Mengapa Toleransi, Empati, dan Ruang Perjumpaan Mutlak Diperlukan untuk Mewujudkan Peluang Kerja Inklusif
Toleransi tidak bisa hanya diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan. Kalimat itu telah menjadi kredo saya selama bertahun-tahun ini.
Tujuh tahun lalu saya dan beberapa teman mendirikan SabangMerauke, sebuah program live-in yang mengajak anak-anak SMP dari berbagai daerah di Indonesia untuk tinggal bersama keluarga yang berbeda agama dan/atau suku. Tujuannya? Untuk memberikan interaksi positif yang bisa meruntuhkan dinding stereotip. Dampak program ini sangat menggembirakan! Karena komentar-komentar yang kami kumpulkan pascaprogram menunjukkan perubahan mindset (pola pikir): “Oh, ternyata orang agama X tidak sejahat yang aku kira”, “Oh, ternyata tidak semua orang agama Y itu teroris”, dan “Oh, ternyata orang yang dari luar pulau Z banyak yang baik”.
Ketika saya dan teman-teman memulai program Milenial Islami tahun lalu, kami juga kembali membuktikan betapa besar peran sebuah ruang perjumpaan. Pada salah satu acara pesantren kilat yang kami kelola, kami mengumpulkan informasi tentang prasangka apa saja yang dimiliki oleh adik-adik peserta. Hasilnya lebih menyeramkan daripada yang kami antisipasi. Adik-adik ini dengan jujur menuliskan prasangka-prasangka mereka, di antaranya “Orang agama A akan merusak agama saya lewat lagu-lagu mereka”, “Umat agama B aneh karena menyembah patung”, “tempat ibadah agama C seram dan orangnya kejam”, serta “umat agama D anti-sosial”.
Keesokan harinya, kami mengajak adik-adik berkunjung ke berbagai rumah ibadah. Di sana, mereka kami persilakan bertanya apa saja pada para pemuka agama yang mereka temui. Setelah itu kami mengajak teman-teman yang seumuran dengan mereka yang bukan Muslim untuk ikut berbuka puasa bersama. Di sinilah hal menarik mulai terjadi.
Anak-anak ini sehari sebelumnya begitu penuh prasangka dan ketakutan dalam berinteraksi dengan teman-teman yang bukan Muslim. Tapi setelah interaksi nyata yang sebenarnya tidak terlalu lama –hanya beberapa jam- mereka bisa jadi akrab dengan teman-teman barunya yang bukan Muslim. Mereka mengajukan berbagai pertanyaan khas anak-anak, seperti “Kalau sedang hari raya, kamu paling suka makanan apa?”, atau “Kalau sedang ibadah, kamu sering ngantuk nggak?”.
Pengalaman berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda ini akan membekas, dan akan melindungi mereka dari siraman hoaks. Jika kelak suatu saat mereka mendengar informasi yang tidak baik tentang orang dengan agama atau suku yang berbeda, mereka akan bisa dengan lantang berkata, “Aku tidak akan percaya begitu saja berita ini, karena aku pernah berinteraksi dengan mereka, dan mereka sangat baik kepadaku.”
Interaksi membuka peluang inklusif
Inklusivitas dan toleransi tidak hanya soal agama dan suku. Saya akan bercerita pula tentang gender, rokok, dan disabilitas.
Saya akan menceritakan betapa pentingnya interaksi untuk membantu empati pada disabilitas. Salah satu interaksi pertama saya dengan kursi roda adalah ketika Suharno, teman kuliah saya, mengalami kecelakaan sepeda motor dan tulang belakangnya cedera. Setelah kecelakaan, ia lumpuh dari pinggang ke bawah sehingga harus duduk di kursi roda. Saya jadi belajar banyak karena saya cukup sering mengikuti proses mengantar Suharno ke kampus.
Proses memindahkan Suharno dari kursi roda ke mobil, dan sebaliknya, tidak pernah mudah. Dan kampus juga awalnya tidak ramah pada kursi roda, padahal Suharno bukan mahasiswa berkursi roda pertama di kampus ini. Ternyata, dulu mahasiswi yang pakai kursi roda ini, harus digendong (beserta kursi rodanya) naik-turun tangga ke lantai 2. Maka, untuk menyiasati bangunan yang tidak ramah kursi roda ini, dibangunlah ram-ram darurat. Meskipun membantu mobilitas, tetapi rutenya tetap terlalu sulit untuk dilewati sendirian oleh Suharno.
Interaksi kedua saya dengan dunia disabilitas terjadi ketika saya sudah memasuki dunia kerja. Ketika itu saya bekerja sebagai salah satu staf Gubernur Basuki Tjahaja Purnama di Balaikota DKI Jakarta. Salah satu staf magang di Balaikota adalah seorang tuli, Surya Sahetapy. Mulanya kami tidak tahu fasilitas apa yang harus diberikan agar Surya bisa beraktivitas dengan baik. Untungnya setelah berdiskusi, akhirnya di Balaikota disediakan satu orang penerjemah Bahasa Isyarat yang mendampingi Surya sehari-hari.
Interaksi-interaksi nyata ini membuka mata saya, dan membekas di hati saya. Maka, meskipun kini saya tidak bekerja full-time dalam bidang advokasi disabilitas, tapi saya selalu berusaha memperjuangkan akses bagi teman-teman disabilitas dalam berbagai aktivitas saya. Sederhananya, interaksi dengan teman-teman disabilitas telah menjadikan saya duta disabilitas.
Contohnya, seluruh kartu nama saya dan tim saya dilengkapi dengan huruf braillenya; seluruh video saya dilengkapi subtitle untuk memudahkan teman-teman tuli; saya memberikan sesi khusus untuk perempuan dengan disabilitas di sela-sela Workshop Improv Comedy bulanan; saya mengenalkan tim konstruksi MRT Jakarta dengan komunitas disabilitas sehingga MRT bisa dibangun ramah disabilitas; tahun ini SabangMerauke akan menerima 2-3 peserta program yang tuna daksa; dan tahun ini Indika Foundation berencana merekrut satu orang dengan disabilitas, serta membuka booth di job fair khusus disabilitas.
Melahirkan duta-duta disabilitas di dunia profesional, menurut saya, adalah salah satu cara untuk mewujudkan lebih banyak peluang kerja yang inklusif. Para profesional ini adalah mereka yang akan merekrut orang untuk bekerja di organisasi mereka. Jika di setiap kantor ada satu saja orang yang peduli disabilitas, dan mereka bisa mendorong perubahan menuju peluang kerja yang inklusif, ini akan mempercepat perubahan.
Tiga hal yang bisa saya sarankan untuk mewujudkan peluang kerja yang inklusif:
Kredo saya, sekali lagi, adalah toleransi tidak bisa hanya diajarkan, tapi harus dialami dan dirasakan. Untuk bisa mewujudkan peluang kerja yang lebih inklusif, para pengambil keputusan harus pernah mengalami dan merasakan berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang rentan. Karena sering kali, kealpaan untuk membantu hanya disebabkan karena ketidaktahuan, bukan karena ketidakmauan.
Ayu Kartika Dewi menjadi pemantik ide untuk sub-tema 3 IDF 2019: Menciptakan Peluang Kerja Inklusif
Punya ide untuk menciptakan peluang kerja inklusif? Silakan tuliskan tanggapan melalui kolom komentar atau kirimkan IDE Anda dengan format blog/ artikel, vlog, atau infografik melalui Pengajuan Proposal IDF 2019. Ide akan dipublikasi pada situs web IDF dan sebagian akan dipilih untuk dipaparkan pada Pasar Ide dan Inovasi.