Akses terhadap sanitasi yang layak bukan saja merupakan hak semua manusia, tetapi juga sangat penting untuk kelangsungan hidup, dan dignity/martabat seseorang. Kelompok marginal, terutama penyandang disabilitas dalam banyak konteks tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan, kegiatan dan peluang untuk mempengaruhi proses pembangunan sanitasi.
Pentingnya sanitasi yang inklusif
Sebagai negara dengan jumlah pelaku Buang Air Besar Sembarangan terbesar ke dua di Dunia, urusan sanitasi bukanlah hal sepele. Pemerintah Indonesia menjadikan hal ini sebagai urusan penting yang dinyatakan dalam target Universal Access 2019. Masalah sanitasi ini ini diserbu oleh Kementrian PU melalui program (Sanitasi Berbasis Masyarakat) SANIMAS dan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) serta Kementrian Kesehatan melalui program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Dari segi presentasi, program – program ini berhasil. Sejak tahun 2014, akses sanitasi telah meningkat dari 52.43% menjadi 68.11% di akhir 2017, dan di NTT sendiri, akses sanitasi meningkat sebesar 19.41% menurut website STBM yang menggunakan data sensus (http://stbm-indonesia.org).
Tetapi apakah kita benar – benar sedang melangkah menuju universal akases seperti mandat RPJMN yang diturunkan dari cita – cita SDGs? Apakah kita sedang bekerja untuk menjamin sanitasi untuk semua? Saya rasa, PR kita masih banyak. Jika kita benar – benar ingin mengejar universal access, kita harus memikirkan sanitasi yang inklusif. Sanitasi inklusif bukan hanya milik orang kaya, bukan hanya dapat diakses oleh orang yang mampu baik secara fisik, tetapi sudah saatnya kita memikirkan akses sanitasi bagi saudara – saudara kita dari kelompok marginal dan yang berkebutuhan khusus. Tujuannya agar kita tidak mengulangi kesalahan MDGs yang hanya mengejar target pencapaian akses tanpa meperhatikan akses bagi semua.
Mengapa sanitasi yang universal atau inklusif itu penting? Pertama - tama, karena sanitasi yang inklusif itu sudah merupakan mandat RPJMN dan cita – cita SDGs tujuan ke 6. Kemudian, menurut hasil Laporan Program STBM dari PLAN International Indonesia, program sanitasi yang inklusif dapat meningkatkan rasa percaya diri kelompok marginal dalam berkontribusi secara positif dalam masyarakat, bahkan untuk dapat terlibat dalam kepemimpinan. Selain itu, program sanitasi yang inklusif juga dapat secara positif memengaruhi sikap publik terhadap penyandang disabilitas. Ditambah lagi, program sanitasi yang inklusif juga membawa keuntungan bagi kelompok perempuan yang sering juga termarginalkan dalam perencanaan pembangunan yang memperikan pengaruh positif terhadap kesetaraan gender.
Apa yang telah dilaksanakan di NTT untuk mengusahakan sanitasi yang lebih inklusif?
Pelaksanaan program sanitasi yang lebih inklusif di NTT diawali oleh pelaksanaan program STBM yang lebih inklusif di sejak tahun 2014 dengan dukungan PLAN International Indonesia. Upaya pelaksanaan sanitasi yang lebih inklusif ini dimulai dari memicu untuk perubahan perilaku di tingkat masyarakat dengan adanya diskusi tambahan khusus dengan kelompok marginal untuk memperolah informasi yang lebih dari mereka mengenai keluhan dan kebutuhan mereka, selain itu mereka juga diikut sertakan dalam kegiatan - kegiatan di masyarakat jika memungkinkan. Dalam menjamin supply, diadakan pula pelatihan wirausaha sanitasi dengan desain khusus untuk penyandang disabilitas. Dan untuk menjamin keberlanjutan pelaksanaan program sanitasi yang inklusif, adanya peraturan sanitasi inklusi dalam bentuk Roadmap STBM, bukan hanya di Kabupaten, tetapi juga di tingkat provinsi.
Saat pelaksanaan sanitasi di tingkat rumah tangga di desa sudah inklusif melalui STBM, bagaimana dengan pelaksanaan sanitasi di perkotaan? Bekerjasama dengan Satuan Kerja Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP) NTT melalui program PPSP, disepakati agar review penyusunan Strategi Sanitasi Kota/Kabupaten (SSK) tahun ini mengikutsertakan unsur kesetaraan gender dan inklusi sebagai bahan review kualitas dokumen SSK. Dengan demikian, di akhir tahun 2018, akan ada 4 Kabupaten di NTT yang SSKnya sudah lebih inklusif.
Akses terhadap sanitasi itu menyangkut diginity/martabat. Saat merancang program yang tidak universal atau tidak inklusif, kita sedang merebut dignity/martabat dari kelompok marginal. Ketika di daerah sudah bergerak ke arah pelaksanaan sanitasi yang lebih inklusif, sudah saatnya pemerintah pusat bergerak ke arah yang sama. Oleh karena itu, sangat diharapkan agar PERMENKES No 3 tahun 2014 tentang STBM di revisi sehingga tahapan pelaksanaan STBM dapat menjadi lebih inklusif untuk menjamin akses sanitasi bagi semua. Begitu pula dengan panduan SSK dalam PPSP, perlu direvisi agar unsur inklusi dan kesetaraan gender dapat menjadi perhatian.