Pembicara Terpilih IDF 2019: Marthella Rivera Suguhkan MagangIn, Jalan Bagi Penyandang Disabilitas ke Dunia Kerja

September 26, 2019

Marthella Rivera Roidatua

Kesempatan magang di industri yang diberikan bagi penyandang disabilitas kerap kali hanya bersifat magang lepasan dan berakhir berakhir tanpa sertifikat. Apalagi kesempatan untuk lanjut bekerja. Pembicara terpilih Indonesia Development Forum (IDF) 2019 Marthella Rivera Roidatua berpendapat, kondisi ini perlu diperbaiki dengan membuat konsep magang yang berkelanjutan. Konsep itu dipaparkan dalam makalah berjudul MagangIn: Alternatif Penciptaan Pasar Kerja Inklusif Disabilitas.

“MagangIn atau magang inklusif sangat potensial dan feasible dilakukan sebagai inovasi untuk menciptakan pasar kerja inklusif baik di sektor pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun swasta,” jelas Marthella.

Marthella saat ini bekerja sebagai Peneliti Ahli Pertama Bidang Kebijakan Sosial di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Sebelumnya, ia bekerja di Bappenas dan bertugas menyusun Peraturan Pemerintah dan Rencana Induk Pembangunan Inklusif Disabilitas.

Marthella juga mendirikan organisasi yang berfungsi mempertemukan disabilitas dan non-disabilitas bernama Koneksi Indonesia Inklusif / Konekin. Konekin juga memberi pelatihan tentang inklusivitas pada Human Resource Development (HRD) di sejumlah perusahaan. Paper tentang MagangIn yang ditampilkan di IDF 2019, disusun Marthela bersama Chintia Octenta, Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di bagian Analis Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM.

Dasar penciptaan Konsep MagangIn adalah, Undang-undang No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU Penyandang Disabilitas menyatakan kewajiban untuk mempekerjakan setidaknya 2 persen untuk instansi pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta 1 persen untuk instansi swasta.

“Kenyataan meski sudah berlaku dua tahun lebih, sosialisasi ke bisnis sektor masih sedikit. Dan kita tidak punya kekuatan untuk mendorong perusahaan wajib memenuhi kuota, plus BUMN dan instansi pemerintah juga belum sepenuhnya memberi contoh pemenuhan kuota,” kata Marthella.

Sementara terkait UU Ketenagakerjaan, Marthella menyoroti aturan tentang pemberian kesempatan magang di perusahaan.

“Di lapangan terungkap, magang yang ada, termasuk yang diberikan kepada penyandang disabilitas hanya kesempatan bergabung tiga sampai enam bulan, lalu sudah. Itu pun lebih banyak muncul karena niat baik perusahaan, jadi terserah mereka,” tambah Marthella.

Selain itu, kata Marthella, dalam proses magang yang singkat, para penyandang disabilitas cenderung sulit membaur.

“Makanya dalam MagangIn kita buat dengan skema tidak hanya merekrut, tapi juga menyiapkan instansi atau tempat kerjanya supaya lebih inklusif,” lanjutnya.

 

Masih Harus Mengandalkan Kebijakan Top Down

Lantaran magang bagi disabilitas masih banyak mengandalkan niat baik perusahaan, Marthella berpendapat perlu campur tangan pemerintah.

“Jadi menurut kami harus top down, dan itu muncul dengan konsep perlunya Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri,” katanya.

Empat Kementerian yang dimaksud adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Ketenagakerjaan, serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Menurut Marthella, SKB bisa mengikuti pola yang sudah diujicobakan Kementerian Perindustrian yang telah membuat nota kesepahaman dengan Kementerian Sosial, untuk meningkatkan kompetensi penyandang disabilitas agar siap bekerja di sektor industri.

“Tapi itu jenis industri, jenis pekerjaannya masih terbatas, seperti membuat keset dan lain-lain. Jenis disabilitas yang direkrut juga terbatas. Dengan SKB Empat Menteri akan lebih luas,” kata Marthela lagi.

