• Muhammad Ivan
    Muhammad Ivan
    Penulis lahir pada 5 September 1981. Kuliah S1 diselesaikan di prodi Pendidikan Luar Sekolah (sekarang Pendidikan Masyarakat) di Universitas Negeri Jakarta dan S2 pada prodi Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia. Pemikiran dan penalaran tumbuh berkembang melalui organisasi penalaran Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ. Saat ini bekerja sebagai PNS di Kemenko PMK.

Guru Garis Depan dan Pertaruhan Nyawa Seorang Penjelajah

June 11, 2018

Dari tanggal 7 sampai 18 Desember 2015 dengan jeda dua hari untuk bercengkrama bersama keluarga, saya berkesempatan mengikuti kegiatan monev Guru Garis Depan (GGD) yang diselenggarakan Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud. Sebanyak 798 GGD ditempatkan di wilayah-wilayah terdepan Indonesia yang terdiri dari 28 kabupaten yang berada di 4 (empat) provinsi, yakni Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Aceh. Daerah penempatan GGD terletak di pelosok daratan atau pulau yang selama ini luput dari perhatian kebanyakan orang.

Dua wilayah yang saya monitoring,  Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Raja Ampat memiliki medan yang sulit pula untuk untuk dilewati. Ada perasaan gelisah sepanjang perjalanan. Di Aceh Singkil, saya menggunakan jasa ojek untuk ke Robin (perahu kecil) yang akan mengantar kami (ditemani GGD) menyusuri sungai menuju Kuala Baru. Sungai itu dikenal dengan tempat para buaya muara hidup dan beruntungnya, saat itu hujan, sehingga banyak buaya yang urung memperlihatkan diri.

Di Raja Ampat, dengan kondisi pulau yang jauh antar satu dengan lainnya menjadikan saya hanya mampir ke beberapa pulau, salah satunya Pulau Saunex yang rata-rata penduduknya menjadi nelayan. Untuk makan, guru melaut untuk hidangan makan sehari-hari. Hampir tidak ada makanan, selain menyantap ikan segar tiap malam selama saya bermalam di Raja Ampat. 

Aceh Singkil yang sudah menjadi kabupaten sejak tahun 1999 bahkan dalam catatan Kemendes (2015) masih berstatus daerah tertinggal. Rata-rata penduduk bermatapencaharian sebagai pencari lokan (kerang sungai). Begitupula dengan Raja Ampat, belum dapat lepas dari status daerah tertinggal, meskipun memiliki daya tarik pariwisata.

Peran GGD

GGD menjadi bagian vital untuk memberikan pengaruh di bidang pendidikan yang dapat memperkecil ketertinggalan daerah terutama di sektor pembangunan manusia. Salant & Waller (1998) misalnya, memberikan penjelasan tentang penelitian dan publikasi mengenai dampak non-pendidikan pada sekolah dalam komunitas pedesaan, singkatnya bahwa hubungan sekolah-masyarakat berdampak pada banyak aspek, salah satunya memiliki dampak ekonomi dan sosial yang positif bagi masyarakat dan mengembangkan sumber daya masyarakat sebaik menawarkan layanan sosial.  Kualitas GGD yang sudah ditempa melalui penempatan dalam jalur SM3T selama satu tahun dianggap sebagai modal yang cukup bagi GGD untuk bertugas mendidik dan memberdayakan masyarakat.

Namun penting untuk dicermati bahwa dari hasil monitoring ditemukan bahwa sebagian GGD masih dirasakan eksklusif di mata masyarakat bahkan ada guru mitra yang menggangap kehadiran GGD sebagai bentuk persaingan. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru yang mengajar di daerah terpencil (diambil The Faculty of Education Professional Experience Unit)).

Pertama,  understanding school and community contexts of teaching. Konteks sekolah dan komunitas dalam mengajar di daerah terpencil tentu berbeda dengan sekolah yang pada umumnya. Kearifan lokal, status sosial ekonomi, dan faktor alam menjadi alasan bahwa GGD harus memiliki kapasitas kelimuan yang tidak kaku, gaya pengajaran yang berbasis budaya, dan kemampuan untuk menyadari segala keterbatasan siswa seperti ketiadaan transportasi dan minimnya fasilitas dan media pembelajaran. 

Kedua, working with Indigenous children and staff. Bekerja bersama dengan anak-anak pribumi dan staf lainnya (guru mitra/kepala sekolah). Terkadang bahasa dan budaya yang berbeda menjadi kendala dan seringkali disalahpahami, itu mengapa dari awal GGD harus mengetahui dan mempelajari bahasa dan budaya yang jauh berbeda dengan budaya tempat tinggalnya.

Ketiga, living, working and learning in isolated/remote communities. Komunitas terpencil membutuhkan guru yang dapat hidup, bekerja, dan belajar di daerah terpencil. Untuk itu, GGD seharusnya dapat menjadi bagian dari masyarakat yang tinggal di tengah masyarakat. Inilah salah satu kendala, karena masyarakat banyak yang menilai bahwa GGD sangat jarang terlibat dalam kegiatan kewargaan.

Keempat, understanding reciprocity. Kapasitas mengajar harus ditunjang pula dengan kemampuan GGD untuk berdiskusi (berkomunikasi) dengan siswa. Umpan balik dan rangsangan sangat dibutuhkan untuk mengecek pemahaman siswa terhadap materi yang sedang dipelajarinya. Dalam hal ini, siswa diberikan kebebasan berkomunikasi untuk menjelaskan idenya dan mendengarkan ide temannya.

