• Abdullah Faqih
    Abdullah Faqih
    Senang berbicara tentang indigenous people, gender, lingkungan, dan cultural studies.

Energy Democracy Agenda: Mengakhiri Kemiskinan Energi di Indonesia Timur

June 11, 2018
Energy Democracy Agenda: Mengakhiri Kemiskinan Energi di Indonesia Timur

Gambar ini milik Common Dreams

Kawasan Indonesia Timur terhitung sebagai wilayah yang paling banyak menyumbang angka kemiskinan di tingkat nasional. Wilayah Maluku dan Papua terutama, dicatat oleh BPS sepanjang tahun 2014-2017, sebagai daerah yang paling lamban dalam hal perbaikan kondisi kemiskinan. Di 2014, tingkat kemiskinan di keduanya mencapai 23,15 persen; tahun 2015 sebesar 22.04 persen; tahun 2016 sebesar 22,09 persen; dan tahun 2017 sebesar 21,23 persen (BPS, 2017). Apabila dibandingkan dengan kawasan lain seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, tingkat kemiskinan di Maluku, Papua, dan sebagian Nusa Tenggara tentu masih jauh tertinggal. Wilayah Indonesia bagian barat telah berhasil menekan prosentase penduduk miskin sebesar kurang dari satu digit (BPS, 2017).

Kemiskinan Multidimensi

Kita semua mahfum, dimensi kemiskinan bukan hanya menyoal besaran pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kemampuan penduduk untuk mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan juga patut dipertimbangkan. Untuk konteks kawasan Indonesia Timur, persoalan kemiskinan energi (energy poverty) menjadi salah satu faktor determinan penyebab kemiskinan tak berkesudahan yang dialami oleh mereka. Kemiskinan energi diartikan sebagai ketidaktersediaan akses terhadap sumber energi yang memadai untuk menopang kehidupan sehari-hari penduduk. Ada atau tidaknya  infrastruktur layanan energi yang memadai sangat memengaruhi kualitas kehidupan dasar masyarakat di tingkat rumah tangga, efektivitas mereka dalam mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, bahkan juga ikut menentukan penyelesaian kemiskinan pendapatan secara keseluruhan. 

Indikator yang paling umum digunakan untuk melihat kemiskinan energi di suatu wilayah adalah dengan melihat ketersediaan akses listrik dan penggunaan bahan bakar biomassa tradisional untuk memasak (UNDP, 2010). Kedua hal itu dipergunakan sebagai indikator untuk mengevaluasi capaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

Untuk konteks Indonesia, penggunaan sumber energi bukan listrik paling banyak dipergunakan oleh Provinsi Papua (49,10 persen), Nusa Tenggara Timur (27,86 persen), Papua Barat (13,61 persen), Maluku (11,86 persen), dan Maluku Utara (10,01 persen) (Susenas, 2016). Hampir seluruh penduduk di daerah tersebut tidak menggunakan listrik sebagai sumber penerangan utama. Mereka umumnya menggunakan sumber penerangan dari lampu minyak tanah atau lampu tempel. Daerah-daerah tersebut juga hanya menikmati listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar Papua (39,79 persen), Nusa Tenggara Timur (64,96 persen), Papua Barat (&4,87 persen), Maluku (83,58 persen), dan Maluku Utara (79,02 persen), sementara sisanya menikmati listrik dari non- PLN. 

Sementara itu, wilayah di bagian barat Indonesia sudah menggunakan energi bukan listrik dengan prosentase yang sangat kecil, yaitu DKI Jakarta sebesar 0,10 persen; Jawa Barat sebesar  0,15 persen; Jawa Tengah sebesar 0,12 persen; DI Yogyakarta sebesar 0,07 persen, dan lain-lain (Susenas, 2016). Rata-rata penggunaan energi listrik PLN yang memasok daerah-daerah tersebut sudah mencapai angka lebih dari 90 persen.

