• Muhammad Ivan
    Muhammad Ivan
    Penulis lahir pada 5 September 1981. Kuliah S1 diselesaikan di prodi Pendidikan Luar Sekolah (sekarang Pendidikan Masyarakat) di Universitas Negeri Jakarta dan S2 pada prodi Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia. Pemikiran dan penalaran tumbuh berkembang melalui organisasi penalaran Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ. Saat ini bekerja sebagai PNS di Kemenko PMK.

Talent dalam Bingkai Budaya Lokal

June 11, 2018

Bakat bukan dicari, tapi sudah ada di dalam diri. Tiap diri adalah unik. Anak kembar memang serupa, namun tetap potensi berbeda. Keseragaman akan rigid, dan keberagaman menguatkan perspektif. Dengan gaya belajar siswa yang berbeda-beda, guru harus memiliki kemampuan mengakomodir kemampuan siswa dan mendorong siswa untuk lebih mendalami kemampuannya tersebut.

Mengarahkan seseorang untuk memaksimalkan bakatnya, lebih harus diperhatikan ketimbang memfokuskan pada yang kurang/minus. Ada yang lebih senang mendengar (auditori) daripada melihat (visual) atau sebaliknya, dan yang bergerak (kinestetik) daripada melihat (visual). Mengubah mindset menjadikan anak bukan lagi super-tahu dan memiliki nilai di atas rata-rata, tetapi seberapa fokus terhadap domain kompetensi yang dapat menjadi bekal bagi hidupnya kelak.

Baru-baru ini, INSEAD mengeluarkan publikasi peringkat negara-negara dalam Global Talent Competitiveness Index (GTCI) tahun 2018. Indonesia selama 2 tahun terakhir, berada pada posisi 90 (2016) dan 77 (2017). Meskipun mengalami peningkatan peringkat, perlu dipahami bahwa peringkat tersebut masih menempatkan Indonesia di bawah trenline negara-negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (2), Malaysia (27), Filipina (54), dan Thailand (70) berada di depan Indonesia. Untuk Filipina, dengan PDB per kapita (US$ 7358) di bawah Indonesia (US$ 11.035), namun memiliki skor talent competitiveness index yang lebih baik.

GTCI mempertimbangkan empat "pilar" yang disebut "enable" (mencerminkan peraturan dan pasar suatu negara), "attract" (mencerminkan kemampuan suatu negara untuk menarik sumber daya), "grow" (mencerminkan kemampuan untuk meningkatkan kompetensi diri melalui pendidikan dan pelatihan), dan "retain" (mencerminkan kemampuan untuk mempertahankan bakat domestik dan luar negeri) sebagai input. Berikutnya, Mid-Level Skills menggambarkan kemampuan dalam Keterampilan Kejuruan dan Teknikal yang menggambarkan keterampilan yang bersifat teknis atau profesional dasar yang diperoleh melalui pelatihan kejuruan atau profesional dan pengalaman.

Sementara output yang lain, dampak VT Skills diukur dengan derajat dari kemampuan kerja yang mereka pimpin. Employability diukur dengan indikator kesenjangan keterampilan dan ketidakcocokan pasar tenaga kerja dan dengan kecukupan sistem pendidikan. Keterampilan tingkat tinggi diukur dengan derajat Keterampilan Pengetahuan Global (GK Skills), sesuai dengan pengetahuan pekerja dalam peran profesional, manajerial, atau kepemimpinan yang membutuhkan kreativitas dan pemecahan masalah. Dampak ekonomi mereka dievaluasi oleh indikator inovasi, kewirausahaan, dan pengembangan industri bernilai tinggi. Bersama-sama, VT Skills dan GK Skills menjadi dua pilar Output model GTCI.

Kemenangan Bakat

Dalam kompleksitas bagaimana penilaian global terhadap keterampilan vokasional dan teknik di Indonesia menjadi tolak ukur. Bagaimana domain talent di pendidikan menengah sudah seharusnya lebih dikedepankan. Terlebih di SMK, domain kognitif tidak lebih diutamakan dibanding mutu kompetensinya.

Di luar sekolah, kita temukan bahwa ada pemuda lulusan SMK I Wayan Sumardana yang berhasil menciptakan tangan robotik dari barang-barang bekas dengan tujuan agar dirinya dapat menggerakkan kembali tangan kirinya yang lumpuh akibat stroke. Kemampuan Sumardana hanya lewat begitu saja, tidak satupun institusi yang mengakomodir bagaimana proses pembuatan robot tersebut diciptakan. Jika menilik SKKNI, setidaknya Sumardana berada di level 5, karena memiliki kemampuan mengoperasikan sistem robot.

Di masa lalu, kemampuan membuat Kapal Pinisi dapat terus dilakukan meskipun tidak didukung oleh literasi tinggi di Sulawesi Selatan beberapa abad lalu. Kultur lokal seharusnya memiliki standar internasional. Kompetensi lokal, apalagi digarap secara profesional maka akan menghadirkan alternatif kompetensi lokal yang tidak hanya mengekor pada negara-negara maju.

Talent tradisional ala internasional menjadi celah agar Indonesia tidak masuk dalam permainan global terlalu dalam, terlebih melupakan banyak peninggalan budaya yang dapat direvitalisasi atau diperbaharui dengan teknologi mutakhir. Kemampuan lokalitas dengan kultur budaya yang mumpuni, Indonesia dapat menawarkan sesuatu yang berbeda, yakni sebuah kepaduan ekosistem lokal-teknologi yang mampu menumbuhkan kekuatan ekonomi lokal, tanpa takut menghadapi tantangan global.

Sebagai contoh Ditjen Kebudayaan Kemdikbud dapat berafiliasi dengan  Ditjen Penguatan Inovasi Kemristek Dikti dalam pengembangan nilai-nilai budaya lokal dan kerangka kerja/kompetensi berbasis teknologi yang mengundang daya tarik global. Sebagai contoh, perusahaan manufaktur furnitur global IKEA dan yang terkenal di dunia sebagai lambang keselamatan mobil Volvo. Pada pergantian abad, ekonomi Swedia berkinerja buruk sampai ditemukan solusi dalam menciptakan budaya inovasi nasional. Perubahan kurikulum inti dilakukan untuk mendorong anak-anak mengeksplorasi ide dan menciptakan dari usia yang sangat muda. Dampaknya,  negara tersebut sekarang menjadi pemimpin global dalam jumlah paten yang terdaftar.

Dengan Implementasi Inpres No. 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, eksistensi pendidikan menengah semakin penting dalam menata struktur tenaga kerja di masa depan. Kewenangan provinsi yang semakin fokus menangani pendidikan menengah seperti SMK yang berada pada jenjang pendidikan formal memiliki tanggung jawab membangun kompetensi kolaboratif yang dibutuhkan untuk dunia yang lebih inklusif, karena potensi disruptif yang dianggap sebagai bentuk kenormalan baru (new normal).

Dalam laporan GTCI tahun 2017, Indonesia memiliki employibility (kebekerjaan) yang kuat, karena melalui pendidikan kejuruan dan pelatihan teknis dalam mempersiapkan kemahiran SDM dalam negeri yang selaras dengan kebutuhan ekonomi. Namun masih terdapat kesenjangan keterampilan yang cukup signifikan sebagai kendala utama belum meratanya pembangunan pendidikan terkhusus di daerah 3T. Ke depan, pemerintah harus memikirkan untuk menciptakan lulusan yang tidak hanya tahu apa yang telah dilakukan namun dapat memecahkan masalah dan menghasilkan gagasan baru yang dapat diterapkan secara lokal maupun bersaing dalam pasar global.


Comment
--> -->