• Kalis Mardiasih
    Kalis Mardiasih
    Kalis Mardiasih adalah penulis kreatif dan kolumnis produktif di beberapa media digital seperti Detiknews dan DW Indonesia. Saat ini, ia telah menulis dua buku, berjudul Berislam Seperti Kanak-Kanak (Yayasan Islam Cinta, 2018) dan Muslimah Yang Diperdebatkan (Buku Mojok, 2019). Bersama Jaringan Nasional Gusdurian, Kalis terlibat dalam memetakan kondisi, menganalisis tantangan, memfasilitasi pelatihan literasi dan memproduksi konten kampanye Indonesia Rumah Bersama dalam merespons eskalasi ujaran kebencian di media digital. Pada tahun 2018, Kalis mengikuti Islam and Gender Equality and Justice: South East Asia Regional Course yang diadakan oleh Sisters in Islam dan Musawah.

Membela Kemanusiaan Perempuan di Hadapan Arus Konservatisme dan Ekstremisme Beragama

May 29, 2019

Kalis Mardiasih memantik diskusi Mengembangkan Talenta dan Pasar Lokal

Agama mendapat ruang di internet dengan segala perwajahan. Beragam ustaz yang berceramah atau memimpin zikir, kitab-kitab digital, tutorial ibadah dalam bentuk tulisan, audio hingga video, hingga pada level ekstrem, tutorial membuat bom dari jaringan teroris, sebuah barisan yang menganut ide-ide ekslusivisme kelompok namun secara paradoks ikut menikmati tradisi kebebasan dunia digital. 

Literasi media adalah bentuk kata kerja yang makin sering terdengar belakangan ini. Pelatihan untuk mendidik warga negara agar mengenali sumber-sumber berita yang valid dan isi informasi yang terverifikasi ini banyak menyasar anak sekolah dan generasi muda sebagai pengguna utama teknologi internet. 

Pada kenyataannya, simpul-simpul sosial hari ini justru kewalahan menghadapi para orang tua yang tidak siap sama sekali dengan ekosistem informasi digital. Di Facebook, di twitter hingga grup-grup WhatsApp keluarga, para orang tua lah yang rajin menyebarkan siaran pesan instan anonim hingga video hoaks politik, agama, dan kesehatan.

Kelas Muslimah dan Media Islam yang dipandu Kalis Mardi Asih

Bagaimana dengan literasi digital media Islam? Saya kira, kata kerja ini masih cukup asing dan tidak banyak dikerjakan, jika tidak menyebut tidak ada sama sekali lembaga Pemerintah, swasta atau komunitas yang melaksanakan pekerjaan edukasi seputar media Islam di internet.

Mengapa literasi digital media Islam secara khusus perlu dibicarakan? Apa hubungannya dengan perubahan perilaku keberagamaan masyarakat hari ini?

Pada suatu hari saya tersadar, seorang teman saya yang bekerja di sebuah lembaga Pemerintah mengambil pensiun dini alias memutuskan untuk berhenti bekerja. Dari unggahan di media sosial, ia nampak sangat nyaman menjalani hari-hari barunya sebagai ibu rumah tangga dengan bercerita aktivitas keseharian anak dan juga sesekali mengunggah foto masakan yang ia racik hari itu.

Saya tidak pernah bermasalah dengan apa pun pilihan perempuan, termasuk dengan keinginannya untuk lebih fokus mengurus keluarga dan anak. Yang menarik adalah, selain foto-foto anak dan aktivitas dapur tadi, teman saya juga rajin membagikan dalil soal keutamaan menjadi perempuan, tentu saja sesuai tafsir keagamaan yang ia percayai sekarang. Sebuah tafsir keagamaan yang kira-kira menempatkan kemuliaan pada sikap taatnya kepada suami dan penjagaannya kepada keluarga. 

Bagaimana dengan kiprah perempuan di luar rumah untuk ikut bertanggung jawab dalam soal ekonomi, politik, sosial dan budaya? Menurut ayat-ayat yang ia bagikan di linimasa yang bersumber dari semacam kanal tulisan maupun video, bisa jadi tak sekadar menjadi bukan prioritas, namun justru haram.