GGD Tahap I sebagai Pioner

Bukan untuk membandingkan, namun Australia Barat dapat menjadi contoh untuk menjamin kualitas pendidikan di daerah terpencil dengan didukung oleh kualitas fasilitas dan sarana yang menunjang program tersebut. Australia Barat memiliki program guru untuk daerah terpencil melalui The Remote Teaching Service yang terdiri dari kelompok yang berdedikasi lebih dari 200 guru yang tinggal dan bekerja di 38 masyarakat terpencil di Australia Barat.

Mereka memberikan program pendidikan yang fleksibel dan inovatif untuk memastikan siswa di daerah terpencil tidak dirugikan oleh lokasi mereka dan memiliki akses ke program pembelajaran berkualitas tinggi. Guru yang mengajar di daerah terpencil tersebut memiliki layanan satelit dan akses internet, banyak guru yang telah bekerja di The Remote Teaching Service mengatakan bahwa menjadi guru di daerah terpencil merupakan puncak dari karir mengajar mereka, dan yang lebih menggembirakan sewa rumah tidak dikenakan biaya alias gratis, belum lagi sekolah menyediakan mobil berkaliber 4wd yang siap menjelajah medan yang sulit ditembus seperti jalanan berbatu, licin, dan tidak rata dan menyebrang sungai. Idealnya, layanan GGD perlu ditunjang dengan fasilitas dan sarana yang mumpuni, namun jika belum, sudah seharusnya mulai dipikirkan.  
Tantangan klasik bagi GGD adalah akses internet dan sinyal menjadi persoalan tersendiri bagi daerah penempatan GGD, sehingga jika ada permasalahan yang dialami GGD tidak dapat diketahui secara cepat. Misalkan, GGD yang sakit keras dan membutuhkan transportasi serta biaya yang cukup mahal untuk mencapai rumah sakit yang layak di perkotaan.

Dengan tuntutan pekerjaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa di daerah tertinggal, selayaknya kesehatan dan keselamatan serta komunikasi GGD patut diperhatikan. Dalam praktiknya, terkhusus GGD yang ada di pulau-pulau memerlukan perahu yang dilengkapi minimal pelampung penolong (lifebuoy) dan baju penolong (life jacket), yang faktanya banyak perahu yang tidak dilengkapi dengan fasilitas keselamatan tersebut. Belum lagi, banyak GGD yang belum  memiliki rumah yang layak, sanitasi air bersih yang buruk, akses fasilitas umum dan kesehatan yang ala kadarnya.

Menimbang hal di atas, tentunya akan sangat lama jika GGD hanya menunggu keajaiban terjadi. Sudah seharusnya GGD tahap I menjadi pioner (pelopor) untuk melakukan gerakan sosial yang dapat mengakselerasi kemajuan daerah,  meskipun penerimaan GGD di daerah masih jauh dari kata ideal. GGD yang di tempatkan per kabupaten sudah selayaknya memiliki forum yang bertujuan untuk membangun pokja gerakan sosial yang bertujuan untuk 1) memperkuat basis GGD di daerah, 2) membangun keeratan silaturahim antar GGD, 3) forum tersebut juga sebagai ajang evaluasi tentang permasalahan GGD di daerahnya/sekolahnya masing-masing, dan 4) memantapkan komitmen GGD untuk memajukan pendidikan di daerah tertinggal, 5) membuat program pembinaan dan pengembangan masyarakat yang berafiliasi dengan dinas terkait, seperti dinas tenaga kerja, dinas pendidikan, dinas pekerjaan umum, dan lainnya. 

Tentunya, enam bulan (1 semester) belum tepat untuk mengevaluasi kinerja GGD seperti apakah penempatan GGD berdampak pada meningkatnya kualitas pendidikan, rendahnya angka putus sekolah (karena edukasi GGD ke masyarakat), dan prestasi daerah di bidang pendidikan. Namun, pemerintah melalui Kemdikbud telah melakukan satu langkah tepat menginisiasi program GGD dan tinggal menunggu bagaimana daerah turut berkomitmen, karena pada hakikatnya, penempatan GGD untuk kualitas pembangunan manusia di daerah terpencil.

GGD dapat disebut sebagai guru di atas rata-rata yang mentalnya melampaui pengetahuannya. Kekuatan mental GGD tentu jauh daripada guru yang berada di wilayah perkotaan yang penuh aksesibilitas. Lebih tepat menyebut GGD sebagai seorang penjelajah. Seperti Amerigo Vespucci yang menemukan benua Amerika yang dalam tulisannya menjadi sumber kaya informasi tentang budaya masyarakat pribumi yang dia temui selama penjelahan hingga deskripsi daerah baru yang dijelajahinya. Untuk itu, GGD bukan sekadar guru biasa. GGD memerlukan pengetahuan budaya dan kecakapan untuk bertahan dalam kondisi ketiadaan fasilitas dan materi apapun di lapangan. Besar harapan 5-20 tahun mendatang, GGD dapat berperan sebagai agen perubahan yang kelak menjadikan rumahnya sebagai center of excellence pengembangan dan pembinaan masyarakat setempat, serta mampu memicu akselerasi pembangunan manusia di daerah. Semoga!


Comment