• Ben Laksana-Rara Sekar
    Ben Laksana-Rara Sekar
    Ben K. C. Laksana Dosen dan peneliti dengan pengalaman lebih dari 8 tahun di penelitian sosial terutama interseksi antara pendidkan, anak muda dan sosiologi, telah bekerja sebagai peneliti untuk beragam organisasi lokal maupun internasional. Sebelum ini Ben bekerja untuk Fakultas Pendidikan, Victoria University of Wellington, New Zealand, sebagai peneliti muda dan juga asisten dosen untuk beberapa mata kuliah seputar sosiologi, pendidikan dan anak muda. Selain di penelitian, Ben saat ini aktif sebagai dosen Hubungan Internasional di International Univeristy Liaison Indonesia (IULI) dan dibawah Arkademy Project turut aktif mengembangkan pendidikan kritis untuk masyarakat umum dengan menggunakan fotografi sebagai mediumnnya. Ben memiliki…

Akal Sehat Baru: Siasat Pendidikan Kritis Menantang Revolusi Industri 4.0

March 06, 2019
Akal Sehat Baru: Siasat Pendidikan Kritis Menantang Revolusi Industri 4.0

Ben Laksana dan Rara Sekar memantik ide untuk sub-tema 2 IDF 2019

Akhir-akhir ini rasanya tiada hari tanpa mendengar istilah “revolusi industri 4.0” digaungkan di media, disinggung di media sosial, diucapkan dalam sambutan pembuka lokakarya, dan menjadi jargon politisi yang ingin meraup suara. Sebagai pegiat pendidikan yang tidak terlibat langsung dalam pembahasan revolusi industri, dari kejauhan kami melihat ada pola argumen yang berulang dalam membahas revolusi industri 4.0 (selanjutnya RI 4.0).

Tak jarang, di mata mereka yang mendukung maupun yang kritis, RI 4.0 sering dipersepsikan sebagai momok, dengan “teknologi” melalui beragam proses automasinya mengancam lapangan pekerjaan masyarakat. Perkembangan teknologi dianggap sebagai “bencana”, dan kita harus melawannya dengan meng-upgrade diri sebagai pekerja agar selalu relevan dengan perkembangan zaman.

Relevansi RI 4.0 di dalam kehidupan kami ternyata lebih dekat dari yang kami kira. Beberapa waktu lalu kami hadir di Festival Work Life Balance yang diadakan oleh Sindikasi (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi). Pada salah satu sesi, narasumber dari perwakilan serikat buruh dan pelaku industri teknologi informasi membahas “Bolong-bolong Revolusi Industri 4.0”.

Dari acara tersebut yang juga membahas hubungan kesehatan mental dan pekerja, Sindikasi mengingatkan kami bahwa permasalahan yang sedang dihadapi pekerja tak dapat diringkas hanya dengan menyalahkan teknologi sebagai ancaman yang akan menggantikan peran tenaga kerja. Masalahnya terentang dari jam kerja yang panjang, upah minimum yang tidak memadai (padahal negara-negara maju yang kerap dianggap sebagai patokan keberhasilan pembangunan sudah menggulirkan living wage), invoice yang telat cair, pekerja kreatif yang diperas habis kreativitas dan hak hidupnya, hak-hak pekerja yang “disembunyikan”, pelarangan berserikat, hingga kesehatan mental para pekerja yang disebabkan kurangnya istirahat. Tak jarang para pekerja tersebut adalah teman-teman kami dan bahkan kami sendiri.

Melihat beragam masalah yang dialami oleh para pekerja saat ini, apakah itu pekerja pabrik atau pun pekerja startup yang disebut sebagai salah satu ujung tombak Revolusi Industri 4.0, persoalan utamanya sebenarnya bukan pada perkembangan teknologinya, tapi pada pemahaman tentang cara kerja industri dan, lebih luas lagi, cara kerja perekonomian kita yang telah diangggap lumrah. Cara pandang seperti ini menormalkan pandangan bahwa manusia, terutama para pekerja, harus pasrah menerima keadaan. Dalam hal ini pekerja yang terdampak revolusi industri dianggap sudah semestinya berkorban (dan sesungguhnya dikorbankan) demi memenuhi kebutuhan efisiensi industri.

