Pembicara Terpilih IDF 2019: Evan Filbert Dorong Pemulung TPA Galuga Menjadi Pengusaha Sampah

October 14, 2019

Evan Filbert

Pembicara terpilih IDF 2019, Evan Filbert mengangkat praktik baik wirausaha sosial rintisannya di Desa Galuga sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga, Cibungbulang, Bogor Jawa Barat, lewat paparannya berjudul “Poverty and Waste, is It Crucial? The Role of Social Entrepreneurship in Ending Poverty and Waste Problem”. Evan menyebut dari 438 TPA di Indonesia, baru sekitar 10 persen TPA yang sudah mengolah dengan baik sampahnya, seperti di Surabaya, Makassar, dan Balikpapan. Menurut Evan, untuk TPA yang belum mengelola sampah,   pemerintah setempat bisa mengadaptasi konsep yang mengkolaborasikan tiga aspek, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan, seperti pilot project di Desa Galuga.

“Kewirausahaan sosial sebagai fenomena global tentu dapat membawa perubahan sosial untuk membangun solusi atas permasalahan sosial secara berkelanjutan dan menciptakan social value bagi masyarakat,” jelas Evan, mahasiswa jurusan Teknik Industri di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Selain berhasil dipilih menjadi pembicara IDF 2019, Evan berprestasi dalam berbagai kegiatan.  Awal 2019, Evan magang di PT. Indah Kiat Pulp & Paper  Tbk. Tangerang hingga meraih predikat sangat baik. Pada 2018, Evan masuk dalam Top 20 INDENIC Industrial Engineering Integrated Competition. Dalam proyeknya di Galuga, Evan mendapat pendanaan dari Kemenristekdikti untuk program Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pendistribusian Sampah Organik dan Non Organik dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Desa Galuga, Kabupaten Bogor

Belajar dari praktik di Galuga ini, kata Evan, pandangan sampah sebagai bencana harus diubah. Perspektif baru yang perlu dikembangkan yakni sampah sebagai sumber daya yang mampu menciptakan peluang pendapatan masyarakat. 

 

Mengubah Pola Kerja Pemulung di Galuga

Setiap hari, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga menerima pengiriman sampah dari 300 lebih truk sampah. Dikutip dari Ayobogor.com,  per hari sekitar 475 ton sampah dibuang ke TPA Galuga.

Dalam surveinya, Evan menyebut, 30 persen penduduk Desa Galuga bekerja sebagai pemulung.

“Mereka hanya menjual limbah yang mereka dapat dan menukarnya dengan harga yang sangat murah. Setelah itu, sisa sampah yang tidak bernilai jual akan diratakan oleh alat berat sehingga tidak akan menjadi gunung sampah yang tinggi,”  jelas Evan.

Menurut Evan, potensi sampah di TPA Galuga sangat besar dan bisa dijadikan peluang bisnis untuk menambah penghasilan. Berangkat dari anggapan ini, proyek Evan di Galuga mulai dibangun.

“Langkah konkret implementasi program meliputi survei dan persiapan, pembinaan, implementasi, pemantauan, dan evaluasi,” lanjut Evan.

Dalam program ini, Evan memberikan pelatihan dan pendampingan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat Desa Galuga. Pelatihan mencakup pemilahan sampah, pengolahan sampah organik menjadi pupuk, pengolahan limbah anorganik menjadi plastik cacah, dan pengelolaan bank sampah termasuk organisasi bank sampah, proses transaksi, laporan, dan aliran dana dari bank sampah. Evan menyebut lewat program ini, masyarakat mendapatkan keahlian dalam mengelola limbah hingga terampil dalam memasarkan produk dan mengelola keuangan.

“Hasil dari program ini dapat memberikan prospek luar biasa untuk masa depan, mengingat masalah mengenai kemiskinan dan volume sampah yang cukup kompleks dan sulit untuk dipecahkan,” tegas Evan.

Kelompok Desa Galuga yang tergabung dalam pilot project Evan mampu mengolah limbah hingga satu ton per hari. Menurut Evan, jika proyek ini melibatkan lebih banyak orang dan di banyak TPA, maka akan mengurangi volume limbah secara signifikan. Dari sudut pandang ekonomi, harga jual limbah plastik kotor (sebelum diolah) adalah Rp. 3.000 hingga Rp. 5.000 / kilogram. Tetapi, setelah diolah menjadi plastik cincang, harganya mencapai Rp. 10.000 hingga Rp. 15.000 / kg.

“Melalui manajemen yang baik tentu dapat memberikan dampak ekonomi yang baik. Melalui program ini, diharapkan masyarakat dapat secara mandiri membuka peluang bisnis dan dapat membuka pekerjaan baru,” lanjut Evan.

 

Mengadaptasi Konsep di Galuga

 Untuk menjalankan wirausaha sosial pengolahan sampah, Evan mengajak pemerintah menginisiasi lima aspek pengolahan sampah, dari peraturan, kelembagaan, pembiayaan, partisipasi masyarakat, hingga teknologi yang digunakan untuk pengolahan sampah. Agar efektif, dibutuhkan pembekalan untuk masyarakat kurang mampu dan rentan berupa keterampilan kewirausahaan berbasis pengembangan ekonomi lokal dan pemanfaatan sumber daya lokal berbasis sampah sebagai sumber penghidupan berkelanjutan.  Ini membutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak, seperti Kantor Sanitasi dan Lingkungan, Pemerintah Daerah, kelompok kader, dan mitra bisnis juga diperlukan untuk mendukung keberlanjutan program. Kolaborasi perlu dilakukan untuk menciptakan kader-kader pengolahan untuk mengajak masyarakat secara aktif mengolah sampah.

“Kuncinya adalah harus melakukan community assistance (pendampingan secara berkala pada masyarakat) dan konsisten pada praktik pengolahan sampah,” tegas Evan.

Cerita tentang pilot project Evan di Galuga dipresentasikan di sesi Inclusive Digital Economy  Accelerator Space (IDEAS) Imagine Fostering Social Enterprises, di Indonesia Development Forum (IDF) 2019  pada 22  Juli. Evan mengembangkan Sub-tema 6 Membina Para Pelaku Usaha Sosial dari rangkaian tema besar IDF 2019: Mission Possible:  Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif.