• Maria Tri Sulistyani
    Maria Tri Sulistyani
    Mendirikan Papermoon Puppet Theatre pada tahun 2006 tanpa latar belakang edukasi formal di bidang seni pertunjukan, apalagi teater boneka, membuat Seni teater boneka menjadi perjalanan yang penuh kejutan dan menjadi lahan eksperimen bagi Ria. Perempuan kelahiran Jakarta ini lulus dengan gelar Sarjana Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM- Jurusan Ilmu Komunikasi. Memilih berdomisili di Yogyakarta, Ria dan suaminya –Iwan Effendi (seorang perupa kelahiran 1979) menjadi co. artistic director kelompok teater boneka ini selama 13 tahun terakhir. Papermoon Puppet Theatre telah menjadi dapur eksperimen bagi kelima anggotanya. Digawangi bersama juga dengan 3 anggota lain, Anton Fajri, Beni…

Saat Cerita Membawa Satu Senja jadi Istimewa

March 19, 2019
Saat Cerita Membawa Satu Senja jadi Istimewa

Teater Boneka Papermoon Puppet Theater tampil dengan dua boneka karakter orangtua di Kampung Penagi, Natuna (dok. Papermoon).

Sore itu hujan rintik-rintik di kampung Penagi – sebuah kampung nelayan tertua di salah satu pulau terluar Indonesia, Natuna. 

Di hadapan saya berdiri sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu, yang sudah runtuh di bagian dalamnya. Cahaya matahari senja dari barat, tepat dari arah belakang saya, menjadi tata lampu yang sempurna untuk bangunan kayu yang nyaris runtuh itu.

Sore itu, tanpa menghiraukan rintik hujan, puluhan orang; tua dan muda, anak-anak, dan dewasa, duduk di tengah jalan kampung, menghadap ke rumah kayu yang saban hari mereka lalui dengan tidak peduli itu. Sesekali mereka tertawa terbahak, bertepuk tangan, tersipu-sipu, atau berkomentar sambil menepuk-nepuk bahu teman yang duduk di sebelahnya.

Dua boneka dengan karakter orang tua, sore itu tengah hadir di tengah puluhan penduduk desa Penagi. Dua kakek itu adalah pengumpul sampah- sebuah profesi yang ternyata tak pernah ada di desa itu. Polah kedua kakek dan 4 aktor, serta permainan sampah-sampah yang mendadak hidup di hadapan mereka, membuat sore itu tak seperti sore biasa di Penagi.

Seusai pementasan, mereka tak langsung beranjak pergi. Mereka menghabiskan waktu lebih lama untuk bertanya, mencoba memainkan boneka, dan bahkan berkomentar panjang. 

“Seni tak pernah sampai ke desa ini, Kak. Tak usahlah bintangnya. Pemberitahuan pun tak pernah sampai ke sini. Senang sekali kakak-kakak ini tampil di sini”, ujar seorang bapak yang disambut anggukan semangat anak perempuannya yang duduk di bangku SMA.

Di dalam hati saya sangat bersyukur, bahwa ide impulsif kami yang semula tak pernah ada di dalam jadwal untuk menggelar pementasan di desa ini, ternyata justru menjadi puncak kebahagiaan kami saat bertandang ke Natuna.

Senja itu, menjadi salah satu senja teristimewa di dalam hidup saya.
Masyarakat nelayan di Kampung Penagi, Natuna menyaksikan pementasan Teater Boneka Papermoon Puppet Theater di rumah panggung kayu (dok. Papermoon).
***
Di senja yang lain, 5 tahun sebelum senja istimewa di Natuna, saya tengah berdiri di kawasan gedung pencakar langit, di Upper Manhattan, kota New York. Bersama saya, ada 7 orang lain dalam tim Papermoon Puppet Theatre berdiri di tempat yang sama.

New York City adalah kota pamungkas dari tur 7 kota yang kami jalani selama 1 bulan di Amerika Serikat. Berbagai panggung, baik di Kennedy Center- Washington DC sampai gedung-gedung teater di beberapa universitas, sudah kami jajaki.

Kali itu kami membawakan kisah berjudul “MWATHIRIKA”, kisah yang berlatarbelakang sejarah kekerasan politik di tanah air dan juga di berbagai penjuru dunia.

Sebuah panggung mewah menanti kami di kota yang merupakan “Mekah-nya” seni pertunjukan dunia ini, di New York City. Kami mendapatkan standing applause dari penonton yang kemudian mengharuskan kami keluar masuk panggung sebanyak 8 kali.

 

Kedua ilustrasi ini saya paparkan untuk menggambarkan betapa luasnya kemampuan seni pertunjukan, khususnya teater boneka, bisa menjangkau publik yang sangat jauh berbeda karakternya. 