Selain timpangnya akses terhadap listrik antara Indonesia bagian Barat dan Timur, penggunaan biomassa tradisional untuk memasak juga perlu dijadikan indikator dalam melihat kemiskinan. Penggunaan kayu bakar dan arang masih menunjukkan prosentase yang tinggi di kawasan Indonesia Timur, yaitu Nusa Tenggara Timur sebesar 77,58 persen; Papua sebesar 67,04 persen; Papua Barat sebesar 39,01 persen; Maluku sebesar 43,58 persen; Maluku Utara sebesar 58,22 persen, dan seterusnya (Susenas, 2016).

Kemiskinan energi yang ditunjukan dengan keterbatasan akses terhadap listrik dan infrastruktur teknologi memasak yang tidak memadai benar-benar memengaruhi kehidupan dasar masyarakat di Indonesia Timur. Mereka menjadi sulit untuk mengembangkan potensi terbaik daerahnya akibat adanya lack of energy access. Lebih jauh lagi, kemiskinan energi tersebut juga memiliki dimensi gender. Meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama terkena dampak, perempuan terbilang menjadi pihak yang paling dirugikan. Ketiadaan sumber energi membuat mereka harus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dalam kondisi gelap. Mereka juga khawatir melakukan aktivitas di malam hari karena rawan mengalami pelecehan seksual. Terlebih lagi untuk penduduk yang mata bermatapencaharian sebagai nelayan, ketiadaan sumber penerangan membuat mereka kesulitan menangkap ikan pada saat petang.

Untuk memperoleh sumber penerangan, mengerjakan pekerjaan rumah tangga sekaligus untuk memastikan anak-anak mereka bisa belajar di malam hari, para penduduk lokal biasanya menggunakan lampu kerosene. Penggunaan lampu kerosene sangat berbahaya karena tergolong dirty energy yang menyebabkan polusi rumah tangga. Di samping itu, alat penerangan itu juga tidak baik bagi kesehatan mereka. Sebagaimana ungkapan WHO, diperkirakan ada 6.5 juta penduduk dunia meninggal akibat penggunaan sumber energi tersebut.

Salah Kelola EBT

Pemerintah sudah mahfum, kawasan Indonesia Timur relatif jauh dari keterjangkauan PLN yang sumber energinya berasal dari batubara. Biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit listrik yang akan ditanggung oleh kawasan Indonesia Timur seperti Papua, Maluku, dan NTT menjadi dua kali lipat dibandingkan rata-rata biaya pokok penyediaan listrik nasional.

Di sisi lain, kawasan Indonesia Timur memiliki potensi energi terbarukan berupa angin dan tenaga surya yang cukup besar. Jenis sumber energi itu sangat cocok untuk masyarakat di kawasan tersebut karena terdesentralisasi dan jauh dari sumber energi batu bara. Namun demikian, proyek pengembangan energi terbarukan di Indonesia Timur baru berusaha untuk menjawab pertanyaan menyoal science (berapa proporsi karbon di atmosfer yang harus dicapai?); teknologi (apa teknologi modern yang perlu dikembangkan?; ekonomi (kapan energi tenaga surya dan angina akan semurah batu bara?; dan pertanyaan tentang elite management (siapa “experts” yang harus berperan untuk mengembangkan sumber energi terbarukan?).

Pertanyaan-pertanyaan seputar siapa yang akan memperoleh keuntungan dan kerugian dari sumber energi tersebut, suara siapa yang harus didengarkan, dan jenis sumber energi apa yang diinginkan oleh sebagian dari masyarakat di Indonesia Timur seolah luput dari perhatian. Lebih jauh lagi, pengembangan energi terbarukan yang ada kurang mempertanyakan aspek-aspek politik, seperti konflik kepentingan, control and ownership, colonialism, kelas, gender, ras, dan kekuasaan. Hal itu terlihat dari orientasi kerja Kementerian ESDM yang lebih banyak berkutat pada investor, tender, profit, prosentase sumber energi yang akan dihasilkan, dan lain-lain.