Namun apakah benar peran perkembangan teknologi dalam industri hanya untuk mengambil alih lapangan pekerjaan?

Sebenarnya penggunaan teknologi seberapapun mutakhirnya, mengutip Foster dan McChesney (2011), “secara fundamental tetap merupakan sebuah pilihan sosial”. Artinya, pilihan untuk menggunakan teknologi ini seharusnya bisa ditentukan oleh masyarakat luas, bukan hanya oleh sekelompok orang.

Saat ini, kita melihat banyak industri dan alat produksi menggunakan teknologi tinggi. Sayangnya, walaupun menyangkut hajat hidup orang banyak, industri dan teknologi tersebut tidak dimiliki secara kolektif oleh masyarakat atau oleh para pekerjanya. Maka tidak mengherankan jika para pekerja tidak memiliki andil dan tidak dilibatkan dalam memutuskan bagaimana dan untuk siapa teknologi tersebut digunakan. Juga, dalam menanggulangi dampak dari efisiensi terhadap mereka ketika automasi bergulir.

Sebenarnya mewujudkan industri berbasis kepemilikan kolektif bukanlah angan-angan utopis. Telah banyak contoh berhasil dari industri skala kecil sampai skala masif seperti perusahaan Mondragon Corporation di Basque, Spanyol, yang dimiliki secara kolektif dan dijalankan secara demokratis oleh pekerjanya. Contoh kecil dari demokratisasi industri Mondragon adalah pengisian posisi-posisi manajerial perusahaan tersebut yang diputuskan secara Bersama. Bahkan, rasio perbandingan gaji terendah sampai gaji tertinggi juga diputuskan secara demokratis (untuk Mondragon rasionya saat ini ada di 1:4,5).

Mondragon bukanlah perusahaan kecil dan terbelakang yang anti-automasi atau teknologi baru lainnya. Perusahaan ini mengadopsi teknologi tinggi dan menghasilkan produk yang juga berteknologi tinggi. Bepredikat sebagai perusahaan terbesar keempat di Spanyol, Mondragon mampu menafkahi lebih dari 70.000 pekerja. Hal tersebut bisa dicapai berkat asas demokrasi yang dianut perusahaan.

Dengan bercermin pada apa yang telah dilakukan perusahaan dengan kepemilikan kolektif atau koperasi seperti Mondragon, jika kita menginginkan RI 4.0 menguntungkan semua, terutama para pekerja, kita membutuhkan pekerja dan masyarakat yang bisa membayangkan dan mewujudkan cara kerja industri yang berbeda dengan yang dianggap lumrah saat ini. Kita membutuhkan industri, dengan teknologi terbaru apa pun yang digunakannya, yang bertujuan untuk kesejahteraan “for the many not the few”—mengutip slogan partai buruh di Inggris.

Untuk mewujudkan hal tersebut, kita membutuhkan pemahaman alternatif atau—meminjam istilah Gramsci—sebuah commonsense, sebuah akal sehat, yang baru. Kita harus memiliki pengetahuan yang memberikan kesadaran bahwa ada sebuah alternatif, yang bukan hanya untuk diimajinasikan namun untuk diwujudkan bersama. Kita harus menanamkan pemahaman bahwa, mengutip sosiolog Erik Olin Wright, “alternatif tersebut harus diinginkan, dapat dilakukan, dan dapat tercapai”.

Di sinilah kita harus bertanya: pendidikan seperti apa yang dibutuhkan dalam menanamkan pengetahuan dan akal sehat baru tersebut?

