• Alanda Kariza
    Alanda Kariza
    Alanda Kariza merupakan seorang penulis dan Manajer Komunitas untuk Quora dalam bahasa Indonesia. Ia mendirikan Sinergi Muda dan menggagas program Indonesian Youth Conference yang hingga saat ini telah memberi dampak kepada 500.000 anak muda di seluruh Indonesia. Ia juga telah menerbitkan 11 buku dan punya ketertarikan khusus dalam bidang ilmu ekonomi perilaku dan kewirausahaan sosial.
Ideas

Investasi Kewirausahaan Sosial: Dari Keuangan Fluktuatif Hingga Mengubah Gaya Hidup

2019
Investasi Kewirausahaan Sosial: Dari Keuangan Fluktuatif Hingga Mengubah Gaya Hidup

Alanda Kariza memantik IDE untuk Sub-Tema 6 IDF 2019: Membina Para Pelaku Usaha Sosial

oleh Alanda Kariza untuk Indonesia Development Forum 2019

Bagi sebagian orang, mungkin cerita ini terdengar menakjubkan. Ketertarikan saya pada bidang kewirausahaan sosial pertama kali muncul di tahun 2010 ketika saya menyelenggarakan Indonesian Youth Conference (IYC) bersama teman-teman di Sinergi Muda untuk pertama kalinya. Dua minggu sebelum konferensi tersebut digelar, kami — dengan 30 orang panitia di dalamnya — belum mendapatkan sepeserpun dana dari sponsor.

Kala itu, hanya bergantung pada penjualan tiket, yang tersedia sebanyak kira-kira 400 buah dan dibanderol dengan harga seratus ribu rupiah. Padahal, kami tidak hanya harus mendatangkan puluhan pembicara untuk menghadiri acara kami, tetapi juga puluhan delegasi anak muda dari seluruh provinsi di Indonesia.

Satu minggu setelah acara, kami menyadari bahwa pemasukan yang diterima oleh IYC mencapai surplus! Tidak hanya dari penjualan tiket, tetapi juga dari dana sponsor yang masuk di menit-menit terakhir. Bagi kami, ini adalah potret nyata dari kehidupan para pegiat aktivitas sosial: keuangan yang fluktuatif dan tidak bisa diprediksi, yang tidak jarang berpengaruh buruk terhadap keberlanjutan program dan dampak yang ingin diciptakan.

Tantangan ini tentu menjadi makanan sehari-hari bagi pegiat sosial. Mereka yang menyelenggarakan acara serupa atau mendirikan yayasan tentu sering melihat fenomena naik turunnya kas dan pemasukan. Mengingat hal ini adalah isu yang besar buat saya, saya pun memutuskan untuk mempelajari lebih jauh dan mendalami konsep kewirausahaan sosial.

Konsep ini saya percaya bisa menjadi kunci untuk pembangunan berkelanjutan. Tidak hanya pembangunan individu dan organisasi yang berkelanjutan, tetapi juga pembangunan negara yang berkelanjutan. Sebelum kita dalami lebih jauh, ada baiknya kita mengupas apa itu kewirausahaan sosial terlebih dahulu.

Delegasi Indonesia Youth Conference mengenakan pakaian tradisional di panggung,

Delegasi Indonesia Youth Conference mengenakan beragam pakaian tradisional daerah di panggung (DOK. IYC)

 

Selama ini, definisi kewirausahaan sosial masih sangat luas. GO-JEK, yang digadang-gadang akan menjai decacorn pertama di Indonesia, pernah mengklaim mereka adalah usaha sosial karena telah menciptakan lapangan pekerjaan dan memberdayakan para mitra, termasuk di antaranya yang difabel.

Ruma, yang saat ini sudah diakuisisi oleh GO-JEK menjadi bagian dari GO-PAY, juga pernah menyebut diri mereka sebagai usaha sosial, kendati lambat laun label itu perlahan-lahan dilepaskan. Mudahnya kesempatan untuk melabeli diri sebagai usaha sosial bukanlah hal yang mengejutkan, jika mempertimbangkan luasnya definisi usaha sosial.