Media Islam dan Peluang Kerja Perempuan

Saya kemudian menyadari, tafsir ayat yang memvalidasi apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan tidak hanya sering dibagikan oleh satu orang teman perempuan muslim, melainkan banyak. Beberapa di antara mereka mengambil keputusan yang hampir sama, yaitu keluar dari pekerjaannya dan setelah itu melakukan semacam kampanye ayat-ayat Al Quran dan Hadist perihal kemuliaan perempuan di media sosial mereka. 

Persoalannya, kampanye ayat dengan tafsir “konservatif” itu sama sekali tidak nyambung dengan realitas keperempuanan yang saya pahami. 

Saya dibesarkan oleh seorang ibu pekerja keras. Ibu harus melakukan produktifitas dalam bentuk berdagang di sebuah ruko kecil di jantung kota untuk kelangsungan hidup keluarga kami. Saya sengaja tak menggunakan istilah “untuk membantu Bapak”, sebab dalam banyak waktu, penghasilan Ibu dari berdagang jauh mengungguli penghasilan Bapak yang seorang pekerja kasar serabutan. Produktifitas Ibu memiliki nilainya sendiri, sebuah nilai produktifitas yang utuh, bukan dalam nilai yang berbobot sebuah bantuan.

Dari sebuah channel YouTube, seorang Ustaz menceramahi jamaah laki-laki. Sang Ustaz mengingatkan agar para suami berhati-hati jika istrinya mulai terlalu banyak bekerja di luar rumah. Banyaknya penghasilan istri adalah sumber kekacauan rumah tangga, tidak berkah, katanya. I cannot relate.

Dunia yang sedang dalam kesadaran untuk semakin peduli pada nilai-nilai baik seperti keadilan, kesetaraan, anti diskriminasi, supremasi hukum, serta inklusifitas dalam keberagaman berhasil mempersembahkan para perempuan jagoan. Hari ini, perempuan yang memimpin sebuah lembaga atau sebuah proyek level nasional bahkan internasional adalah perempuan istri dari pasangan yang bangga padanya, perempuan ibu dari anak-anak yang mencintainya, sekaligus perempuan anak dari para orangtua yang mendukung penuh semua ambisinya. 

Praanggapan seperti “perempuan bekerja, pantas keluarga tak terurus” terdengar seperti seruan asing yang sudah salah zaman. Slogan hari ini adalah mengurus keluarga dengan kerjasama, baik perempuan maupun laki-laki. Mendidik anak adalah tugas bersama, baik perempuan maupun laki-laki. Bahkan, kebijakan publik adalah ruang tanggung jawab dan panggung tuntutan bersama, baik perempuan maupun laki-laki. Kembali lagi, jika ada keluarga yang tak terurus, maka laki-laki dan perempuan mesti sama-sama melakukan koreksi.

Tayangan dialog televisi Bicara Islam bersama tokoh-tokoh Islam

Kebutuhan lebih seseorang akan spiritualitas sering datang lewat alasan-alasan nyentrik. Seorang guru perempuan yang mulai rajin datang ke pengajian dari hotel ke hotel mengaku perlu jadi lebih religius sepulang berhaji. Kebanyakan teman sebaya perempuan yang baru saja menjadi Ibu mengaku perlu menambah bekal pengetahuan keagamaan agar dapat mendidik anak dengan benar.

Dalam perjalanan menjadi religius itu, teknologi yang harusnya searah dengan kemajuan justru membawa sebagian perempuan kepada media Islam yang hidup mundur berabad silam.

Bagaimana hukum perempuan yang keluar rumah tanpa mahram? Haram.

Bagaimana hukum perempuan yang memakai parfum? Haram.

Bagaimana hukum perempuan yang berpendapat di ruang publik? Haram.

Perempuan dibicarakan hanya dalam koridor hukum halal-haram yang tak pernah boleh dipertanyakan mengapa jawaban sebuah produk hukum adalah semacam itu. Perempuan tidak berhak bertanya kondisi sosial seperti apa yang pada masanya pernah membatasi banyak sekali hal kepada ekspresi kemanusiaan perempuan.

Setahun terakhir, saya mendedikasikan waktu untuk berkeliling dari komunitas ke komunitas, membuat pelatihan kecil-kecilan perihal literasi digital media Islam. Di Instragram, wacana menjadi perempuan Muslim yang memiliki kehendak berpikir dan mengekspresikan diri dengan merdeka telah dimulai oleh banyak komunitas, seperti akun Mubadalah, Muslimah Feminis, Perempuan Berkisah, Perempuan Peduli, dan lain-lain.