Perlu ditekankan, dalam upaya menjawab pertanyaan ini kita tidak bisa berhenti pada penanaman keterampilan semata, yang kemudian dijalankan oleh pendidikan vokasi yang diagungkan negara sebagai solusi ketenagakerjaan kita. Pembedaan tujuan pendidikan nonvokasi dan pendidikan vokasi hanya akan memperparah kesenjangan. Peserta pendidikan nonvokasi diberikan pengetahuan dan keterampilan lebih untuk “merespons” kebutuhan industri. Sedangkan pendidikan vokasi, dengan fokus pada keterampilan teknis saja, bisa jadi hanya jalan pintas dalam memenuhi kebutuhan industri—yang belum tentu berpihak pada kesejahteraan pekerjanya. Kemampuan peserta pendidikan vokasi untuk mengaktualisasikan dan mengembangkan diri ke depan akan terbatas karena pendidikan jenis ini condong pada pragmatisme pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Maka, perlu juga ditekankan bahwa kita tidak boleh berhenti pada reformasi pendidikan. Jika industri mengalami revolusi—sebuah perubahan sosial yang signifikan dan luas dampaknya terhadap kondisi, perilaku, dan cara beroperasi—pendidikan pun harus mengalami revolusi. Harus ada perubahan yang menyeluruh terhadap cara kita melihat pendidikan, tujuannya, dan dampaknya.

Sebelum masuk ke situ, kita harus terlebih dulu menelusuri, secara sekilas dan terbatas, masalah pendidikan saat ini. Fokus isu pendidikan kerap hanya mengacu pada kualitas pendidikan dari sudut pandang yang teknis, seperti kemampuan membaca dan berhitung yang masih sangat tertinggal. Keterbelakangan skill mendasar ini memang wajib ditanggulangi. Namun kita harus lebih dulu memahami bahwa pendidikan memiliki keterkaitan yang erat dengan budaya, politik, dan, terutama, ekonomi. Seperti kata sosiolog pendidikan Michael Apple bahwa “sistem pendidikan saat ini pada dasarnya bertujuan untuk mendukung pemeliharaan mode produksi/cara kerja ekonomi industri”. Sehingga, muncul masalah pendidikan, yakni menganggap tujuan akhir pendidikan adalah untuk pemenuhan ekonomi semata.

Kita dapat mengurainya tidak hanya dengan melihat kurikulum resmi dan kebijakan pendidikan yang diusung oleh negara, yang secara eksplisit menyebut bahwa tujuan pendidikan kita untuk memasok kebutuhan industri. Namun kita juga dapat menelusuri pendidikan dari yang laten, yang tersembunyi, atau seperti apa yang disebut oleh Apple sebagai hidden curriculum atau kurikulum yang tak tampak.

Ekonom Samuel Bowles dan Herbert Gintis beberapa dekade lalu menelusuri hidden curriculum secara mendalam di Amerika Serikat. Mereka menemukan bahwa cara kelola sekolah mencerminkan cara kelola pabrik yang hanya menuntut para pegawainya bekerja. Salah satunya adalah dengan menanamkan apa yang disebut oleh ahli pendidikan Paulo Freire sebagai “budaya diam”, sebuah pola pikir yang patuh terhadap struktur dan hierarki layaknya sebuah mesin yang bekerja sesuai dengan apa yang dikehendaki atasannya. Lalu, seperti apa hidden curriculum di dalam sistem pendidikan Indonesia?

Merenungi pengalaman pribadi kami berdua setelah melewati bangku sekolah di Indonesia, penanaman budaya pendidikan yang seperti pabrik terasa sangat kental di dalam sistem pendidikan kita. Sebagai contoh, kita dapat melihat otoritas pengajar masih dianggap tak tergoyahkan dan pengetahuan hanya “diturunkan” kepada para peserta didiknya. Ini proses pendidikan indoktrinasi yang secara perlahan mematikan kemampuan bertanya ketimbang mendorong pemikiran kritis dengan menelusuri dan mempertanyakan asal-usul pengetahuan tersebut.