Energy Democracy Agenda

Demokrasi energi atau energy democracy menawarkan ruang kolaborasi antara ecological movements dan social movement, economic, dan workplace justice. Konsep ini berusaha untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat, termasuk masyarakat lokal, untuk ikut ‘menguasai’ sumber energi yang ada. Demokrasi energi tidak hanya menekankan pentingnya beralih dari sumber energi fosil, melainkan juga pentingnya kepemilikan publik atas sumber energi tersebut. Sean Sweeny dalam penelitiannya menyebutkan bahwa “energy democracy is about workers’ and communities’ ability to decide who owns and operates our energy systems, how energy is produced and for what purpose”. Konsep ini juga menekankan pentingnya kepemilikan lokal (local ownership) dan memastikan pengembangan sumber energi yang ada merupakan hasil dari partisipasi aktif masyarakat, keterlibatan para ahli energi, dan aktor-aktor lokal seperti ketua adat, pemuka agama, kepala desa, pelajar, manula, dan lain-lain.

Setidaknya, ada empat nilai yang termuat dalam konsep demokrasi energi, yaitu menjamin semua orang untuk dapat mengakses EBT dan memprioritaskan kebutuhan komunitas, rumah tangga, dan masyarakat lokal: meninggalkan sumber energi fosil dan beralih sepenuhnya ke sumber energi terbarukan; sumber energi yang ada “dikuasai” oleh publik dan terdapat dimensi social ownership; transisi dari energi fosil ke EBT menjamin hak-hak tenaga kerja (Energy Democracy, 2012). Konsep ini sangat berpihak pada kepentingan masyarakat lokal dan menentang monopoli EBT oleh kelompok-kelompok tertentu. Keterlibatan masyarakat lokal menjadi sangat penting, mengingat mereka adalah pihak yang paling dirugikan ketika terjadi kemiskinan energi. Sementara itu, mereka tidak memiliki kekuatan politik dalam menentukan kebijakan pengembangan energi terbarukan, karena tempat tinggal mereka yang tak terjangkau.

Konsep demokrasi energi menawarkan klaim politik secara eksplisit untuk mengambil alih kekuasaan pengembangan energi terbarukan oleh masyarakat lokal, ketika negara dan korporasi terlalu eksploitatif mencari keuntungan ekonomi. Konsep tersebut berangkat dari keyakinan bahwa kebijakan yang dirumuskan oleh negara tidak selamanya bersifat nir-kepentingan, sehingga aspek-aspek politik dan kekuasaan juga perlu disertakan.

Dalam bahasa sederhana, memastikan kawasan Indonesia Timur beralih ke sumber energi terbarukan saja ternyata tidaklah cukup. Pemerintah semua juga perlu memastikan, sumber energi yang ada tidak boleh lagi dikuasai oleh stakeholder tertentu. Masyarakat umum, terutama masyarakat lokal, juga perlu diberikan ruang untuk ikut serta menentukan kebijakan EBT dan menikmati sumber EBT yang ada secara demokratis. Dalam hal ini, konsep energy democracy agenda di Indonesia perlu mulai didengungkan.


