Revisi Substitusi Impor Bahan Industri Karena Pandemi
July 14, 2020Pemerintah Indonesia terus berusaha memulihkan sektor industri manufaktur dan mendukung kesiapannya adaptasi kebiasaan baru (new normal). Sejumlah kebijakan industri direvisi untuk menyesuaikan situasi di tengah pandemi virus corona atau COVID-19. Salah satu kebijakan yang disesuaikan ialah terkait substitusi atau pengurangan impor untuk bahan baku industri.
“Substitusi awalnya diproyeksi tercapai pada akhir tahun 2021, target tersebut kami sesuaikan untuk bisa dicapai pada akhir 2022,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita seperti yang dikutip dari laman Kemenperin.go.id.
Pemerintah Indonesia mengoreksi target pengurangan atau substitusi impor produk industri sebesar 35 persen hingga 2022, dari sebelumnya ditargetkan untuk dicapai pada akhir 2021. Agar target substitusi impor tak lagi mundur, Kemenperin menganggarkan biaya sebesar Rp 500 miliar melalui instrumen Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN)
“Caranya ada pengoptimalan kebijakan untuk menerapkan pembelian produk dalam negeri terutama untuk belanja pemerintah serta fasilitasi pembangunan infrastruktur dalam kawasan industri,” ujar Menteri Agus.
Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menghasilkan produk substitusi impor di bidang industri. Strateginya adalah mendorong industri substitusi impor untuk meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri. Misalnya, industri pengolahan bahan galian logam dan non logam, petrokimia, kelapa sawit, dan lain sebagainya. Cara ini tak hanya menghasilkan bahan baku industri tetapi juga menciptakan lapangan kerja.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mengatakan industri substitusi impor dapat memulihkan investasi di sektor padat karya dan menyerap tenaga kerja sehingga mampu mengurangi kemiskinan. Apalagi, Bappenas mencatat ada sekitar 2 juta hingga 3 juta orang yang kehilangan pekerjaan karena pandemi.
"Yang menjadi penting saat ini adalah memulihkan iklim investasi terutama untuk sektor padat karya maupun pariwisata karena sektor itu yang mengalami keterpurukan luar biasa akibat covid-19, di samping sektor industri, khususnya industri manufaktur dan perdagangan. Kita pulihkan lagi aktivitas substitusi impor, aktivitas ekspor, mempromosikan penggunaan produk dalam negeri," tutur Menteri Suharso dikutip dari Vivanews.com.
Salah satu industri yang siap melakukan substitusi impor ialah sektor kimia dan farmasi. Badan Usaha Milik Negara di bidang farmasi telah melakukan spesialisasi produk berdasarkan arahan Menteri BUMN. Kimia Farma difokuskan untuk memproduksi obat-obatan kimia yang berasal dari bahan baku kimia. Bio Farma diarahkan untuk memproduksi vaksin, bio plasma, dan sel punca (stem cell). Sementara itu, Indofarma diprioritaskan untuk memproduksi obat-obatan herbal.
“Pengembangannya nanti bekerjasama dengan GP (Gabungan Pengusaha) Jamu. Jadi kalau mereka butuh bahan baku jamu, nanti kita produksi. Nanti perusahaan (GP Jamu) ini akan mendata ekstrak apa yang dibutuhkan pengusaha-pengusaha jamu, sehingga produksinya lebih besar,” tutur Direktur Utama Indofarma Arief Pramuhanto seperti yang dikutip dari Alinea.id.
Contoh lain adalah industri tekstil. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta mengatakan Indonesia merupakan produsen terbesar kedua dunia untuk rayon dan ketiga dunia untuk polyester. Dua bahan baku tekstil tersebut dihasilkan oleh industri Indonesia dengan kapasitas produksi masing-masing 800 ribu ton dan 1,6 juta ton per tahun.
Rayon dan polyester berpotensi menggantikan kapas impor yang kerap digunakan untuk memproduksi kapas. Penyebabnya karena tren dunia yang beralih dari katun ke bahan tekstil non-katun. Dengan teknologi terkini, rayon dan polyester dapat menghasilkan serat hampir menyerupai katun. Ini peluang bagi Indonesia untuk melakukan substitusi impor dan melakukan ekspor bahan baku tekstil dan produk tekstil.
“Kalau dulu cotton (katun) 60%, polyester 35%, dan sisanya yang lain. Sekarang sudah bergeser. Cotton sekarang 40%, polyester 40%, dan rayon 20%. Kalau kita lihat tren sekarang, cotton akan berkurang jadi 35%. Sedikit demi sedikit substitusi terjadi,” tutur Redma.
Substitusi impor dan peningkatan ekspor industri tentu membutuhkan inovasi di bidang industri manufaktur. Inovasi industri bisa dihasilkan melalui kolaborasi triple helix antara pemerintah, akademis atau lembaga penelitian, dan industri. Kolaborasi yang serupa dengan yang dilakukan oleh aktor pembangunan di Indonesia Development Forum (IDF).
Di pembahasan IDF, substitusi impor merupakan bagian strategi industrialisasi untuk mendorong transformasi ekonomi. Substitusi impor tak hanya mencerminkan kekhususan dan keunikan situasi Indonesia, tetapi juga memungkinkan untuk dilaksanakan di era perekonomian global yang dinamis saat ini.
Punya solusi lain? Sampaikan pendapatmu di kolom komentar media sosial Indonesia Development Forum!
Bappenas Paparkan Proyeksi Ekonomi Biru di Indonesia Development Forum 2023
Bappenas Paparkan Proyeksi Ekonomi Biru di Indonesia Development Forum 2023
Road to IDF 2023: Komitmen Bappenas Optimalkan Potensi Ekonomi Biru Berkelanjutan Di Papua dan Indonesia
Road to IDF 2023: Komitmen Bappenas Optimalkan Potensi Ekonomi Biru Berkelanjutan Di Papua dan Indonesia
Bappenas Pastikan Blue Economy Jadi Prioritas Kerja Sama Negara ASEAN
Tweets by IDDevForum