Tak hanya itu, hierarki ilmu pengetahuan yang kerap menekankan bahwa seakan-akan ilmu pengetahuan sosial, seni, atau bahasa berada di bawah pengetahuan sains dan ilmu alam, mengisyaratkan pengetahuan yang sangat teknokratis dan hanya mencerminkan kebutuhan industri yang mengagungkan teknologi informasi. Terakhir, kita juga dapat melihat tergila-gilanya sistem pendidikan kita pada hasil akhir ketimbang pada proses pembelajaran. Sekali lagi, ini merupakan pendidikan massification, pendidikan yang berbasis produksi massal layaknya sebuah pabrik dan mengesampingkan kebutuhan dan keadaan peserta didiknya.

Apakah mungkin sistem pendidikan kita saat ini, yang tidak mendorong kita untuk bertanya dan mengimajinasikan alternatif baru, bisa melawan sebuah sistem atau kekuasaan yang melanggengkan kepatuhan yang buta, “pembebalan”, dan ketidaktahuan? Penting untuk disadari bahwa penguasaan terhadap struktur sosial, ekonomi, budaya, dan politik sebenarnya tidak mutlak dan tidak pernah sempurna.

Kekuasaan atau dominasi akan selalu dapat ditantang dengan beragam cara, termasuk melalui pendidikan. Untuk melawan budaya yang menindas ini, diperlukan pendidikan yang membebaskan, bukan pendidikan yang membelenggu seperti saat ini. Sebuah pendidikan emansipatoris, yang tidak hanya terlibat dalam pembangunan masyarakat yang kritis dan reflektif terhadap sekitarnya, namun juga mampu menanamkan budaya kolektif yang sangat diperlukan untuk membangun masyarakat yang demokratis secara politik dan ekonomi.

Ada dua kerangka kasar yang kami coba ajukan sebagai langkah awal dalam membentuk pendidikan emansipatoris yang dibutuhkan untuk menantang revolusi industri (nomor berapa pun itu), yang tidak berpihak pada kesejahteraan pekerja dan hanya demi efisiensi industri.

Pertama, memulainya dengan menanamkan demokrasi sebagai cara hidup dalam keseharian kita, sebuah deep democracy atau demokrasi yang dalam, seperti kata filsuf pendidikan John Dewey. Apakah itu lewat pengetahuan dalam pembelajaran, lewat perubahan kurikulum, atau melalui guru sebagai penjaga gerbang ilmu pengetahuan, ketika di dalam kelas atau lewat hidden curriculum sekolah.

Contoh hidden curriculum adalah ketika institusi pendidikan bisa mengubah cara mereka menjalankan sistemnya dengan melibatkan seluruh pihak di sekolah, termasuk para siswa dan pekerjanya, dalam pengambilan keputusan sebagai upaya mengkontekstualkan dan mendemokratisasi pendidikan yang diusungnya. Sangat menyedihkan melihat masyarakat perdesaan tidak mempelajari pengetahuan yang dibutuhkan dalam keseharian seperti pertanian. Mereka justru sibuk mempelajari apa yang “Budi” dan “Tono” lakukan di kota besar.

Proses pembelajaran demokratis sangat penting mengingat pengalaman dan pengetahuan negara dan masyarakat kita tentang demokrasi masih sangat dangkal. Hal ini diperparah dengan dikerdilkannya makna demokrasi menjadi sebuah pesta lima tahunan—pemilihan umum.  Demokrasi yang dalam adalah demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang inklusif, yang bukan untuk kepentingan sekelompok orang. Nilai-nilai ini harus menjadi pertimbangan pertama ketika mengambil keputusan yang menyangkut hidup orang lain. 