Dengan medium yang sama, seni teater boneka, yang justru awal mulanya kerap dipandang sebelah mata karena dianggap ‘hanya’ sebagai medium bercerita untuk anak-anak, ternyata mampu membawa Papermoon Puppet Theatre hingga berkeliling ke penjuru dunia. Kelompok teater boneka yang berbasis di sebuah desa di Yogyakarta dan hanya beranggotakan 5 orang ini telah menjajaki perjalanan panjang, membawa cerita dari tanah air untuk menjangkau banyak publik di berbagai belahan dunia, mulai dari Benua Amerika, 4 kota di Britania Raya, Benua Australia, beberapa negara di Eropa, Filipina, Thailand,  Singapura, Pakistan, India, Jepang, Taiwan, Myanmar, dan lain-lain. 

Perlu diakui bahwa Papermoon Puppet Theatre memang dibentuk dan dibesarkan di dalam ekosistem seni pertunjukan yang belum ideal. Tapi, satu hal yang perlu diingat dalam pertumbuhan dan perkembangan kelompok teater boneka ini: Papermoon Puppet Theatre lahir di tanah yang subur oleh kreativitas dan imajinasi, dimana manusia di tanah itu terbiasa untuk tidak memikirkan diri sendiri. 

Cerita demi cerita lahir karena persinggungan kami dengan banyak orang. Meskipun ada banyak sekali keterbatasan infrastruktur dan dana, masyarakat di Yogyakarta mendapat begitu banyak kesempatan untuk terpapar dengan begitu banyak peristiwa seni dan budaya di sekitarnya, baik seni tradisi maupun kontemporer.

Banyak eksperimen terjadi dari perjumpaan para mahasiswa antar kampus, pertemuan para aktivis dan seniman, para praktisi pendidikan dan pelaku manajemen seni, begitupula keterlibatan para seniman dan aktivis dalam kehidupan bermasyarakat.

Di sisi lain, kota ini menjadi titik perjumpaan para pelaku seni baik dari dalam negeri, maupun mancanegara dengan cara yang sangat organik. Banyak sekali ide terwujud dari kumpul-kumpul minum kopi, atau perbincangan-perbincangan ringan.

Dari perjalanan selama 13 tahun terakhir ini, kami sadar betul bahwa cerita dan kehidupan sosial adalah kekuatan. Bahwa literasi yang baik dan luasnya imajinasi masyarakat akan memengaruhi karakter sebuah bangsa. Dari sinilah kami kemudian berpikir, kami perlu membangun ekosistem literasi dari sisi yang bisa kami lakukan. 

Tak hanya membuat karya, menggelar pementasan atau karya seni rupa, kami juga menggelar workshop untuk masyarakat umum untuk membangun cerita mereka sendiri. 

Bahkan, setiap dua tahun sekali sejak tahun 2008, kami menginisiasi dan menggelar sebuah festival teater boneka berskala internasional yang diberi tajuk PESTA BONEKA, secara independen.

Mengelola Papermoon Puppet Theatre secara independen, tanpa sokongan dana tetap dari pihak manapun, ternyata membuat kami sangat menghitung sumber daya yang kami miliki. Modal Sosial dan modal kultural, menjadi modal awal terbesar yang kami gunakan di sepanjang perjalanan Papermoon, sebelum kami menghitung modal kapital yang perlu kami kumpulkan.
Apakah ini berhasil?

Ya. Setidaknya sampai tahun ke-13 ini kami masih menggunakan metode yang sama.

Memilih untuk tetap kecil, terbuka untuk kolaborasi, dan tidak berjalan terburu-buru, mungkin adalah lagu lama yang terasa manjur untuk perjalanan Papermoon Puppet Theatre. Karena bagi kami, pembangunan pada dasarnya haruslah didasarkan pada karakter, dimana tanah dipijak dan bagaimana manusianya memegang nilai.

Kami percaya, selama ada manusia, ada miliaran cerita yang bisa dibagi dan dirayakan bersama. Seperti halnya kisah sederhana kami yang dibagi bersama para penduduk di desa Penagi yang tak berkeberatan membagi listrik rumahnya untuk kami pakai, atau tak segan meminjamkan sound system RW-nya begitu saja supaya kami bisa menggelar pementasan untuk mereka.

Semoga saja kelak ada senja-senja istimewa lainnya dimana cerita bisa kembali menjadi bagian sehari-hari negeri kita, dan kebanggaan menjadi bangsa memang bukan lagi hanya dinyanyikan dalam syair lagu saja.

Sudah saatnya, masyarakat kita menciptakan ceritanya sendiri, dan menjadi bangga atasnya.**

Maria Tri Sulistyani atau Ria dari Papermoon Puppet Theatre menjadi pemantik IDE untuk Pengajuan Proposal Pertunjukan Seni dan Budaya.

Punya ide untuk Seni, Budaya dan Pembangunan di Indonesia? Silakan tuliskan tanggapan melalui kolom komentar, kirimkan proposal pengajuan Pertunjukan Seni dan Budaya atau tunjukkan IDE Anda dengan format blog/ artikel, vlog, atau infografik melalui Pengajuan Proposal IDF 2019. Ide akan dipublikasi pada situs web IDF dan sebagian akan dipilih untuk dipaparkan pada Pasar Ide dan Inovasi.

Komentar terpilih dan Ide terpopuler akan mendapatkan suvenir dari Du’anyam. Kirimkan Idemu segera!


Comment