Comment
  • Generic placeholder image
    Faisal Habibi - 11 Jun 2018 23:32
    Konsep energi demokrasi hitungannya masih sangat baru di Indonesia. Apalagi konsep ini lahir di Eropa (kalau tidak salah di Jemran) yang pasti memiliki konteks sosial budaya yang berbeda dengan Indonesia. Meskipun penting dan menarik, bagaimana optimisme Anda untuk bisa membuat konsep ini applicable untuk konteks Indonesia?
  • Generic placeholder image
    Fidelia A - 11 Jun 2018 23:41
    Aku pernah baca di website http://climatetracker.org tentang konsep energi demokrasi. Di Indonesia memang masih jarang dan langka, tapi di beberapa negara maju udah mulai menggaungkan isu ini. Aku melihat, konsep ini sangat penting mengingat program pembangunan dan perumusan kebijakan di Indonesia sarat dengan kepentingan dan politis banget. Energy democracy ingin melihat isu ini secara lebih komprehensif. Jadi, good job untuk mas yang sudah mulai membuka diskusi tentang konsep ini di Indonesia. #AtasiKesenjangan
  • Generic placeholder image
    Sheyla Ken - 11 Jun 2018 23:53
    Aku sih mencoba meng-highlight argumen mas-nya ya. Jadi energi demokrasi itu maksudnya mengintegrasikan kekuatan masyarakat sipil seperti tokoh adat, pemuka agama, rakyat biasa dengan pemerintah? Kalau gitu mirip dengan kultur gotong royong (mutual cooperation) dong? Kalau iya, aku optimis konsep ini bisa diterapkan di Indonesia.
  • Generic placeholder image
    Suryo Ilham - 12 Jun 2018 8:02
    Waktu KKN di NTT, aku lihat emang penduduk lokal kebanyakan pake kayu bakar sih, bahkan meskipun dia terhitung orang kaya di daerahnya. Jadi, mungkin masalahnya bukan pada ketersediaan akses, tapi lebih ke mau atau tidaknya penduduk beralih dari sumber energi tradisional ke modern. Soalnya kalo bicara masalah akses, sebenarnya nggak buruk-buruk amat kok. Tapi overall, thanks udah mulai membuka diskusi tentang isu ini mas.
  • Generic placeholder image
    Tarmizi Abbas - 12 Jun 2018 10:13
    Ada niat baik yang diselip ditiap kata 'demokrasi'. Sebab, core dari demokrasi tadi adalah berbagi, sama rata dan sikap saling menumbuhkan. Termasuk dalam energi. Tetapi, dalam konteks keindonesiaan, demokrasi kadangkala juga jadi martil, menghantam masyarakat kelas bawah, akibat ketidaktahuan mereka terhadap penguasa, kebijakannya, berikut aturan-aturannya dan kerdilnya komunikasi diantara keduanya. Kiranya, jika optimisme tentang 'demokrasi energi' ada dalam paper ini, maka penulis harus benar-benar fokus mempererat temali antara pembuat kebijakan dan masyarakat. Satu lagi, siapkah penulis menerapkan konsep 'baik' ini di tempat yang justru sama sekali tidak pernah dikunjungi sebelumnya? I'll be waiting this concept runs in East of Indonesia!
  • Generic placeholder image
    Khafidh Tri Ramdhani - 12 Jun 2018 12:07
    Kajian yang bang Faqih angkat dalam artikel ini sangat menarik. Mengingat salah satu kewajiban negara adalah menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Yang menjadi pertanyaan adalah rakyat mana yang akan disejahterakan dan dimakmurkan oleh negara? Saat ini saya tengah menempuh studi S1 di NTT. Jika di Indonesia Barat, Jawa khususnya, sudah banyak berbicara dan mengimplementasikan revolusi industri 4.0. (yang berbasis sistem siber). Di NTT jangankan revolusi 4.0., revolusi industri 1.0. (teknologi mekanik uap) dan 2.0 (kelistrikan) saja sebagian daerah di NTT belum pernah merasakan. Maka tidaklah mengherankan jika daerah timur seperti NTT cukup tinggi tingkat kemiskinannya. Padahal jika dilihat dari kekayaan sumberdaya alamnya, berupa hasil bumi, daerah timur merupakan daerah produksi hasil bumi ekspor kelas atas, seperti pala, cengkeh, vanili, mete, dll. Namun karena minimnya akses energi yang berdampak secara domino pada minimnya akses informasi, akses ilmu pengetahuan, dan akses pasar membuat