Hanya pendidikan yang memeluk deep democracy yang bisa membentuk masyarakat yang memahami pentingnya nilai-nilai demokrasi dan mengaktualisasikannya di seluruh lini kehidupan dan kesehariannya, dari berumah tangga, bertetangga, hingga dalam pekerjaan seperti di Mondragon. Singkat kata, dengan kesadaran bahwa segala sesuatu dapat dilakukan secara demokratis, industri pun dapat dan harus mengalami demokratisasi. Para pekerja sudah sepatutnya memiliki peran yang aktif dalam pengambilan keputusan hingga penentuan kebijakan menyangkut masa depan industri dan masa depan mereka sendiri.

Kedua, membangkitkan critical consciousness atau kesadaran kritis seperti yang diusung filsuf pendidikan dan pengusung pedagogi kritis, Paulo Freire. Dengan mengedepankan kesadaran kritis, diharapkan kita dapat mematahkan—meminjam istilah Friedrich Engels—false consciousness atau kesadaran palsu akan realitas sosial dunia. Kesadaran kritis mendorong pemahaman kita bertransformasi menjadi sebuah kesadaran yang mendalam akan cara kerja dunia di sekitar kita. Kesadaran ini membantu kita melihat kejanggalan dan kontradiksi-kontradiksi sosial, budaya, politik, dan ekonomi di masyarakat, yang berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keselarasan hidup dengan alam.

Kesadaran kritis sebagai nafas baru pendidikan dapat menyadarkan kita untuk melawan “banking education, pendidikan yang hanya meminta kita untuk menyimpan pengetahuan bagaikan tabungan bank tanpa sungguh-sungguh memahami pengetahuan tersebut. Dengan pemahaman atau kerangka berpikir baru akan cara kerja dunia, kesadaran kritis juga dapat menggerakkan kita untuk merespons penindasan dalam kehidupan kita atau orang lain dengan cara yang kontekstual dan dengan tujuan untuk mengubah sistem yang menindas tersebut.

Menurut ahli pedagogi kritis lainnya, Henry Giroux, hanya dengan budaya pendidikan kritis semacam inilah seseorang dapat menjadi agen individual dan sosial, ketimbang menjadi penonton yang tak peduli akan realitas sosialnya. Mereka yang kritis mampu menantang kekuasaan dan menjadi kekuatan baru dalam menyebarkan kebaikan bersama dan menghasilkan demokrasi yang berarti, bukan demokrasi yang direduksi dengan hanya pencoblosan di bilik kotak suara.

Pendidikan yang mengedepankan kesadaran kritis bukanlah hal yang utopis. Negara-negara maju semacam Selandia Baru telah lama menanamkan kesadaran kritis melalui sejumlah programnya seperti Social Inquiry Approach yang mengajak siswa SD hingga SMA untuk menelusuri secara kritis realitas sosial di lingkungan terdekatnya. Perlu diingat, penelusuran realitas sosial di sekitar kita secara kritis tak dapat dibatasi atau disensor. Di Selandia Baru, hal tersebut justru mengharuskan negara untuk terbuka, termasuk dalam isu HAM, keadilan sosial, hingga lingkungan—dengan negara sering kali berperan. Keterbukaan ini juga penting untuk mengurai kejadian kelam yang dialami bangsa pada masa lalu.

Tak mudah menjabarkan secara detail solusi dalam bidang pendidikan untuk menyongsong RI 4.0. Sebab, ketika membicarakan pendidikan, kita sebenarnya sedang membahas sesuatu yang kompleks: kurikulum, pedagogi, kualitas tenaga pengajar, masalah infrastruktur sekolah, isu kesenjangan, isu kesejahteraan, isu kebudayaan, isu pembangunan, dan belum lagi tarik-menarik kepentingan antarelemen di pemerintahan. Harapan kami sebenarnya sederhana: tulisan ini bisa jadi pemantik dalam mengubah cara pandang kita terhadap pendidikan, industri, relasi di antara keduanya, dan diri kita sebagai warga negara dan sebagai manusia yang selalu mencari makna.