Definisi paling sederhana soal kewirausahaan sosial datang dari Austin, Stevenson, & Wei-Skillern (2006) yang menampik bahwa kewirausahaan sosial pada dasarnya adalah aktivitas kewirausahaan dengan tujuan sosial. Banyak praktisi (Shaw, 2004; Dees, 1998; Plaskoff, 2012; Martin & Osberg, 2007) menilai bahwa yang membedakan usaha sosial dari usaha komersil adalah soal bagaimana usaha tersebut memfokuskan diri untuk mencapai tujuan sosial ketimbang mengumpulkan kekayaan pribadi.

Menurut Martin and Osberg (2007), kewirausahaan sosial sendiri harus mengandung 3 elemen:

  1. Mengidentifikasi ekuilibrium yang terus-menerus tidak adil, menyebabkan eksklusi, marjinalisasi, atau hilangnya kemampuan finansial maupun politis sebuah segmen kemanusiaan untuk mengubah hidupnya sendiri;
  2. Mengidentifikasi kesempatan di dalam ekuilibrium tersebut, mengembangkan proposisi nilai sosial, membawa inspirasi, kreativitias, aksi, keberanian, dan menantang hegemoni negara; dan
  3. Membangun ekuilibrium baru yang membebaskan potensi dan mengentaskan permasalahan grup yang dituju. Melalui pendirian ekosistem yang stabil di dalam ekuilibrium baru ini, memastikan masa depan yang lebih baik bagi kelompok sasaran penerima manfaat yang dituju maupun masyarakat secara keseluruhan.

Lebih lanjut, Defourny (2004) menilai bahwa usaha sosial biasanya memiliki sejumlah karakteristik khusus, seperti: memiliki otonomi yang luas, mengorganisasi aktivitas -- termasuk kerja yang dibayar, memiliki tujuan eksplisit untuk memberi dampak positif kepada masyarakat, pengambilan keputusan tidak bergantung pada pemegang saham, risiko ekonomi relatif tinggi karena pemasukan yang fluktuatif, dan pendiriannya diprakarsai oleh masyarakat. Jika mengikuti definisi ini, tentu organisasi yang bisa menyebut diri mereka usaha sosial pun menjadi lebih terbatas.

Di Indonesia, konsep kewirausahaan sosial diperkenalkan oleh Ashoka saat institusi tersebut pertama menginjakkan kaki di Indonesia pada 1983. Kendati demikian, di era Kebangkitan Nasional tahun 1899 - 1942, Indonesia telah memiliki sejumlah organisasi dan jejaring yang bisa disebut sebagai usaha sosial, seperti misalnya Sekolah Kartini, Sarekat Dagang Islam, Muhammadiyah, Nahdhatul Tujar, Himpunan Saudagar Indonesia, dan juga Taman Siswa (Hati & Idris, 2011). Meskipun organisasi-organisasi tersebut memiliki model bisnis yang berbeda satu sama lain, mereka memiliki karakteristik yang membuat mereka pantas untuk masuk kategori usaha sosial.

 

Membangun data, menguatkan ekosistem

Keterbatasan literatur dan penelitian di bidang kewirausahaan sosial di Indonesia membuat informasi mengenai sektor ini sangat terbatas. Ada beberapa organisasi dari dalam dan luar negeri yang secara aktif bergerak untuk mengembangkan sektor kewirausahaan sosial, antara lain Platform Usaha Sosial (PLUS), Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI), British Council Indonesia, dan Bina Swadaya.

Ketika saya melakukan penelitian terkait kewirausahaan sosial di Indonesia pada 2009, jumlah statistik dan data mengenai kewirausahaan sosial di Indonesia masih belum mumpuni. Sebagai konsekuensi, kewirausahaan sosial belum jadi sektor yang dipertimbangkan oleh pemerintah dalam mengembangkan kebijakan.