harga hasil bumi andalan tersebut rendah di tingkat produsen (petani di daerah yang kekurangan energi). Oleh karena itu, selain melakukan pemerataan jalan (untuk mengangkut hasil bumi), pemerataan energi (untuk mempercepat akses informasi, ilmu pengetahuan, dan pasar) harus jua dilakukan oleh negara yang diwakili oleh pemerintah. Namun, dalam melakukan pemerataan energi yang harus dilakukan negara. Pertanyaan "rakyat mana yang akan disejahterakan dan dimakmurkan oleh negara?" harus diperjelas. Jika rakyat secara keseluruhan yang ingin disejahterakan maka, apa yang disampaikan bang Faqih dalam artikel ini merupakan solusinya.
  • Generic placeholder image
    Hidayah yulia rahma - 13 Jun 2018 12:52
    Mungkin di bagian akhir mas Faqih bisa ngasih tau langkah konkret pemerintah kayak gimana untuk mengaplikasikan konsep demokrasi energi. Pembahasan keseluruhan masih sangat teoritis, belum implementatif. Tapi secara sekilas, menurutku konsep ini memang sangat penting karena perumusan kebijakan publik (termasuk kebijakan tentang energi) seolah nir-kepentingan. Padahal banyak kebijakan yang sarat dengan nilai politis.
  • Generic placeholder image
    Randi Syafutra - 13 Jun 2018 14:23
    Konsep demokrasi energi ini sangat bagus untuk direalisasikan segera, walaupun saya agak pesimistis bisa terealisasi di iklim politik Indonesia saat ini. Overall, good job Faqih !
  • Generic placeholder image
    Farah Nabila Luthfiyya - 13 Jun 2018 14:28
    Aku bersyukur KKN memfasilitasi kita untuk merasakan hidup di daerah 3T baik wilayah timur maupun barat. Hal yang diungkapkan faqih benar. Keterbatasan akses listrik, pendidikan, kesehatan, pangan, dan energi terbarukan memang kendala sekali bagi mereka. Sedih gitu lho, bahkan mereka dipaksa memahi text book SD dengan konsep jawa dimana ada pasar, pom bensin, kendaraan umum sementara di desa mereka ga ada apa apa. Tapi mungkin bisa lebih diperjelas lagi langkah apa yang mau ditawarkan dan lebih implementatif. Mereka nggak butuh kebijakan yag dikaji lama" sih. Asal wujudnya ada. Nah mengusahakan "wujud" bantuan itu mungkin bisa kerjasama dgn swasta atau yah mungkin fund raising campaign.
  • Generic placeholder image
    Rangga Akbar - 13 Jun 2018 15:14
    Tulisannya kurang panjang dan komprehensif sih, terutama di bagian analisis kelemahan implementasi EBT dan energy democracy agenda-nya. Kalau di bagian permasalahan menurutku udah oke, aku juga paham mengapa masalah itu urgent dan mendesak banget untuk diselesaikan. Tapi solusi yang ditawarkan baru sebatas teori aja, untuk kontekstualisasinya di Indonesia Timur aku belum dapat gambaran. Mungkin mas Faqih perlu berpikir lebih mendalam lagi untuk bagian itu ya. Good job Mas Faqih! #AtasiKesenjangan
  • Generic placeholder image
    Allesia Zepani - 13 Jun 2018 15:26
    Menarik, mas Faqih. Konsep demokrasi energi area yang mas Faqih angkat bila dikaitkan dengan kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat dalam pengadaan energi merupakan hal yang benar. Tapi, berdasarkan atas pengalaman saya (PKM saya mengangkat tentang pengadaan SDA di wilayah NTT) faktor utama yang menjadi penghambat adalah keadaan jalan, infrastuktur. Pada saat itu wilayah PKM kami adalah Eban, NTT. Dan memang daerah yang lumayan berkembang di NTT hanya 3 titik yaitu Kupang, Atambua, dan Labuan Bajo. Overall, tulisan mas Faqih ini mungkin dapat menjadi solusi bagi NTT terutama terkait energi. Sukses ya!
  • Generic placeholder image
    Ilham - 13 Jun 2018 16:43
    Saya suka sama yang berbau demokrasi kayak gini hehe . lanjutkan!
  • Generic placeholder image
    Nenli Zoe Setiawan - 13 Jun 2018 17:52
    Ide yang menarik! Demokarasi energi dapat menjadi tawaran solusi yg menarik bagi saudara kita di Indonesia timur. Cannot wait to see the action steps from this article. Hope to read another one with the latest update of your progress to see how applicable this solution is! Sukses terus! :)
