Kesenjangan pembangunan antara wilayah barat dan timur Indonesia bisa disebabkan oleh banyak hal. Dua di antaranya adalah faktor geografis dan konsentrasi penduduk. Lokasi wilayah barat Indonesia lebih terbuka sehingga akses pergerakan barang dan jasa lebih mudah menjangkau skala lokal maupun global. Ketimpangan juga terlihat dari sisi jumlah penduduk. Data proyeksi jumlah penduduk menunjukkan hanya sekitar 21% penduduk Indonesia tinggal di Wilayah Tengah dan Timur, sementara 79% lainnya tinggal di Pulau Jawa dan Sumatera. Kondisi ini tentu mempengaruhi perekonomian Nasional mengingat 56% perekonomian Nasional tahun 2017 berasal dari aktivitas konsumsi masyarakat.
Melihat kondisi ini, strategi yang bisa dipertimbangkan adalah membagi konsentrasi penduduk agar perekonomian tidak ramai di Pulau Jawa dan Sumatera saja. Teorinya, penduduk akan datang ke suatu wilayah jika ada faktor penarik dan juga faktor pendorong. Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah bagaimana membuat wilayah Indonesia selain Jawa dan Sumatera menarik sehingga terdapat aktivitas ekonomi yang lebih intensif serta kehidupan yang lebih baik dan layak.
Statistik Indonesia tahun 2017 menunjukkan bahwa Kalimantan Timur adalah satu-satunya provinsi di luar Pulau Jawa dan Sumatera yang memberi kontribusi 4% terhadap perekonomian nasional. Posisi kedua ditempati Sulawesi Selatan dengan kontribusi 3%. Konsep pengurangan kesenjangan yang saya tawarkan ini mungkin akan bernuansa Kaltim karena saya berdomisili di provinsi ini. Namun bukan berarti konsep tersebut tidak dapat diterapkan di Wilayah Indonesia lain. Konsep besar ini dapat diadopsi untuk kemudian diterapkan sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing.
Saat ini, Struktur perekonomian Kaltim bisa dibilang kurang sehat. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi yang 'katanya' kaya ini didominasi oleh sektor pertambangan & penggalian, tepatnya batu bara dan migas. Hampir satu dekade, 50% perekonomiannya ditopang oleh aktivitas penambangan batu bara dan migas. Tingkat eksploitasi batu bara di Kaltim bisa dibilang terlalu masif dan berbahaya bagi keberlanjutan wilayahnya. Kaltim merupakan wilayah dengan cadangan batu bara terbesar ketiga secara nasional setelah Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Namun, dari sisi produksi, Kaltim-lah yang paling masif mengeksploitasi batu baranya dengan nilai mencapai 50% dari total produksi Nasional.
Sekitar 70-80% hasil pengerukan batu bara Nasional diekspor, sisanya dijual di pasar domestik (source : http://indonesian-investment.com). Tidak mengherankan jika pada saat perekonomian global sedang tidak stabil, maka provinsi yang bergantung pada pola perekonomian “keruk-jual” sangat merasakan imbasnya. Tahun 2015-2016, Kaltim mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Berbagai kegiatan pembangunan tertunda dan tentu aktivitas ekonomi di daerah ini ikut lesu.
Mempercepat pembangunan di Pulau Kalimantan artinya harus memacu sektor ekonomi potensial yang bisa menggerakan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut. Jika Pemerintah Pusat serius meningkatkan kontribusi perekonomian Kaltim, tentu perlu hati-hati. Perekonomian yang bergerak di Kaltim saat ini adalah salah satu sektor yang sangat rapuh dan tidak berkelanjutan. Pemerintah harus tegas menginstruksikan provinsi dengan aktivitas ekonomi utama “keruk-jual” ini untuk beralih ke sektor yang lebih tangguh, sustainable dan dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja. Sektor tersebut adalah sektor industri atau manufaktur.
Sektor manufaktur tentu dapat membuat Kaltim memacu perekonomiannya dengan kaki ekonomi yang lebih kuat. Jika Kaltim dipaksa berlari dengan pola ekonomi seperti ini, maka pada saatnya Kaltim bisa terjatuh dan pasti sulit untuk bangkit lagi. Hal ini dikarenakan sektor eksploitasi komoditas sangatlah rapuh, sangat bergantung pada pasar global yang akhir-akhir ini sulit diprediksi secara presisi, belum lagi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Sungguh pola seperti ini tidak boleh dipertahankan lagi.
Upaya pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur selama ini patut diapresiasi. Tersedianya infrastruktur yang handal akan meningkatkan daya saing wilayah sehingga wilayah tersebut lebih “dilirik” oleh investor sebagai lokasi untuk berinvestasi di sektor industri. Walaupun sudah dipercepat nyatanya implementasi pembangunan infrastruktur di Kaltim membutuhkan waktu yang cukup panjang sementara pergerakan ekonomi terus berjalan, eksploitasi komoditas terus berjalan.
Hingga saat ini, belum ada aturan yan membatasi kuantitas pengerukan komoditas. Hal ini jelas perlu diantisipasi. Sebelum Kaltim siap untuk berjalan dengan sektor industri, pengerukan dan penjualan komoditas mentah secara masif harus dibatasi. Kerusakan lingkungan yang makin besar dan penipisan cadangan komoditas harus dicegah.
Payung hukum sekelas UNDANG-UNDANG sangat diperlukan untuk membatasi jumlah komoditas, terutama batu bara yang boleh dikeruk dan diekspor. Aturan ini diperlukan untuk mengatur dan membatasi masifnya kegiatan “keruk-jual” yang saat ini sedang terjadi. Pada saatnya nanti, ketika daerah sudah siap untuk industrialisasi maka persediaan bahan baku yakni komoditas sumber daya alam, masih tersedia.
Lahirnya Undang-undang yang membatasi “keruk-jual” saya yakini baik bagi masa depan Kaltim. Pembatasan ini pasti menimbulkan gejolak mengingat ketergantungan terhadap pola “keruk-jual” sudah cukup akut dan sudah banyak yang terlena dengan kemudahan memperoleh keuntungan dari pola ini. Gejolak ini mungkin tidak hanya terjadi di Kaltim tetapi juga di tingkat nasional. Walaupun sulit, pola ini harus diubah. Jika memang dalam tahap awal dan transisi gerak ekonomi daerah agak pelan, rasanya perlu dimaklumi. Perubahan yang baik tidak mungkin terjadi tiba-tiba. Perlu ada proses menuju apa yang dicita-citakan.
Pada saatnya nanti, wilayah luar Jawa & Sumatera (dalam hal ini Pulau Kalimantan) memiliki harapan untuk meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian nasional dengan sektor yang lebih tangguh, tidak dengan sektor yang rapuh seperti saat ini.
Berjalannya aktivitas manufaktur atau industri di wilayah luar Jawa & Sumatera akan menggerakkan perekonomian dengan lebih masif dan tentu membuat arus barang dan jasa lebih intensif. Dengan demikian akan semakin banyak penduduk yang beraktivitas dan tinggal di luar Pulau Jawa & Sumatera. Perlahan-lahan kontribusi Wilayah luar Jawa & Sumatera terhadap perekonomian nasional dapat ditingkatkan. Kesenjangan pembangunan wilayahpun akan berkurang.