Pembicara Terpilih IDF 2019: Purnama Sari Pelupessy Dorong Peningkatan Keamanan dan Keselamatan Pekerja Lepas untuk Layanan Domestik

October 07, 2019

Purnama Sari Pelupessy (berkaca mata) tengah berdikusi dengan wakil Pramuka.

Perkembangan peluang kerja dalam “gig economy” harus diimbangi dengan perlindungan para pekerjanya.  Hal ini disampaikan Pembicara Terpilih IDF 2019, Purnama Sari Pelupessy, khususnya untuk melindungi pekerja perempuan. Gig economy adalah tren perusahaan yang lebih memilih untuk mempekerjakan pekerja lepas (freelance) dan pekerja kontrak daripada pekerja tetap.

“Yang terbaru dalam gig economy adalah pekerjaan yang berbasis aplikasi, jadi lebih fleksibel  karena ada pemanfaatan teknologi digital. Nah, dalam hal ini meski basisnya digital, faktor manusianya harus tetap jadi isu utama,” kata Purnama yang merupakan Direktur Sang Akar Institute. Ia banyak meneliti isu pendidikan, teknologi, perempuan, dan ketenagakerjaan di Indonesia.

Purnama menyebut, di Indonesia layanan domestik berbasis aplikasi antara lain diramaikan GoMaid, Mbakmu, OKHOME, TukangBersih, GoClean, dan GoMassage.  Hadirnya layanan domestik menyebabkan perempuan turut ambil bagian dalam pekerjaan ini. Dengan demikian, pekerjaan di layanan platform digital turut menyerap dan meningkatkan angka partisipasi kerja perempuan. 

“Di satu sisi tren gig economy membuka kesempatan kerja yang luas, termasuk untuk perempuan, dan ini juga terkait memanfaatkan bonus demografi. Tapi di sisi lain, terdapat hambatan bagaimana keamanan dan keselamatan pekerja khususnya yang pekerja di layanan domestik,” papar Purnama.

 

Pelecehan Telah Terjadi

Purnama menyebut sejumlah kasus dalam penelitiannya yang membuktikan  potensi gig economy dalam menciptakan peluang kerja perlu diimbangi dengan upaya-upaya peningkatan keselamatan. Upaya itu harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan industri.

Dalam penelitiannya yang dipaparkan pada IDF 2019, Purnama memberi contoh beberapa kejadian pelecehan yang dialami pekerja saat memberi pelayanan. Kasus tawaran sejumlah uang agar pekerja mau menemani tidur, pergi ke hiburan malam, hingga mandi bersama klien. Ada pula klien yang menunjukkan alat kelamin hingga meminta pekerja memegangnya.   

“Pada Maret lalu, ada juga kasus perkosaan terhadap pekerja perempuan terapis berbasis aplikasi di Bandung. Dari kasus ini saya melihat bahwa  fleksibilitas  dalam gig economy membawa kerentanan terhadap keamanan dan keselamatan pekerja di sektor layanan domestik,” katanya. 

 

Upaya Peningkatan Keamanan Pekerja Perempuan

Purnama mengapresiasi sejumlah perusahaan berbasis aplikasi yang telah berupaya meningkatkan keamanan pekerja. Upaya itu antara lain, langkah meluncurkan #mulairespek sebagai bentuk kampanye GoLife untuk menentang pelecehan seksual.

Selain itu, sejumlah perusahaan juga membuat mekanisme pengamanan. Peringatan menindak tegas semua pelanggaran termasuk pelecehan seksual sesuai hukum dan undang-undang (UU) dimunculkan pada laman depan layanan yang harus dicentang sebelum klien mengkonfirmasi pesanan.

Peringatan ini, menurut Purnama, menjadi perlindungan “lapis terluar” yang bertujuan untuk mengingatkan klien agar memahami batas pelayanan berdasarkan SOP yang telah ditetapkan perusahaan. Namun peringatan ini akan mudah dilanggar, jika tidak dilengkapi dengan UU dan sanksi.

“Itu juga mengapa penting Rancangan Undang-undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU PKS) disahkan. Teknologi digital tidak akan maksimal digunakan jika tidak ada intervensi oleh negara,” kata Purnama.

Selain pengesahan RUU PKS, juga perlu ratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 190 tentang Pengakhiran Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Dalam pengesahan RUU PKS dan ratifikasi Konvensi, pemerintah dan DPR menjadi pemangku kepentingan kunci untuk menyiapkan kebijakan untuk melindungi pekerja perempuan lepas di layanan domestik online.

Langkah berikutnya, perlu penyediaan tombol darurat bagi terapis yang terdapat pada laman pesanan. Tombol ini merupakan alat perlindungan yang paling utama bagi terapis. Alat ini akan mengirimkan sinyal bantuan darurat kepada kepolisian terdekat untuk segera datang ke lokasi kejadian. Tombol darurat ini hanya bisa diakses oleh terapis pada saat pekerjaan berlangsung. Namun bagaimana jika kekerasan seksual terjadi ketika layanan telah diselesaikan oleh terapis?

“Untuk itu harus perbaiki, tombol masih berfungsi sampai pekerja merasa benar-benar telah aman,” lanjut  Purnama.

Selain memperbaiki tombol darurat, pengawasan melalui perekaman digital (digital recording) percakapan lisan maupun tulisan menjadi hal yang dimungkinkan sebagai bukti dokumentasi hubungan kerja benar terjadi secara profesional. Perekaman tulisan dapat berupa tanda-tangan di atas pemberitahuan digital mengenai konsekuensi yang akan terjadi kepada klien jika melakukan kekerasan seksual. Identitas pelaku juga harus disebar kepada seluruh terapis untuk pencegahan lebih luas.

Karena penghapusan kekerasan seksual adalah tugas bersama, maka pemerintah atau swasta dapat merekrut relawan untuk membentuk unit respons cepat di setiap wilayah. Selain itu, pencegahan dapat dilakukan dengan perkembangan teknologi, seperti aplikasi peringatan darurat dari perangkat mobile: EyeWatch atau Protective Fashion Object (PFO). Teknologi ini dapat ditujukan kepada klien. Jika klien menyebutkan kata yang mengandung unsur pelecehan verbal dan mengarah pada kekerasan, aplikasi dapat mengubah fungsi deteksi sinyal Save Our Soul (SOS) menjadi deteksi sinyal Catch Me Immediately (CMI)..  Untuk membiayai teknologi ini, pemerintah dapat memberlakukan pajak layanan digital atau memanfaatkan dana Corporate Social Responsbility (CSR).

“Lebih dari itu, semua pelaku industri harus menjadikan manusia sebagai pusat dari proses kerja. Teknologi membantu, tapi tidak akan berarti apa-apa, jika tidak ditujukan untuk melindung  manusia dan bermaanfaat bagi manusia,” tutup Purnama. 

Penelitian Purnama menjabarkan pokok bahasan rekomendasi kebijakan untuk mengurangi hambatan terhadap pekerjaan yang layak bagi kelompok rentan.  Bahasan ini ada dalam Sub tema-3: Menciptakan Peluang Kerja yang Inklusif. Purnama menampilkan paparannya pada 23 Juli dalam sesi Co-Creating Inclusive Employment Opportunities yang merangkai gelaran IDF 2019 bertema, “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”.

 


--> -->