Sebagai seorang yang terlahir dengan separuh darah Flores (NTT), sejujurnya saya sangat tidak percaya diri untuk berbicara tentang kampung halaman saya ini. Betapa hal ini mengingatkan saya bahwa ke-"Flores-"an yang melekat dalam diri saya hanya sekadar "tempelan" saja tanpa pengetahuan mendalam tentang apa yang terjadi di sana. Seumur hidup saya baru dua kali menginjakkan kaki di sana. Ketika saya berkunjung ke desa kakek dan nenek di Boawae (Nagekeo) lebih dari 20 tahun lalu, dan tiga tahun lalu ketika saya berwisata ke Labuan Bajo, Manulalu (Bajawa), dan Ende. Mungkin pengalaman saya tiga tahun lalu ini sudah tidak terlalu relevan dengan kondisi sekarang (yang saya harap lebih maju), tapi dari hasil diskusi saya baru-baru ini dengan Ayah dan saudara-saudara yang tinggal dan bekerja di sana, serta membaca berita terkini, masalah-masalah yang ditemukan masih cukup klasik:
Pasti masih banyak lagi hal-hal yang harus kita benahi di sana, tapi setidaknya ini beberapa hal yang saya tangkap. Saya tidak punya pengetahuan teknis di satu bidang tertentu yang mumpuni untuk memberikan solusi bagi semua permasalahan tadi, tapi yang jelas saya tahu, semua perbaikan ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Menurut Suara Flores, idealnya, NTT membutuhkan dana sekitar 20 triliun rupiah untuk membenahi infrastruktur selama lima tahun ke depan (4 triliun per tahun). Namun kendala yang saat ini dihadapi adalah anggaran tahunan yang tidak mencukupi, saat ini di angka Rp300-400 Miliar per tahun. Ada banyak usulan perbaikan infrastruktur yang masuk tapi tidak semua langsung bisa ditindaklanjuti, inilah yang mengakibatkan pembangunan di NTT memakan waktu lama.
Namun dengan segala keterbatasan infrastruktur dan pengelolaannya, tidak ada yang bisa memungkiri keindahan alam NTT. Apa yang saya lihat tiga tahun lalu hanya sekian persen dari indahnya potensi wisata NTT yang belum saya eksplorasi. NTT pun saya yakin hanyalah sekian persen dari indahnya alam Indonesia Timur secara keseluruhan.
Berangkat dari pemahaman ini, saya mengusulkan beberapa langkah yang mungkin terdengar naif dan sederhana dari kacamata saya sebagai seorang praktisi PR, blogger, dan traveler untuk membantu meningkatkan pendanaan pembangunan daerah:
1. "Paksakan" percepatan pembangunan
Saya senang ketika mengetahui bahwa sejak tahun 2016 telah diadakan tahunan Tour de Flores (bagian dari UCI Asia Tour) yang selain meningkatkan potensi wisata Flores di mata dunia juga "memaksa" percepatan pembangunan infrastruktur jalan di Flores dan membawa dampak ekonomi yang baik bagi penduduk lokal. Sama seperti ketika kita mengadakan yacht rally di Sail Komodo 2013. Cara-cara seperti ini bisa menjadi salah satu solusi percepatan pembangunan bagi kenyamanan hidup warga lokal. Bayangkan, jika kita mengadakan lebih banyak event tahunan di berbagai daerah di NTT dan bekerja sama dengan investor atau institusi-institusi besar. Seberapa cepat lagi kita bisa bergerak dan maju dari ketertinggalan?
2. Wajibkan CSR Bagi Perusahaan Swasta dan BUMN dengan fokus/konsentrasi di NTT/Indonesia Timur
Tahun 2016 lalu DPR sempat mengusulkan RUU untuk mewajibkan semua perusahaan swasta dan BUMN untuk melakukan CSR (Corporate Social Responsibility) yang tidak hanya terbatas pada urusan lingkungan saja. Walau sampai 2017 lalu RUU ini masih alot dan belum jelas apakah akan disahkan jadi UU atau tidak, atau diatur dengan lebih jelas di dalam UU yang sudah ada (kebijakan CSR diatur pada regulasi-regulasi berikut). Mengapa tidak kita dedikasikan satu tahun khusus misalnya, untuk CSR seluruh Indonesia difokuskan kepada pembangunan di Indonesia Timur?
3. Manfaatkan media sosial dan platform crowdfunding
Lima tahun terakhir ini saya semakin merasakan betapa “powerful”-nya kemampuan media sosial dalam menarik perhatian dan partisipasi khalayak ramai. Saya sering menerima tautan crowdfunding seperti KitaBisa.com dari teman-teman saya untuk masalah sosial yang ingin mereka bantu. Kebanyakan gerakan ini digalang pribadi dan cukup berhasil. Paling tidak ada dana nyata yang terkumpul yang bisa dialokasikan untuk pihak yang ingin mereka bantu. Dengan akses, jaringan, otoritas, dan pengaruh yang dimiliki pemerintah, entah dengan memilih ambassador untuk menyebarkan awareness tentang kondisi Indonesia Timur yang masih harus diperbaiki, atau bahkan melalui platform media sosial Presiden kita sendiri, kita bisa menerapkan hal yang sama untuk menggalang dana tambahan bagi pembangunan di Indonesia Timur.
4. Temukan cara termudah untuk menarik perhatian masyarakat
Masih kelanjutan dari nomor tiga, menurut saya cara termudah untuk menarik perhatian masyarakat (untuk berwisata atau mengetahui masalah-masalah di Indonesia Timur), namun dengan skala besar adalah dengan menyentuh aspek yang paling masyarakat kita sukai: hiburan. Tak kenal maka tak sayang, tak peduli maka tak memberi. Jika beberapa film produksi lokal (swasta) bisa memperkenalkan keindahan alam Indonesia Timur ke seluruh Indonesia, mengapa pemerintah tidak membuat tayangan yang sama dengan memanfaatkan sineas negeri ini dan memberikan akses yang besar untuk menontonnya. Tidak hanya diputar di bioskop, tapi di kanal-kanal lain. Sekali lagi, dengan otoritas yang besar, saya yakin pemerintah bisa bekerja sama dengan banyak pihak lokal untuk menyebarluaskan tayangan ini, sehingga lebih mudah membuat masyarakat kita paham apa yang menjadi isu di Timur.
5. Sell outside
Mungkin ini mimpi yang terlalu tinggi atau naif, tapi berkaca dari pengalaman saya berkunjung ke Hobbiton di Selandia Baru, saya sangat kagum melihat bagaimana wilayah peternakan ini dirombak dan dikelola lewat kerjasama pemerintah dan rumah produksi swasta dengan dana yang terbatas. Kini, bisa menjadi salah satu daya tarik utama Selandia Baru dan mendatangkan jutaan turis serta devisa bagi negara mereka. Saya tidak akan pernah lupa betapa indahnya perjalanan yang saya lalui dari Labuan Bajo sampai Ende, baik di laut maupun di darat. Waktu itu saya merasa sedang berada di “dunia lain”. Saya membayangkan, kalau saja masyarakat mancanegara tahu kalau ada lanskap secantik ini di Indonesia yang bisa kita “jual” sebagai lokasi syuting potensial bagi mereka. Mengapa tidak kita “menjemput bola” dan mengelola paket wisata khusus untuk kebutuhan perfilman? Efeknya di masa depan pun pasti akan baik karena exposure yang kita terima jauh lebih besar.