Pembicara Terpilih IDF 2019: Bianca Putri Ramadhani Sambut Revolusi 4.0 di Industri Tekstil dengan BRIDG.IT

September 25, 2019

Bianca Putri Ramadhani

Industri tekstil dan garmen tidak mudah beradaptasi menuju revolusi industri 4.0 sehingga membutuhkan jembatan. Demikian disampaikan Pembicara Terpilih IDF 2019, Bianca Putri Ramadhani, lewat penelitiannya dengan judul BRIDG.IT for Sustainable Jobs”. BRIDG.IT adalah tools untuk membantu perusahaan menyiapkan diri menyambut revolusi industri 4.0.

“Pemerintah sudah menyiapkan road map industry 4.0, tapi karena saya sudah pengalaman di industri, saya rasa tetap saja jembatan diperlukan,” jelas Bianca.

Bianca merupakan Sustainability Project Leader di H&M Indonesia. Sehari-hari ia fokus menangani isu pembangunan berkelanjutan. Khususnya, membuat perusahaan global meningkatkan praktik keberlanjutan mereka, membantu kesuksesan solusi global, dan membuat agenda keberlanjutan lebih menarik dari segi bisnis.

Karya Bianca terutama berkaitan dengan Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) PBB, khususnya dalam konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, energi yang terjangkau dan bersih, serta aksi iklim. Bianca bergelar Master Teknik Kimia dari Universitas Indonesia. Sebelumnya, Bianca belajar Teknik Lingkungan di Institut Teknologi Bandung.

Industri tekstil dan garmen menjadi salah satu fokus dari Making Indonesia 4.0, Road Map Industry 4.0 yang diluncurkan pada April 2018. Bianca menjelaskan pertumbuhan industri Tekstil & Garmen pada 2017 adalah 6,6 persen, atau telah melampaui pertumbuhan ekonomi nasional pada 2017, sebesar 5,07 persen. Lebih dari itu, industri tekstil dan garmen sebagai industri yang menyerap jumlah pekerja tergolong besar, sehingga perlu dipikirkan nasib mereka ke depan.

“Perusahaan harus memahami bahwa otomasi bukan satu-satunya terjemahan Industri 4.0 dan tidak akan pernah menempatkan pekerja dalam risiko kehilangan pekerjaan mereka,” terang Bianca.

 

Tiga Pilar Antisipasi dalam BRIDG.IT   

Jembatan dibutuhkan untuk menuntun industri tekstil dan garmen agar tahu langkah yang harus mereka lakukan untuk membuat para pekerja tidak kehilangan pekerjaan sekaligus perusahaan bisa berkelanjutan. Bianca mengusung konsep yang dinamai BRIDG.IT.

“BRIDG.IT menyediakan tools ramah pengguna bagi perusahaan tekstil dan garmen untuk menentukan jalur mereka untuk mengimplementasikan Industri 4.0,” lanjut Bianca.

Konsep BRIDG.IT mengacu pada tujuan ke-8 Sustainable Development Goals (SDGs) yang mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif dan berkelanjutan, pekerjaan penuh dan produktif, serta pekerjaan yang layak untuk semua. Ada tiga pilar dalam metode ini.

Pertama, Bridge the Value Drivers & Levers. Dalam hal ini, perusahaan memilah pilihan kemajuan menuju Industri 4.0 sehingga bisa membantu menentukan strategi yang akan dipakai.

Kedua, Bridge the Area & Technology. Teknologi sangat penting untuk meningkatkan kemampuan pabrik dalam mengatasi permintaan pasar yang terus berubah sehingga  tetap kompetitif secara global pada masa depan.

“Perusahaan harus tahu lebih dulu area dan teknologi apa yang harus di-approve. Jadi, apakahnya semua area harus diindustri 4.0-kan atau hanya beberapa area saja? Misalnya, apakah terkait kualitas, atau pengiriman? Bergantung pada perusahaan masing-masing,”  papar Bianca lagi.

Ketiga, Bridge the Skill. Jika sudah bisa mengidentifikasi area yang akan dicapai, selanjutnya peran pekerja harus mulai dipikirkan.

“Perusahaan harus mengidentifikasi dan kemudian mengembangkan matriks keterampilan untuk mencocokkan keterampilan yang diperlukan di masa depan,” lanjut Bianca.

 

Tiga Ketrampilan untuk Pekerja

Menurut Bianca, pendekatan konsep BRIDG.IT dalam industri 4.0, berpusat pada manusia. Bianca menyebut ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk mengutamakan para pekerja.

“Yaitu kemampuan kognitif, system skill, dan complex problem solving. Itu adalah tiga area yang harus dijembatani oleh teman-teman. Jangan sampai karena perubahan teknologi dan industri 4.0 yang sangat rapid ini, skill, dan knowledge para pekerjanya timpang,” tambah Bianca.

Dengan tiga modal keterampilan tersebut, pekerja memiliki perlindungan saat revolusi industri 4.0 mulai dijalankan. Bianca mencontohkan, tenaga kerja  yang paling banyak dalam industri garmen yakni operator jahit.

“Mungkin mereka hanya bisa jahit, dan mungkin ke depan ada teknologi mesin jahit makin canggih, yang bisa dengan mudah menggantikan peran mereka,” tutur Bianca.

Tatkala para pekerja sudah dibekali kemampuan kognitif, system skill, dan complex problem solving, mereka akan bisa menjalankan peran lain yang lebih kompleks.

“Perubahan teknologi dapat mengarah ke baik atau buruk tetapi itu tergantung pada kita. Di mana industri 4.0 diadopsi, kita harus memastikan bahwa pekerja diuntungkan dari keputusan ini,” kata Bianca.

Penelitian Bianca dalam persiapan industri tekstil dan garmen menyambut revolusi Industri 4.0 ini dipaparkan dalam sesi IDF 2019 Ideas and Innovation Marketplace Co-creating and Collaborating, pada 22 Juli. Penelitian ini mengulas upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan memastikan penciptaan lapangan kerja menuju era industri 4.0, serta strategi untuk mempersiapkan angkatan kerja dan pasar kerja untuk merespon era industri 4.0. Bahasan akselerasi industri ini menjadi bagian dari diskusi Sub-tema 1 IDF 2019: Mempercepat Transformasi Struktural, yang merangkai tema besar IDF 2019, “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”.