• Generic placeholder image
    Admin Dashboard

Du’anyam: Menjalin Tradisi, Berdayakan Perempuan Timur

June 08, 2018
Du’anyam: Menjalin Tradisi, Berdayakan Perempuan Timur

Azalea Ayuningtyas, CEO sekaligus Co-Founder Du’anyam dengan latar belakang anyaman hasil karya para ibu rumah tangga di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Fransiskus Kumanireng berang dengan istrinya, Meliana Adinda Soge. Du’a Mili, panggilan Meliana, tampak sibuk menganyam meski urusan rumah tak pernah luput tertinggal. Hampir saja ia membakar hasil karya istrinya. 

“Cukup masak saja di rumah!” cerita Azalea Ayuningtyas, CEO sekaligus Co-Founder Du’anyam, saat ditemui akhir Mei lalu.

Mitra Du’Anyam ini kemudian menyembunyikan hasil anyaman tikarnya di rumah tetangga. Setelah tercukupi target, buah kerja keras Du’a Mili itu kemudian dibeli oleh Du’anyam. Hasilnya dia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari, mulai makanan bergizi bagi anaknya sampai ditabung, berjaga-jaga saat kebutuhan mendesak. Semua dilakukan diam-diam.

Lama-kelamaan, Fransiskus heran mengapa pasangannya itu tak lagi sering meminta uang. Setelah tahu penyebabnya, dia akhirnya mendukung penuh usaha sang istri. Bahkan, tambahan penghasilan dari menganyam ini juga digunakan untuk membiayai kursus komputer anak sulungnya yang kini telah lulus SMA.

“Bahkan, kalau sedang banyak order, suami mau membantu cuci piring atau mengurus rumah,” kata Ayu.

Inilah salah satu kisah sukses para perempuan di Flores, Nusa Tenggara Timur, hasil pemberdayaan Du’Anyam. Ayu menerangkan Dua’Anyam sebagai bisnis sosial yang menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kesenjangan di daerah-daerah tertinggal seperti di Flores. Dia bersama dua temannya, Melia Winata, dan Hanna Keraf mempunyai alasan memberdayakan para ibu di Flores.

Ayu menjelaskan ada tiga akar permasalahan sosial ekonomi di Flores. Pertama, sulitnya akses tunai karena para ibu mengandalkan hasil berkebun dan kiriman kerabatnya yang menjadi buruh migran. Ketika ada program pemerintah yang membutuhkan uang tunai seperti program tabungan ibu bersalin, mereka sulit mengumpulkannya meski hanya Rp 1000-Rp 2000.

Kedua, kemiskinan yang menyebabkan makanan sehat minim dan pekerjaan di ladang yang berat. Banyak ibu hamil dan menyusui yang mengalami kurang gizi. Alhasil, anak-anak yang dilahirkan juga mempunyai berat badan rendah. Alasan ketiga, suara perempuan di keluarga masih rendah. Semua keputusan diambil oleh suami atau kepala keluarga laki-laki.

Di sisi lain, Du’Anyam melihat para ibu mempunyai potensi menganyam yang sudah menjadi tradisi turun menurun. Apalagi bahan baku lontar mudah ditemui di NTT. Sayangnya, barang buatan mereka hanya dipakai sehari-hari atau dibarter dengan kebutuhan lain. Padahal, ujar Ayu, barang anyaman ini bisa diserap pasar domestik maupun internasional karena  tren mengarah pada produk handmade dan eco-friendly.

Dari sinilah ide mendirikan Du’Anyam tahun 2014. Du’anyam yang berarti ‘ibu menganyam’ ini memang sengaja memilih kelompok perempuan, bukan dari kalangan pengusaha, untuk mmbantu agar keluar dari masalah sosial ekonomi.

“Kami tidak mau memberi ikan, melainkan kail. Bahkan, kami juga akan membantu cara mengail ikan yang benar,” ujar Ayu menganalogikan usaha bisnis sosialnya itu.

Pemberdayaan perempuan dirasa lebih efektif mengatasi kesenjangan sosial ekonomi di wilayah tertinggal. Ibu rumah tangga yang sebelumnya hanya mengurus keluarga dan ternak akan semakin produktif sehingga menambah pemasukan keluarga. Dari riset juga, kata Ayu, uang yang masuk ke perempuan akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan gizi dan pendidikan buah hati dibandingkan ketika masuk ke laki-laki.

Secara tak langsung, anak yang sehat dan tercukupi gizi akan optimal perkembangan otaknya. Ditambah dengan pendidikan yang tepat, generasi berikutnya akan mencapai sosial ekonomi yang lebih tinggi daripada orang tuanya.

Inovasi-inovasi yang dilakukan oleh Du’Anyam inilah menjadi contoh praktik baik mengatasi kesenjangan ekonomi sosial di wilayah. Solusi ini pula yang diharapkan hadir di Indonesia Development Forum 2018.  IDF 2018 akan mengangkat tema ‘Pathways to Tackle Regional Disparities Across The Archipelago’. Forum yang digagas oleh Bappenas dan didukung oleh Pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Initiative ini bertujuan menjaga kesinambungan pembangunan berbasiskan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan fakta untuk mendukung percepatan pembangunan di Indonesia yang lebih merata dan berkelanjutan.

Kini, Du’Anyam telah berhasil menjalin kerjasama dengan hampir 500 ibu di Flores, NTT. Bahkan, produk bernilai tradisi ini berhasil laris  hingga 3000-4000 buah di pasar lokal dan luar negeri. Sampai saat ini, produk Du'Anyam yang telah terjual mencapai sekitar 35.000 buah. Penghasilan yang diterima mitra pun kian bertambah. Berdasarkan data yang diperoleh Du’Anyam, pendapatan rata-rata para ibu yang menjadi mitra meningkat sekitar 40 persen.

“Sebenarnya beragam, ada yang sampai 3-4 kali lipat, ada juga yang di bawahnya,” kata Ayu.

Peningkatan ini juga diiringi dengan jumlah tabungan rata-rata sekitar 55 persen. Dan hal yang tak bisa diukur dengan angka, kata Ayu, suara perempuan di keluarga menjadi setara dengan pasangannya.

Ke depan, Du’Anyam tak ingin hasil baik ini hanya dialami oleh para ibu di Flores, NTT. Ayu dan teman-temannya berencana membuka Rumah Anyaman Indonesia. Sejak tahun 2017, mereka sudah merintis tiga lokasi baru pendampingan pemberdayaan perempuan. Ketiga lokasi itu adalah Berau, Kalimantan Timur; Sidoarjo, Jawa Timur; dan Nabire, Papua. **


Comment