Banyak pihak menilai adanya kebutuhan yang mendesak akan kebijakan dan strategi pengembangan Industri Mikro dan Kecil (IMK) agar bisa “naik kelas”. Harapannya adalah IMK “naik kelas” mengisi hollow middle dalam struktur industri nasional. Saat ini jumlah IMK-nya mendominasi (90 persen dari jumlah industri di Indonesia) tetapi produktivitasnya rendah. Sehingga belum mampu menjadi penyokong industri besar dalam akselerasi pertumbuhan ekonomi dan ekspor Indonesia. Produktivitas IMK secara umum masih rendah, yang disebabkan oleh terbatasnya akses permodalan, pemasaran, bahan baku, dan kemitraan usaha. IMK juga belum menerapkan tata kelola dan standardisasi produk yang baik, selain memiliki kemampuan inovasi dan pengembangan teknologi produk, kewirausahaan, serta akses input produksi yang terbatas. Hanya sebagian kecil juga IMK yang telah terhubung dengan pasar ekspor, baik langsung maupun tidak langsung.
Kendala-kendala ini menyulitkan industri skala mikro untuk naik kelas ke kecil, apalagi menuju skala industri besar/sedang. Pasca Covid-19, IMK juga akan dihadapkan pada tren digitalisasi yang semakin cepat dan prospek pemulihan yang diwarnai dengan praktik-praktik industri hijau, serta tuntutan produktivitas yang lebih tinggi. Berbagai upaya pemerintah dalam mendorong pengembangan IMK belum optimal, sehingga diperlukan alternatif gagasan, praktik baik, serta model-model pengembangan bagi IMK untuk lebih produktif dan mendorong tumbuhnya IMK-IMK baru yang berdaya saing.
Kata Kunci
Industri mikro dan kecil, "naik kelas", produktivitas, akses bahan baku-permodalan-pemasaran, kemitraan usaha, tata kelola dan standardisasi, inovasi, kewirausahaan, ekspor.
Pendalaman sub-tema