  • Generic placeholder image
    Rakyan Rachim Bratasena - 13 Jun 2018 18:36
    Sepakat sama mas Faqih dan mbak Hidayah. Pengambil kebijakan publik kita kurang memoerhatikan unsur2 politis. Gampangannya, percuma aja para analyst bikin analisis dan ngasih rekomendasi yang bagus kalau si pengambil kebijakannya sering ada konflik kepentingan. Mungkin "energy democracy" itu yang jarang dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan energi, makanya kok program EBT kita gini gini aja. Meskipun perlu dipikirkan lebih jauh gimana implementasi dan konteksnya di Indonesia,ide ini menarik
  • Generic placeholder image
    Anisa Nurcahyani - 13 Jun 2018 19:37
    Aku juga pernah tau "energy democracy" waktu ikut lomba jurnalistik tentang lingkungan yang diadakan Climate Tracker. Pendapatku hampir sama dengan yang lain. Konsep "energy democracy" masih asing di Indonesia (coba googling, pasti sedikit banget referensinya). Padahal menurutku, konsep ini penting banget agar pengembangan proyek EBT tidak dimonopoli oleh stakeholder tertentu. We, as the local people, have to take back the power! Tapi ya itu, untuk konteks Indonesia agak susah sih implementasinya. Konteks sosial budaya kita beda sama Jerman dan Denmark (awal mula lahirnya konsep demokrasi energi). Bukan berarti tidak mungkin lho ya tapi, hanya butuh tenaga yang ekstra keras agar konsep ini benar benar bisa diimplementasikan. Misal, salah satu caranya dengan mengatasi "kesenjangan" lebih dulu.
  • Generic placeholder image
    NIKOLAUS ATMOJO - 13 Jun 2018 20:39
    Konsep Demokrasi Energi baru ini saya dengar, waktu browsing lebih lanjut, ternyata konsep ini sedikit sekali pembahasannya di Indonesia, begitu saya mencari rujukan dari negara negara lain, ternyata sudah cukup menjamur. Bagus sekali mas Faqih mengkaji konsep ini terutama untuk Indonesia bagian Timur. Saya rasa konsep seperti ini justru akan mendorong laju pertumbuhan dalam riset riset terhadap EBT, karena tidak hanya pihak pihak tertentu saja yg menguasainya dan tentu hal itu juga akan melahirkan inovasi yg dirasa bidang energi ini sangat minim perkembangannya di Indonesia. Sebuah konsep yang patut untuk dicoba menurut saya di Indonesia, terlepas tantangan seperti kondisi sosial, kultur, dll
  • Generic placeholder image
    Ikraman Wahyudi - 13 Jun 2018 21:06
    Membangun Indonesia bagian Timur memang tak semudah membangun Indonesia Barat pada umumnya. Kepadatan penduduk dan kondisi geografis sangat mempengaruhi percepatan pembangunan menurutku. Kalo di Indonesia Barat (terutama Jawa) selain penduduk yang sudah mulai padat, kondisi geografisnya sangat mendukung suatu kebijakan/infrastruktur bisa dinikmati merata oleh masyarakatnya. Ketika membangun proyek di lokasi A, maka masyarakat di lokasi B, C, dan D pun bisa merasakan dampaknya. Berbeda dengan mayoritas daerah di wilayah Indonesia Timur. Jumlah penduduk perdesa nya masih jarang, itupun jarak antar desa yang satu dengan yang lain cukup jauh, sulit, bahkan tak jarang harus melewati pegunungan dan hutan. Ini kondisi yang aku lihat selama ini, karena di tempatku (di Sumbawa) juga masih ada yang seperti itu. Nah hal-hal semacam ini yang masih menjadi dilema pemerintah. Di satu sisi harus membangun Indonesia secara merata (baik timur maupun barat), namun di sisi lain pembangunan di Indonesia Timur tentu akan memakan waktu dan biaya yang lebih banyak, karena faktor penduduk dan geografis tadi. Hal-hal itu menurutku harus diperhatikan lebih dalam jika berbicara pembangunan yang lamban di Indonesia Timur, termasuk masalah energi. Overall tulisan ini menurutku bisa menjadi langkah untuk mempercepat kemajuan wilayah Indonesia Timur di bidang energi. Sangat menarik. Semoga bisa terimplementasi
