Pembicara Terpilih IDF 2019: Ahmad Lutfi Karim Ajak Siswa Belajar Programming Lewat Aplikasi Online ProdEd
September 26, 2019Upaya meningkatkan kemampuan penerapan teknologi, termasuk programming, harus dimulai sejak dini agar bisa menyiapkan dan memudahkan proses transfer ilmu. Demikian pendapat Pembicara Terpilih Indonesia Development Forum (IDF) 2019, Ahmad Lutfi Karim. Menurut lelaki yang biasa disapa Lutfi ini, pengenalan dan pembiasaan terhadap programing sejak dini akan menumbuhkan pola pikir problem solver (berorientasi solusi). Pemberian materi disesuaikan dengan perkembangan usia. Lutfi menyampaikan hal ini dalam paparan berjudul ProEd (Programming Education) sebagai Program Unggulan Peningkatan Human Capital Menghadapi Bonus Demografi Indonesia 2030.
“ProEd merupakan program peningkatan keahlian siswa di bidang pemrograman yang bersifat vokasional, menekankan pada implementasi coding di lingkungan sekolah mulai dari SD hingga SMA,” jelas Lutfi.
Mahasiswa jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada ini mengaku sangat berminat mendalami isu pengembangan teknologi dan industri kreatif. Lutfi juga menaruh perhatian terhadap masalah sosial, terutama tentang nutrisi dan pendidikan. Dia pernah memenangi Kompetisi Menulis Youth Leadership Connection 2019 dan tahun lalu meraih juara pertama penulisan esai tentang Industrial Revolution 4.0 di UGM. Dalam paparan tentang ProdEd ini, Lutfi berkolaborasi dengan mahasiswa UGM lainnya, Muhammad Fawwaz Mayda.
ProEd yang ditawarkan Lutfi dan Fawwaz Mayda adalah aplikasi online pembelajaran pemrograman berbasis web yang bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Lutfi berharap, ProEd mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang kesiapan teknologi untuk mendukung efisiensi pekerjaan sekaligus mendorong peningkatan profit yang signifikan. Menurut Lutfi, program ini akan berdampak pada peningkatan upah tenaga kerja.
Pembekalan Pemrograman Secara Berjenjang
Layaknya materi sekolah pada umumnya yang memiliki tujuan dan tingkat kesulitan yang berjenjang, ProEd juga akan membagi modul belajar berdasarkan jenjang pendidikan SD hingga SMA berdasarkan umur 5-16 tahun.
“ProEd nantinya akan dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan siswa baik SD, SMP, dan SMA. Tetapi, pembagian ini tidak bersifat terbatas sehingga siswa yang memiliki kemampuan lebih dapat mencoba modul pembelajaran yang lebih sulit,” tulis Lutfi dalam paparannya.
Untuk kategori Sekolah Dasar, ProEd akan menggunakan online tools seperti Tynker.com. Platform online ini untuk siswa dapat bereksperimen menggunakan bahasa pemrograman sederhana, misalnya untuk mengendalikan sebuah karakter game dalam menyelesaikan misinya. Kategori Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) bisa memulai percobaan pemecahan masalah matematika atau fisika dengan bantuan programming. Lutfi menerangkan, anak-anak SMP dan SMA bisa diajari cara penerapan bahasa Javascript dan Phyton dalam pemrograman dasar, serta web developing dengan HTML atau CSS. Para pengajar juga perlu diberikan training pelatihan untuk memudahkan penerapannya di bidang lain.
“Dari sisi kurikulum, harus dirumuskan kembali dengan rinci dan jelas; kompetensi yang tepat bagi setiap jenjang pendidikan,” kata Lutfi lagi.
Implementasi ProEd dijabarkan dalam tiga garis besar. Pertama, Student Centered Learning Concept yang mengharuskan siswa mencoba langsung hasil pekerjaannya di browser. Hasil pekerjaan siswa tersebut akan diberikan penilaian langsung oleh sistem yang sebelumnya akan melakukan pengujian terhadap hasil pekerjaan mereka.
Kedua, penerapan bahasa JavaScript atau Python. Penggunaan tools bahasa pemrograman dalam berinovasi dan menyelesaikan masalah karena kedua bahasa tersebut sangatlah multi fungsi dan tidak memerlukan instalasi software yang terlalu berat.
Ketiga, penerapan ProEd diutamakan pada sekolah yang berlokasi di perkotaan yang telah didukung infrastruktur digital dan sumber daya teknis yang memadai.
Lutfi menyadari Penerapan ProEd akan membutuhkan usaha yang besar, terutama saat memasukkan dalam kurikulum pendidikan. Bahkan, untuk menanamkan pola pikir terkait pentingnya edukasi pemrograman juga membutuhkan usaha lebih besar.
“Juga perlu infrastruktur digital seperti penyediaan internet yang mudah diakses,” katanya.
Namun Lutfi optimistis perkembangan teknologi yang massif di Indonesia sangat mungkin untuk mengembangkan ProEd.
Pengembangan ProdEd ke Berbagai Bidang
Menurut Lutfi, pengetahuan dan aplikasi vokasional tentang pemrograman akan mendukung siswa menerapkan secara langsung ide yang dimiliki tanpa harus melalui banyak perantara yang berisiko memupuskan gagasan. ompetensi dasar coding yang dibawa ProdEd juga harus disesuaikan dengan pola pikir problem solver. Artinya, bisa dikembangkan dan digunakan untuk bidang kesehatan, pangan, perikanan, dan lain-lain
“Dengan skill coding yang diajarkan oleh ProEd, nantinya mereka dapat mengaplikasikannya dalam pemrograman di bidang-bidang lain seperti pemrograman dalam pemberian pakan lele melalui aplikasi berbasis Internet of Things,” Lutfi mencontohkan.
Lutfi menampilkan hasil karyanya tentang ProdEd dalam sesi Ideas and Innovation Marketplace Co-Creating and Collaborating, IDF 2019 pada 22 Juli. Paparannya selaras dengan sub-tema IDF 2019, Reformasi Sistem Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (TVET) untuk Pekerjaan Masa Depan. Utamanya, terkait merancang kurikulum
Bappenas Paparkan Proyeksi Ekonomi Biru di Indonesia Development Forum 2023
Bappenas Paparkan Proyeksi Ekonomi Biru di Indonesia Development Forum 2023
Road to IDF 2023: Komitmen Bappenas Optimalkan Potensi Ekonomi Biru Berkelanjutan Di Papua dan Indonesia
Road to IDF 2023: Komitmen Bappenas Optimalkan Potensi Ekonomi Biru Berkelanjutan Di Papua dan Indonesia
Bappenas Pastikan Blue Economy Jadi Prioritas Kerja Sama Negara ASEAN
Tweets by IDDevForum