Model bisnis koperasi yang bisa dikategorikan sebagai model usaha sosial bisa dikecualikan, karena Republik Indonesia telah lama memiliki undang-undang yang mengatur soal koperasi. Meskipun demikian, banyaknya pihak yang bekerja untuk memupuk pertumbuhan sektor kewirausahaan sosial selama sepuluh tahun berhasil melahirkan banyak kemajuan dalam sektor kewirausahaan sosial. PLUS, misalnya, telah membangun basis data usaha sosial di seluruh Indonesia dalam bentuk daring.

Di awal 2019, PLUS berhasil mengumpulkan informasi mengenai 832 usaha sosial di seluruh Indonesia. Konsentrasi terbanyak tentunya masih berada di Jawa, dengan sekitar 735 usaha sosial berada di Pulau Jawa. 97 lainnya tersebar di Indonesia Barat, Tengah, dan juga Timur. British Council melaporkan bahwa ada sekitar 342.025 usaha sosial di Indonesia. Jumlah ini masih di bawah 2% dari total jumlah UMKM di Indonesia. Selain itu, PLUS juga memperkenalkan kurikulum mengenai kewirausahaan sosial yang bisa diakses oleh siapa saja yang hendak mempelajari soal sektor ini maupun membangun usaha sosial sendiri.

Pada 2016, DPR mulai mencanangkan RUU Kewirausahaan Nasional. Kewirausahaan sosial mendapatkan sorotan khusus dalam pembahasan ini, meskipun pengaturan yang lebih terperinci akan diatur melalui Peraturan Pemerintah. Singkat kata, sebagai negara yang menganut paham ekonomi kerakyatan, masih ada potensi dan ruang yang sangat luas bagi sektor kewirausahaan sosial dan para pelaku di dalamnya untuk berkembang.

Pemerintah pun perlahan-lahan mulai menaruh perhatian pada sektor yang nantinya bisa menjadi tulang punggung ekonomi negara ini. Namun, pekerjaan kita masih sangat banyak untuk bisa membuat sektor ini lebih layak untuk diperhitungkan dan bisa berkembang dengan pesat sesuai dengan potensinya.

 

Alanda Kariza sebagai panelis World Economic Forum 2016

Alanda Kariza sebagai panelis World Economic Forum 2016 (DOK. BINUS)

 

Untuk dapat berkembang, selain melalui inovasi dan kreativitas para pelaku dari dalam, usaha-usaha sosial juga membutuhkan ekosistem pendukung yang mumpuni. Ekosistem pendukung yang mumpuni ini bisa dibangun dengan kebijakan dan regulasi yang baik sebagai fondasi, demi terciptanya kemajuan usaha sosial.

Jika selama ini pemerintah telah memfokuskan aktivitas-aktivitasnya terhadap UMKM melalui berbagai lini, pemerintah bisa menambahkan elemen-elemen khusus yang secara spesifik bisa membantu usaha-usaha sosial. Misalnya, memberi potongan pajak yang regresif dengan dampak sosial yang diciptakan usaha-usaha tersebut atau mengakomodir dan memfasilitasi usaha-usaha sosial untuk mengekspor produk-produknya ke berbagai kota di mancanegara, paling tidak di kota-kota yang memiliki kantor promosi Indonesia yang diatur oleh BKPM.

Selain itu, pemerintah juga bisa memfasilitasi dibuatnya jenis badan usaha khusus yang mengakomodir kebutuhan usaha sosial, mengingat pada saat ini sejumlah usaha sosial masih harus membuat dua badan hukum untuk mencapai model bisnis yang diharapkan. Sinergi Muda misalnya, harus memiliki dua entitas — yayasan untuk menyelenggarakan semua aktivitas sosial dan perseroan terbatas untuk melakukan aktivitas komersil yang akhirnya mendanai kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh yayasan seperti IYC.

Selain pemerintah, dukungan terhadap sektor ini tentu bisa datang dari berbagai pihak lain karena usaha sosial tidak hanya memperbaiki taraf hidup orang-orang yang terlibat di dalamnya tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Pada saat ini, banyak organisasi dari luar negeri yang telah menyuntikkan dana dan sumber daya lainnya melalui berbagia lokakarya dan program untuk mengembangkan usaha sosial di Indonesia.