  • Generic placeholder image
    Nurhasanah - 13 Jun 2018 23:03
    "Aku dulu pernah ke Sumba ikut acara KFC berbagi inspirasi. Aku membenarkan kalau keadaan disana emang terbatas dalam hal akses sumber energi listrik dan memasak. Sepakat sama mas-nya sih, beralih ke sumber energi terbarukan aja tidak cukup, masyarakat harus dilibatkan secara demokratis. Good job mas!"
  • Generic placeholder image
    Sri Bintang pamungkas - 13 Jun 2018 23:16
    Pengelolaan energi berhubungan erat dengan pembangunan sebuah imperium. Mengafirmasi gagasan David Harvey, kemunduran imperium yg satu, lalu digantikan oleh imperium lain, sangat ditentukan oleh bagaimana negara menentukan agenda setting arah kebijakan demi terciptanya ketahanan atas energi Tulisan ini sangat menarik faqih, dan bukan tidak mungkin Indonesia menerapkan gagasan energy democracy. Bagiku dari segi ontologis tulisan ini cukup jelas menawarkan ruang kolaborasi antara ecological movements dan social movement, economic, dan workplace justice. Dan aksiologi dari gagaaan ini berusaha untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat, termasuk masyarakat lokal, untuk ikut ‘menguasai’ sumber energi yang ada, dimana biasanya sektor energi hanya dikuasai oleh pemilik rente saja. Namun, akan jauh lebih keren jika ditulisan ini, diperkuat dengan sisi epistimologi sbg entry point. Memetakan bagaimana langkah" mencapai "energy democracy". Langkah teknokratis seperti apa yg dapat digunakan pemerintah demi terciptanya gagasan tsb, mendedah serta menawarkan berbagai alternatif cara yg bisa feasible dilakukan, serta juga tak ada salahnya jika konsep ini dibandingkan dengan "negara yg pernah menggunakan sistem ini"
  • Generic placeholder image
    Nathan Dippos Fajar - 13 Jun 2018 23:29
    Saya agak psimis dengan implementasi konsep ini. Konteks sosial budaya dan historis Indonesia berbeda dengan Eropa. Di Jerman mungkin konsep ini bisa sukses, tapi di Indonesia saya tidak yakin. Jatuhnya malah memaksakan diri sih.
  • Generic placeholder image
    Putri Kinasih E A A - 14 Jun 2018 1:02
    Mas Faqih, jujur ya aku baru tau kalo ada konsep energi demokrasi. Menurutku penjelasan terkait pentingnya energi demokrasi ini sudah terjawab, tapi sebagai orang yang awam terkait konsep ini aku belum bisa dapet gambaran jelas terkait implementasi nyata dari energi demokrasi ini. Oiyaa sebelumnya, aku mau tanya nihh seberapa optimis Mas Faqih terkait energi demokrasi ini jika diterapkan di negara kita bisa mengatasi kemiskinan energi ? Seriously pembahasan ini menarik, jadi aku mohon penjelasan komprehensif terkait konsep ini yang lebih applicable gitu ya Mas, sebagai awam agar bisa menangkap dan memahami dengan jelas mekanisme diterapkannya konsep energi demokrasi ini, terutama terkait pemberian ruang bagi masyarakat untuk menentukan kebijakan EBT itu. Apa demokrasi energi ini juga rawan dipolitisasi, seperti dalam pemilihan umum suara rakyatpun bisa dibeli. Dalam bayanganku, bisa jadi setelah mereka diberikan ruang, justru ruangan itu malah jadi ladang rebutan bagi pihak2 yang bermaksud mencari keuntungan, sehingga yg awalnya konsep ini diusung untuk melibatkan masyarakat secara penuh malah membuat mereka semakin terpinggirkan. Apalagi energi kan juga salah satu ladang empuk buat dipolitisasi mengingat energi ini sangat dibutuhkan bagi kehidupan kita. Hahaa mungkin perbandinganku ttg demokrasi ini tidak apple to apple, yaa sudahlah.. kasih penjelasan lanjutan aja biar aku paham. Hihi Btw secara keseluruhan tulisannya udah oke kokk. Salut deh sama ide2 segarnya Mas Faqih yg terus ditelurkan dalam memberikan solusi bagi permasalahan yg sedang dihadapi negara ini :))
  • Generic placeholder image
    Amira Swastika Dianty - 14 Jun 2018 1:33
