Geliat pertanian di Indonesia dari tahun ke tahun tak menunjukkan progres yang signifikan. Sebagai negara agraris, pertumbuhan sektor pertanian justru cenderung menurun beberapa tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pada periode 2012-2016, pertumbuhan pertanian mengalami tren penurunan. Pada 2012, pertumbuhan pertanian di angka 4,59 persen. Dua tahun berselang, pertumbuhan pertanian merosot menjadi 4,24 persen. Pada 2016, pertumbuhan pertanian menyentuh angka 3,25 persen.
Kondisi demikian tak lepas dari penurunan pertumbuhan pada setiap sektor pendukung pertanian. Mulai dari tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, jasa pertanian dan perburuan, kehutanan, hingga perikanan. Hampir semua subsektor pertanian tersebut mengalami tren penurunan periode 2012-2016. Penurunan pertumbuhan yang paling tampak adalah subsektor tanaman pangan yang pernah berada di angka 0,06 pada 2014.
Dalam periode yang sama, BPS mencatat pergerakan tenaga kerja dan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian juga merosot. Pada 2012, tenaga kerja sektor pertanian sebanyak 35,86 juta jiwa. Sedangkan pada 2016, menurun menjadi 31,82 juta jiwa. Begitu pun dengan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Pada 2012 masih berada di angka 40,63 juta jiwa, namun 2016 sebanyak 38,03 juta jiwa.
Tak cukup sampai di situ, hasil produk pertanian dua tahun terakhir juga menurun. Kementerian Pertanian mencatat harga gabah kering panen pada 2016 senilai Rp 4.617 per kilogram sementara pada 2017 seharga Rp 4.615. Adapun harga beras pada 2016 rata-rata Rp 9.107 per kilogram, sedangkan pada 2017 turun senilai Rp 8.960 per kilogram. Situasi tersebut membuat para petani di Indonesia tak sejahtera.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian pada 2017 mengungkapkan kesejahteraan petani menurun. Berdasarkan kajian survei sosial ekonomi nasional BPS periode 2012-2016, kondisi rumah tangga pertanian menurun sebesar 0,31 persen. Yang mengejutkan, penghasilan para petani juga sangat rendah yaitu sekitar Rp 12,41 juta per tahun. Padahal masih banyak penduduk Indonesia yang bekerja sebagai petani.
Konsep Minimarket Pertanian
Menurut penulis, sektor pertanian tak akan maju apabila tidak ada kebijakan inovatif yang ditempuh oleh pemerintah. Keberadaan Koperasi Unit Desa (KUD) pun hanya menjadi icon yang tak memiliki peran besar bagi pertumbuhan pertanian. Maka dari itu, perlu adanya konsep inovatif mendorong terciptanya kesejahteraan petani yang berimbas pada peningkatan pertumbuhan pertanian.
Penulis menawarkan pembangunan Minimarket Berbasis Agrikultur Terpadu (Mini Barter) sebagai solusi peningkatan kesejahteraan petani untuk mencapai pertumbuhan sektor pertanian yang optimal. Mini Barter adalah konsep yang mengadopsi minimarket pada umumnya. Dalam Mini Barter, petani bisa menjual produk-produk panennya tanpa harus melalui tengkulak. Sebab, selama ini harga jual produk pertanian kerap diatur oleh para tengkulak. Sehingga dengan mekanisme penjualan langsung ke Mini Barter sekaligus memotong rantai tengkulak yang sering memainkan harga.
Mini Barter nantinya juga bisa dibangun untuk dikelola oleh KUD di setiap wilayah. Mini Barter pertanian itu dapat menjadi unit usaha dari setiap KUD wilayah. Penulis meyakini penjualan produk pertanian melalui Mini Barter akan menguntungkan para petani. Sebab, produk-produk hasil panen sektor pertanian bisa dijual mengikuti harga pasar tanpa adanya ikut campur dari para tengkulak. Dengan begitu, para petani memiliki daya tawar lebih tinggi dibanding harus menjual hasil pertanian mereka ke tengkulak.