Akhir kata, kami ingin menutup tulisan ini dengan beberapa pertanyaan:
Siapa yang paling diuntungkan oleh sistem tempat kerja kita?
Mengapa sangat sulit membayangkan sebuah kondisi alternatif tentang relasi pekerja dengan pemegang kekuasaan di tempat kita bekerja?
Seberapa jauh industri telah berfungsi sebagai alat untuk kebutuhan manusia (yang selaras dengan alam), dan seberapa jauh manusia yang berfungsi sebagai alat untuk kebutuhan industri?
Bagaimana pengalaman pendidikan kita selama ini membentuk cara pandang kita terhadap pekerjaan, kehidupan, dan kewarganegaraan?
Apakah tujuan pendidikan formal hanya untuk mempersiapkan masyarakat menjadi pekerja?
Apakah sulit membayangkan tujuan pendidikan yang berbeda, yakni nilai-nilai demokrasi yang dalam, kesadaran kritis, dan kemampuan masyarakat untuk berpikir mandiri tentang keadaan di sekitar dirinya dan terlibat dalam perubahan sosial yang demokratis?

Era revolusi industri 4.0 tak bisa dicegah. Semoga pertanyaan-pertanyaan di atas bisa menjadi bekal perenungan kritis untuk mengawali sebuah revolusi pendidikan yang bisa mengimbangi revolusi industri (nomor berapa pun itu) di Indonesia.

Ben Laksana dan Rara Sekar menjadi pemantik IDE untuk Sub-Tema 2 IDF 2019: Reformasi Sistem Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (TVET) untuk Pekerjaan Masa Depan.

Punya ide untuk pendidikan di Indonesia?
Silakan tuliskan tanggapan melalui kolom komentar atau kirimkan IDE Anda dengan format blog/ artikel, vlog, atau infografik melalui Pengajuan Proposal IDF 2019. Ide akan dipublikasi pada situs web IDF dan sebagian akan dipilih untuk dipaparkan pada Pasar Ide dan Inovasi.

Komentar terpilih dan Ide terpopuler akan mendapatkan suvenir dari Du’anyam. Kirimkan Idemu segera!

 

Ben K. C. Laksana
Dosen dan peneliti dengan pengalaman lebih dari 8 tahun di penelitian sosial terutama interseksi antara pendidkan, anak muda dan sosiologi, telah bekerja sebagai peneliti untuk beragam organisasi lokal maupun internasional. Sebelum ini Ben bekerja untuk Fakultas Pendidikan, Victoria University of Wellington, New Zealand, sebagai peneliti muda dan juga asisten dosen untuk beberapa mata kuliah seputar sosiologi, pendidikan dan anak muda. Selain di penelitian, Ben saat ini aktif sebagai dosen Hubungan Internasional di International Univeristy Liaison Indonesia (IULI) dan dibawah Arkademy Project turut aktif mengembangkan pendidikan kritis untuk masyarakat umum dengan menggunakan fotografi sebagai mediumnnya. Ben memiliki gelar sarjana dari Hubungan Internasional dari Unviersitas Katolik Parahyangan dan master di bidang Pendidikan dari Victoria University of Wellington. 

Rara Sekar
Rara Sekar adalah seorang musisi independen dan peneliti di bidang sosial dan budaya. Dia memperoleh gelar S2 di jurusan Antropologi Budaya dari Victoria University of Wellington, Selandia Baru, dengan fokus penelitian di persimpangan isu pendidikan, pembangunan, anak muda dan adat. Sebelumnya, Rara juga bekerja sebagai tutor (asisten dosen) di jurusan Antropologi Budaya VUW mengampu kelas Antropologi HAM dan Pembangunan. Saat ini Rara bekerja sebagai peneliti lepas untuk CCPHI, meneliti potensi koperasi riset di Indonesia. Selain itu, Rara juga aktif mengajar riset dan fotografi 


Comment
--> -->