Sudah saatnya bagi para pelaku industri lainnya, termasuk usaha-usaha komersial, untuk turut turut serta dalam perkembangan ekosistem usaha sosial. Misalnya, jika selama ini platform-platform e-commerce telah berlomba-lomba untuk memberikan lokakarya bagi para pelaku industri UMKM secara umum, mungkin lokakarya serupa juga bisa diberikan kepada usaha-usaha sosial secara spesifik.

Sebagai contoh, platform e-commerce dan para mitranya bisa menawarkan insentif “gratis atau diskon ongkos kirim” apabila pengguna memesan produk-produk hasil karya usaha sosial yang terletak di Indonesia Timur — yang mungkin belum memiliki banyak pembeli secara daring karena faktor lokasi dan biaya kirim yang mahal. Selain itu, selain melakukan kegiatan CSR, korporasi-korporasi besar juga bisa mulai melakukan pembelian dari berbagai usaha sosial untuk merchandise kantor mereka maupun kebutuhan procurement lainnya.

Lebih lanjut, kita juga perlu untuk mengeksplor cara-cara mengembangkan sektor impact investing di Indonesia sebagai opsi pendanaan inovatif untuk mendorong perkembangan kewirausahaan sosial. Dengan kelahiran berbagai startup di Indonesia, semakin ke sini semakin banyak orang yang terjun ke dunia investasi dengan membuka firma venture capital, private equity, maupun menjadi angel investor.

Alangkah baiknya, apabila kita bisa menggalakkan semangat impact investing di mana sang investor maupun pihak-pihak yang memfasilitasi terjadi investasi itu turut mengukur, tidak hanya financial return on investment, tetapi juga social return of investment. Selain itu, startup-startup yang berada di Indonesia pun bisa dituntut untuk mendesain moda teori perubahan (theory of change) yang mereka anggap bisa dihasilkan dari bisnis mereka.

Setiap harinya, saya terpapar dengan berbagai usaha sosial yang sudah semakin maju. Setiap bulannya, saya melakukan investasi dalam skala mikro melalui Amartha, sebuah platform peer-to-peer lending yang membuat saya bisa berinvestasi dan menerima bagi hasil dari pengusaha-pengusaha mikro dari berbagai daerah di Indonesia. Saya menulis catatan-catatan melalui buku dari Tenoon, sebuah usaha sosial yang memproduksi barang-barang dari kain tenun, memberdayakan komunitas difabel di Indonesia Timur.

Saya juga secara rutin melakukan donasi dan membayar zakat melalui Dompet Dhuafa, yang sejak lama telah mengadopsi model bisnis usaha sosial untuk memastikan program dan aktivitasnya berkelanjutan. Tanpa kita sadari, kewirausahaan sosial sudah berada di sekitar kita dan menciptakan dampak positif.

Kita harus lanjutkan bersama untuk memastikan sektor ini bisa memenuhi potensinya yang optimal agar bisa menciptakan dampak positif yang lebih besar lagi dan berkontribusi terhadap pembangunan Indonesia.

 

Alanda Kariza menjadi pemantik IDE untuk Sub-Tema 6 IDF 2019: Membina Para Pelaku Usaha Sosial.

Punya ide untuk usaha sosial di Indonesia? Silakan tuliskan tanggapan melalui kolom komentar atau kirimkan IDE Anda dengan format blog/ artikel, vlog, atau infografik melalui Pengajuan Proposal IDF 2019. Ide akan dipublikasi pada situs web IDF dan sebagian akan dipilih untuk dipaparkan pada Pasar Ide dan Inovasi.

Komentar terpilih dan Ide terpopuler akan mendapatkan suvenir dari Du’anyam. Kirimkan Idemu segera!

 

Alanda Kariza merupakan seorang penulis dan Manajer Komunitas untuk Quora dalam bahasa Indonesia. Ia mendirikan Sinergi Muda dan menggagas program Indonesian Youth Conference yang hingga saat ini telah memberi dampak kepada 500.000 anak muda di seluruh Indonesia. Ia juga telah menerbitkan 11 buku dan punya ketertarikan khusus dalam bidang ilmu ekonomi perilaku dan kewirausahaan sosial.


Komentar
--> -->