Mengapa harus empat Menteri? Marthela menjelaskan peran setiap kementerian:

  1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berperan menyiapkan skill bagi penyandang disabilitas sejak mereka di bangku sekolah, baik di sekolah inklusif maupun Sekolah Luar Biasa (SLB). Kemendikbud perlu inovasi kurikulum vokasi.
  2. Kementerian Sosial bertanggung jawab untuk proses rehabilitasi Vokasional Bina Daksa dan pengembangan berbagai Balai Sosial lain menurut ragam disabilitas yang tersebar di daerah.
  3. Setelah penyandang disabilitas melawati proses rehabilitasi dan mandiri untuk bekerja, diperlukan penajaman oleh Kementerian Ketenagakerjaan lewat Balai Latihan Kerja (BLK). Kemnaker memonitor penyerapan tenaga kerja di perusahaan.
  4. Banyak penyandang disabilitas yang lulus perguruan tinggi, tapi tetap kesulitan mendapat pekerjaan, sehingga Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi  (Kemenristekdikti) perlu dilibatkan.

“Empat kementerian harus duduk bersama memformulasikan proses dari mulai pendidikan, rehabilitasi, pendidikan tinggi, hingga ke pekerjaan,” tegas Marthela.

Berbekal SKB, perusahaan akan memiliki acuan dan standarisasi pelaksanaan pemagangan. Selain itu, penyerapan tenaga kerja penyandang disabilitas menjadi tepat sasaran sesuai kebutuhan pasar serta kompetensi penyandang disabilitas sebagai peserta magang.

Formula 2(n)+1 dan Jumat-in

Tujuan MagangIn kata Marthela adalah menjadikannya sebagai tahap pertama proses perekrutan tenaga kerja disabilitas, bukan sekadar program pemagangan lepas.

“Kuota pemagangan dapat diformulasikan 2(n)+1, di mana ‘n’ adalah jumlah penyandang disabilitas yang ingin direkrut,” kata Marthela.

Artinya, jika ingin merekrut dua penyandang disabilitas untuk bekerja, maka kesempatan magang diberikan pada lima penyandang disabilitas.

“Dua terbaik direkrut, tiga lainnya mendapat sertifikat. Pada dasarnya seluruh peserta magang wajib diberikan sertifikat,” lanjut Marthela.

Tujuannya agar peserta magang yang belum memenuhi kualifikasi perusahaan namun sudah mengikuti program magang memiliki modal untuk melamar ke perusahaan lain dengan sertifikat yang dimilikinya.

Langkah selanjutnya agar Magang-in efektif perlu menyiapkan tempat kerja inklusif. Caranya melalui Jumat-in, yaitu sharing session setiap Jumat.

“Sebenarnya harinya bisa hari apa saja, bisa Senin-in, Selasa-in, tapi intinya ada kesempatan bagi pemagang disabilitas membagi pengalamannya, atau bisa juga mendiskusikan topik lain yang menyangkut inklusivitas dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas,” terang Marthela.

Dalam sesi berbagi, perusahaan dan pemagang bisa mencari solusi bersama.

“Kadang tidak harus keluar ongkos mahal untuk inklusif, tapi perusahaan tidak tahu. Misalnya, dokumen agar tidak pakai PDF tapi pakai word, agar penyandang disabilitas netra bisa menggunakan aplikasi tertentu untuk membacanya,” Marthela mencontohkan.

Hal lain yang harus ada dalam proses magang inklusif adalah pendamping atau supervisi. Pendamping bisa menjadi penyambung lidah pemagang ke perusahaan, termasuk menyampaikannya dalam sharing session. Pendamping maupun supervisor juga bertugas mengevaluasi proses magang yang akan jadi masukan buat perusahaan, tentang apa yang harus dibenahi untuk mempekerjakan penyandang disabilitas.

Marthella menampilkan makalahnya dalam sesi Ideas and Innovation Marketplace Co-Creating and Collaboration pada 22 Juli 2019. Penelitian Marthella menyoroti pendekatan untuk meningkatkan kesadaran pemberi kerja dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan peluang kerja yang setara. Sorotan peluang kerja inklusif masuk dalam Sub tema-3 Menciptakan Peluang Kerja yang Inklusif yang merangkai tema besar IDF 2019, “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif.”

 


--> -->