    Saya selalu tertarik dengan konsep energi. Terimakasih mas Faqih sudah membawa konsep ini dengan kemasan yang baru saya kenal yaitu 'energy democracy'. Tujuan transparansi akan privatisasi energi memang impian semua elemen masyarakat ya(except that stakeholder one!). Kalau memang tujuannya sudah sebaik ini, sebenarnya diaplikasikan di wilayah manapun juga bisa. Di luar kondisi infrastruktur dan geografis, persistence matter the most. Kalau semua elemen masyarakat lokal mau mendapatkan perannya utk persisten ambil bagian dalam me-mantain hal ini, ya akan sangat baik. Semoga saja konsep yang sudah sebaik ini, tidak disalah gunakan lagi ya berhubung masyarakat lokal pun punya hirarkinya sendiri.
  • Generic placeholder image
    Faishal Abdul Aziz - 14 Jun 2018 10:40
    Untuk implementasinya, mungkin mas Faqih bisa mengkontektualisasikan ke konstitusi kita. Masalah ini kan sangat bergantung pada pemangku kebijakan dan kalau aku nggak salah memang UU kita menyebutkan bahwa segala sumber daya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat (termasuk sumber daya energi). Jadi, gimana konsep energy democracy yang sangat pro pada masyarakat itu bisa kontekstual dengan UUD? #AtasiKesenjangan
  • Generic placeholder image
    Dita - 14 Jun 2018 11:34
    Wah, jadi pengen baca baca referensi tentang energy democracy nih. Ini asing banget soalnya buatku, tapi menarik dan penting kayaknya
  • Generic placeholder image
    Abdullah Faqih - 14 Jun 2018 12:01
    Halo teman-teman semua, Ini adalah tulisan Sairindri Gita, mahasiswa program master di Sciences Po Paris, di The Jakarta Post tentang "energy democracy": http://www.thejakartapost.com/academia/2018/02/01/energy-democracy-way-to-go-for-indonesia.html Sairindri memperkenalkan kita pada masyarakat lokal di Desa Kamanggih, Sumba Timur yang ternyata sudah lebih dulu menerapkan pengelolaan sumber energi berdasarkan konsep 'energy democracy'. Mereka tidak sendirian, ada peran penting berbagai stakeholders, seperti IBEKA dan pemerintah lokal, yang ikut mendukung gerakan ini. Menurut sang penulis, konsep ini sangat relevan dengan kultur masyarakat Indonesia yang gemar bergotong royong atau mutul cooperation. Kutipan paling menarik dari tulisan tersebut adalah "Imagine a country as a football match where the players are its citizens. If all players always wait for the ball rather than chasing it to pass to their team, the team will be left behind. Looking at the Kamanggih example, we could definitely say that their team has “democratically” and “renewably” won the scores of the game". Saya pribadi optimis dan yakin konsep ini penting untuk diterapkan di Indonesia. Meskipun, asih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terutama untuk mengkontekstualisasikannya dengan konteks Indonesia. #AtasiKesenjangan
  • Generic placeholder image
    Chris - 14 Jun 2018 23:14
    Pemikiran yang unik dari Mas Faqih. Namun, hingga saat ini yang saya lihat dari data pemerintah yang ada. Daerah Timur, utamanya Papua telah mengadopsi konsep serupa dimana hampir setiap rumah ataupun pedesaan mendapatkan listrik berdaya matahari yang mana dalam instalasi dan pengirimannya melibatkan masyarakat lokal dan stakeholder yang ada. Apakah dengan hal tersebut pemerintah Indonesia telah menginplentasikan konsep energy diplomacy yang diberikan oleh Mas Faqih? Terima kasih
  • Generic placeholder image
    Samira Ulfa - 15 Jun 2018 0:08
    Energy Demokrasi mesti terus didengungkan pada generasi muda kita yg akan menjadi estafet kepemimpinan bangsa ini kedepan. Saya pribadi baru pertama kali mendengar istilah ini, namun tulisan ini saya rasa akan bisa menjadi insight atau tambahan wawasan baru bg kami mengenai begitu kompleksnya Indonesia yg harus kita usahakan bersama, jika kita semua ingin bangsa ini maju di masa depan nanti.
  • Success!
    Failed!
--> -->