Pembicara Terpilih IDF 2019: Kalvin Sandabunga Tawarkan Kurikulum Wajib Wirausaha untuk Sekolah Menengah Atas

September 25, 2019

Selama ini kurikulum kewirausahaan bagi jenjang sekolah menengah atas masih bersifat pilihan dan materinya sangat terbatas. Menurut Pembicara Terpilih IDF 2019 Kalvin Sandabunga, sebaiknya kewirausahaan menjadi kurikulum wajib semua sekolah menengah atas.

“Wajib SMK dan SMA dan bukan hanya untuk IPS, tapi juga untuk semua jurusan. Tapi, untuk tahap awal mungkin dimulai dari ibukota provinsi,” kata Kalvin yang memaparkan karya berjudul “Introducing the Entrepreneurship Curriculum to Improve High School Graduates’ Entrepreneurial Skills: A Case Study of a Private School in Makassar”.

Kalvin Sandabunga bekerja sebagai Koordinator Kurikulum dan Pelatih Guru di Sekolah Dian Harapan Makassar, milik Yayasan Pendidikan Pelita Harapan. Kalvin sangat tertarik pada dunia pendidikan, pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Kalvin merupakan lulusan Universitas Pelita Harapan jurusan Pendidikan Biologi.

Berbekal Beasiswa Australia Awards Indonesia, Kalvin mendapat gelar Master of Education in Expert Teaching Practice dari Monash University, Australia.  Ia bergabung dengan sejumlah lembaga untuk penelitian tentang pendidikan dan pengajaran.

Lewat paparannya, Kalvin menjelaskan pendidikan kewirausahaan bukan selalu untuk mengarahkan anak menjadi pengusaha, tapi karena belajar kewirausahaan memberi sejumlah keuntungan.

“Ada tiga keuntungan yaitu pertama, learning skill meliputi creative thinking, critical thinking, kemampuan untuk berkolaborasi dan berkomunikasi,” katanya. 

Kedua, kewirausahaan mendorong siswa menguasi teknologi dan media.

Ketiga, membangun live skill seperti leadership soft skill dan social skill

Ketiga keunggulan itu, kata Kalvin, tergambar dalam praktik kurikulum kewirausahaan yang diberikan kepada siswa di SMA Dian Harapan, Makassar, Sulawesi Selatan, tempatnya mengabdi. 

“Jadi ini yang dilakukan Sekolah Dian Harapan sejak 2016 dan hasilnya ada peningkatan di tiga ranah itu,” tegasnya.

Kalvin mengatakan pendidikan kewirausahaan harus lebih kontekstual. Kalvin mencontohkan, di Sekolah Dian Harapan Makasar dengan mayoritas siswa berlatar belakang keluarga pengusaha, diarahkan ke perdagangan atau distributor.

“Nah, kalau di desa misalnya, bagaimana mengolah bahan mentah menjadi produk yang lebih siap pakai dan siap jual. Mengolah hasil tani, atau petani, misalnya singkong atau pisang dimasak bervariasi dengan packaging bagus,” jelas Kalvin. 

 

Menekankan Praktik Usaha 

Pendidikan kewirausahaan harus lebih banyak menekankan praktik usaha. Kalvin merinci pelajaran wirausaha di Sekolah Dian Harapan dalam satu tahun.  Pada semester pertama lebih banyak teori dan riset. Memasuki semester kedua, siswa harus mulai praktik lapangan.

“Mulai dengan membuat business plan, lalu dieksekusi, branding barang, berdagang, kemudian ada kalkulasi keuangan, selanjutnya presentasi,” rinci Kalvin.

Di Sekolah Dian Harapan, siswa IPS lebih banyak mempraktikkan bisnis makanan dan produk kerajinan,

“Nah, siswa IPA ada yang membuat produk pembersih wastafel dan lain-lain, sesuai apa yang mereka pelajari,” katanya.

Siswa menjalankan hampir semua tahapan praktik bisnis walaupun dalam skala kecil. Untuk memastikan siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran, semua kegiatan mulai dari tahap perencanaan hingga tahap tindak lanjut dicatat dalam jurnal kemajuan.

Siswa menjelaskan kemajuan rencana bisnis mereka selangkah demi selangkah. Setiap pengembangan yang dicapai siswa, dipantau dan ditindaklanjuti oleh guru. Selain itu, instrumen pendukung yang mereka gunakan untuk memasarkan produk mereka juga didokumentasikan dengan baik.

“Ketika para siswa mulai merancang produk, memeriksa lokasi penjualan, dan bahkan ketika mereka sudah mulai memasarkan produk, mereka mendokumentasikannya dalam bentuk foto dan video,” tambahnya.

Begitu juga untuk melihat dampak kelas kewirausahaan ini, harus ada laporan akhir yang berisi laporan keuangan dan evaluasi kelompok yang dapat digunakan sebagai penilaian otentik.

“Laporan dan evaluasi kelompok dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana rencana bisnis telah dicapai dibandingkan dengan hasil yang diperoleh,” papar Kalvin.

Penguasaan teknologi yang dimiliki oleh siswa semakin terasah dan lengkap. Siswa menjalankan praktik merancang selebaran, poster atau video, membuat maskot dan merek, serta menggunakan media sosial sebagai platform untuk pemasaran produk.

Sekolah Dian Harapan telah menyurvei siswa, orangtua, dan guru terkait hasil belajar wirausaha. Para orangtua menyebut anak-anak mereka tertarik dengan apa yang dikerjakan. Dampaknya pada siswa yakni mereka semakin mandiri.

“Mereka tidak manja lagi. Para orangtua memberikan testimoni anak-anaknya lebih menghargai uang, seperti sadar ternyata cari duit susah. Jadi kita tak boleh asal minta lalu menghabiskan,” tambahnya.

Kalvin menyampaikan paparannya pada sesi IDF 2019 Imagine, Reforming the Vocational  Education and Training (TVET) System  for Future Jobs pada 23 Juli 2019. Penelitian Kalvin menjabarkan bahasan poin merancang kurikulum TVET untuk mempersiapkan generasi berikutnya sesuai kebutuhan angkatan kerja masa depan,  yang ada di Sub-tema 2: Reformasi Sistem Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (TVET) untuk Pekerjaan Masa Depan.  Diskusi tentang TVET menjadi rekomendasi kebijakan penting dari rangkaian tema besar IDF 2019, “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”.