, kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan mengadopsi konsep massive open online course (MOOC) atau program pelatihan Kartu Prakerja. Berawal dari kegiatan-kegiatan tersebut, mahasiswa akan dapat berkomunikasi lebih lanjut dengan tenaga profesional sehingga dapat memperbesar peluang kolaborasi antar pelaku, yakni para mahasiswa, tenaga professional dan dosen dalam mengembangkan usaha atau memajukan industri terkait. Dalam jangka panjang, melalui pembentukan learning hub, bukan tidak mungkin untuk meniru kesuksesan duo Hewlett-Packard mendirikan perusahaan mereka di Silicon Valley yang berawal dari ide keduanya saat belajar di Stanford University dengan bimbingan dari Professor Terman (Silicon Valley Historical Association, 2008).
Dalam penerapannya, learning hub diharapkan dapat diakses oleh mahasiswa sejak awal perkuliahan. Dengan berbagai program yang digagas oleh Kampus Merdeka seperti magang ataupun riset melalui learning hub, mahasiswa diharapkan dapat mengenali dunia profesional sejak dini. Persiapan pembentukan kemampuan mereka pun diharapkan dapat lebih matang dibandingkan jika program ini diterapkan di akhir masa perkuliahan. Masa perkuliahan yang biasanya diisi dengan pembelajaran di kelas dapat dipadukan dengan pengerjaan proyek melalui sistem blended learning, di mana beragam proyek yang dapat dikerjakan akan diintegrasikan melalui learning hub. Learning hub sendiri sudah dibangun di atas pondasi digitalisasi pendidikan, sehingga program ini dengan sendirinya akan meningkatkan literasi digital mahasiswa untuk bersaing di era Industri 4.0.
Pembentukan pusat kajian dapat menjadi perwujudan learning hub yang sangat potensial, tentunya dengan ketersediaan waktu dan dukungan sumber daya yang optimal. Setidaknya ada tiga manfaat utama yang dihasilkan dari keberadaan pusat kajian kolaborasi ini. Pertama, peningkatan aktivitas kajian aplikatif yang berangkat dari kebutuhan industri sehingga dapat digunakan untuk pengembangan teknologi dan perbaikan performa industri ke depannya. Kedua, pusat kajian dapat mewadahi para mahasiswa yang berminat untuk melakukan penelitian ataupun pengabdian masyarakat, serta para tenaga pendidik yang ingin menyalurkan ide-idenya dalam bentuk penelitian. Ketiga, pusat kajian dapat menyerap tenaga kerja yang “sudah dipersiapkan” sejak perkuliahan, baik dalam bentuk tenaga ahli, peneliti, maupun pemagang. Perpanjangan periode Kampus Merdeka menjadi lebih dari tiga semester akan sangat mungkin dilakukan dengan keberadaan inovasi kolaboratif ini, dengan harapan para calon sarjana lebih siap untuk berkompetisi di dunia kerja.
Terlepas dari potensi dan keunggulan learning hub itu sendiri, ide adaptasi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk penyiapan tenaga kerja melalui implementasi kebijakan Kampus Merdeka akan menuntut sejumlah persiapan, di antaranya pematangan regulasi, penyusunan silabus, hingga perencanaan yang tepat terkait mekanisme kolaborasi kampus-industri. Selain itu, persyaratan lainnya adalah motivasi tinggi dari dosen untuk meningkatkan literasi teknologi mereka, serta yang terpenting adalah semangat belajar para calon sarjana dalam meningkatkan keterampilan mereka sebelum terjun ke persaingan kerja di era industri 4.0.
Hal lain yang perlu diingat adalah isu mahasiswa yang akan menjadi pekerja murah di industri. Oleh karena itu, setidaknya ada dua ranah yang dapat dipilih mahasiswa di awal perkuliahan: menempuh jalur akademisi atau menjadi profesional di setting industri. Bagi mahasiswa yang bercita-cita menjadi seorang akademisi, kampus dapat memfasilitasinya melalui pusat kajian atau proyek penelitian kolaborasi. Sedangkan mahasiswa yang memilih untuk menekuni jalur industri berhak memilih industri sesuai kapabilitas dan minatnya. Sebagai contoh, kampus dapat bekerjasama dengan bank untuk peningkatan skill perbankan atau perusahaan farmasi untuk peningkatan skill apoteker.
Sebagai penutup, perlu digarisbawahi bahwa pada dasarnya peran kampus sangat signifikan dalam menjembatani kebutuhan industri sekaligus dalam membantu mahasiswa untuk memilih karir yang sesuai dengan passion-nya. Oleh karena itu, ekstensifikasi Kampus Merdeka melalui learning hub sudah semestinya menjadi panggung bagi kampus untuk memimpin proses link and match dengan mencetak sarjana berkualitas yang siap bersaing di era Industri 4.0.