Meski begitu, penulis menyadari tak mudah untuk membangun konsep minimarket pertanian dengan istilah Mini Barter. Maka dibutuhkan sejumlah langkah agar pembangunan Mini Barter dapat terwujud. Ada empat langkah yang bisa ditempuh mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Keempat langkah tersebut harus dilakukan dengan menggandeng kementerian dan lembaga yang bersinggungan.
Pertama, mencanangkan program Mini Barter kepada seluruh KUD di Indonesia. Misalnya menyiapkan langkah sosialisasi program dengan mematangkan konsep Mini Barter. Mengkoordinasikan pihak-pihak yang akan terlibat dalam pendirian Mini Barter. Sekaligus menyusun anggaran dana yang dibutuhkan dalam program ini.
Kedua, Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian Pertanian bisa menggandeng pemerintah daerah, KUD, dan petani untuk mengorganisasikan peluncuran Mini Barter. Menjelaskan tugas dan wewenang pihak-pihak yang terlibat di dalam program tersebut.
Ketiga, pemerintah bisa memberikan pinjaman sebagai modal awal pendirian Mini Barter kepada KUD dengan sistem monitoring dan evaluasi. Pinjaman itu sekaligus menjadi langkah awal bagi para KUD untuk mulai mendirikan Mini Barter di masing-masing daerah. Pemerintah daerah bersama KUD diberikan otoritas untuk mendirikan Mini Barter sesuai dengan kebutuhan dan wilayah yang mereka anggap menjadi prioritas pendirian minimarket tersebut.
Adapun langkah yang bisa dilakukan adalah menentukan tempat strategis untuk pendirian Mini Barter, melakukan survei terhadap produk-produk pertanian yang dibutuhkan untuk dijual di Mini Barter tersebut. KUD juga dapat memberdayakan masyarakat dengan cara merekrut karyawan yang berasal dari lingkungan sekitar Mini Barter berdiri. Selain itu perlu menetapkan harga jual hasil pertanian kepada konsumen Mini Barter.
Dalam penetapan harga jual hasil pertanian, penulis menyarankan untuk menerapkan strategi price targeting untuk masing-masing Mini Barter. Yaitu menetapkan harga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan taraf hidup masyarakat di daerah masing-masing. Tim Harford dalam bukunya Detektif Ekonomi (2009; 58) menyatakan strategi ini adalah memadukan upaya meningkatkan laba dengan perilaku yang wajar. Artinya, Mini Barter bisa memasang harga produk pertanian menyesuaikan harga pasar minimarket pada umumnya. Dengan asumsi, pembeli adalah masyarakat yang kalangan menengah ke atas yang memiliki profesi bukan sebagai petani.
Penetapan strategi price-targeting ini dilakukan berdasarkan pertimbangan yang jelas. Hasil-hasil pertanian yang dijual di Mini Barter merupakan hasil pertanian para petani lokal dengan kualitas terjamin. Dari segi desain, Mini Barter juga harus disesuaikan dengan konsep minimarket yang sudah ada. Mini Barter harus memiliki standar operasional prosedur ketat dalam kegiatan operasionalnya. Seperti pelayanan yang baik, ruangan yang bersih, dan penerapan manajemen risiko yang terencana. Selain itu, menyediakan aneka produk kebutuhan pertanian dan kebutuhan sehari-hari.
Terakhir, adalah pengendalian dari kegiatan operasional Mini Barter. Kontrol bisa dilakukan oleh tim khusus dari Kementerian Koperasi dan UKM atau Kementerian Pertanian di masing-masing daerah. Pengendalian bertujuan untuk mendampingi kegiatan Mini Barter agar tetap akuntable dan tranpsaran. Selain itu perlu langkah pengawasan agar tidak ada tindak penyelewengan dana pinjaman dari pemerintah pusat dalam pendirian Mini Barter. Penulis optimistis dengan konsep tersebut maka kondisi pertanian di Indonesia akan maju dan mampu mensejahterakan para petani.