Seperti user internet yang kebingungan memilih media berita yang kredibel untuk jadi sumber rujukan, begitu juga pembaca media Islam yang tidak memahami bahwa setiap rujukan informasi di internet perihal pengetahuan keislaman juga punya warna pemikiran yang berbeda-beda.

Media-media Islam dengan akses tertinggi yang menyediakan informasi fikih (produk hukum Islam), sebagian besar disajikan oleh media Islam konservatif yang memandang tubuh dan suara perempuan sebagai fitnah dan aurat. Dari pemikiran itu, perempuan harus dijaga, perempuan tak boleh bersuara keras, baik secara volume maupun substansi, perempuan sebaiknya tak banyak beredar di ruang publik sebab kehadirannya akan menggoyahkan iman lalu memicu kejadian-kejadian yang tak diinginkan.

Bagaimana mungkin pada tahun 2019, perempuan yang keluar rumah tanpa mahram masih dihukumi haram sedangkan dalam realitas, perempuan di Indonesia boleh meninggalkan rumah untuk menjalani pendidikan asrama dan kuliah di luar kota, boleh bekerja lintas provinsi dan lintas pulau bahkan lintas negara. Situasi keamanan negara dan perlindungan hukum hari ini memungkinkan perempuan untuk beraktivitas dengan nyaman, sehingga produk hukum Islam yang lahir dalam situasi perang antar suku, tradisi nomaden, konstruksi sosial yang bersifat patriarkhis tentu saja tak cocok lagi untuk diterapkan. 

Banyak perempuan yang merasa tak nyaman dengan tafsir konservatif, akan tetapi, kuasa agama dalam bentuk pahala dan dosa seringkali menakuti perempuan. Apalagi, jika sebuah pengetahuan agama disampaikan oleh penceramah laki-laki dengan tampilan religius mendukung, seperti sorban dan jenggot. 

Para perempuan hanya perlu menemukan alternatif tafsir beragama yang lebih inklusif dan sesuai dengan realitas sehari-hari, sebab Islam adalah agama yang adil dan setara untuk semua manusia. Perlu lebih banyak lagi perempuan yang menceritakan pengalaman hidup sebagai perempuan beragama di Indonesia. Berbagi kisah beragama adalah metode penting untuk membicarakan agama melampaui pembicaraan soal hukum-hukum semata.

Saya mengajak para perempuan untuk berani bercerita, sebagai kawan dari perempuan lainnya, untuk menginformasikan kepada banyak perempuan yang sedang ketakutan di luar sana: kalian tidak sendiri.

Kalis Mardi Asih menjadi pemantik IDE untuk Sub-Tema 7 IDF 2019: Mengembangkan Talenta dan Pasar Lokal

 

Punya ide untuk mengembangkan talenta lokal di daerahmu? Silakan tuliskan tanggapan melalui kolom komentar. 

Komentar terpilih akan mendapatkan suvenir dari Du’anyam. Tuliskan Idemu segera!

 

Kalis Mardiasih adalah penulis kreatif dan kolumnis produktif di beberapa media digital seperti Detiknews dan DW Indonesia. Saat ini, ia telah menulis dua buku, berjudul Berislam Seperti Kanak-Kanak (Yayasan Islam Cinta, 2018) dan Muslimah Yang Diperdebatkan (Buku Mojok, 2019). Kalis banyak menulis fenomena keberagaman dan keberagamaan di masyarakat dan isu kesetaraan perempuan, khususnya perempuan Muslimah yang akhir-akhir ini tengah menghadapi tantangan konservatisme dan ekstremisme beragama. Bersama Jaringan Nasional Gusdurian, Kalis terlibat dalam memetakan kondisi, menganalisis tantangan, memfasilitasi pelatihan literasi dan memproduksi konten kampanye Indonesia Rumah Bersama dalam merespons eskalasi ujaran kebencian di media digital. Pada tahun 2018, Kalis mengikuti Islam and Gender Equality and Justice: South East Asia Regional Course yang diadakan oleh Sisters in Islam dan Musawah. Kini, Kalis menikmati misinya berkeliling secara mandiri dari kota ke kota untuk menyelenggarakan kelas Muslimah dan Media Islam untuk menginformasikan literasi media Islam di internet, apa dampaknya untuk sikap keberagamaan di masyarakat dan menguatkan muslimah perihal kesetaraan gender dalam Islam.


Komentar
--> -->