• Ayu Kartika Dewi
    Ayu Kartika Dewi
    Ayu Kartika Dewi is currently the Managing Director of Indika Foundation. She’s had various roles and experiences in the professional world; starting at P&G in Jakarta and Singapore, teaching for Indonesia Mengajar, co-founded SabangMerauke (a non-profit organization that promotes cultural diversity experience for young Indonesians), and a couple strategic positions for the Indonesian government. In pursuing her education, she obtained an MBA degree from the Fuqua School of Business at Duke University in 2015, sponsored by the Fulbright program and Keller Scholarship. Ayu was asked to give speech about her work in peace and tolerance in front of Kofi Annan…
Ideas

Berjumpalah, Agar Nggak Diskriminatif!

2019
Berjumpalah, Agar Nggak Diskriminatif!

Mengapa Toleransi, Empati, dan Ruang Perjumpaan Mutlak Diperlukan untuk Mewujudkan Peluang Kerja Inklusif

Toleransi tidak bisa hanya diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan. Kalimat itu telah menjadi kredo saya selama bertahun-tahun ini.

Tujuh tahun lalu saya dan beberapa teman mendirikan SabangMerauke, sebuah program live-in yang mengajak anak-anak SMP dari berbagai daerah di Indonesia untuk tinggal bersama keluarga yang berbeda agama dan/atau suku. Tujuannya? Untuk memberikan interaksi positif yang bisa meruntuhkan dinding stereotip. Dampak program ini sangat menggembirakan! Karena komentar-komentar yang kami kumpulkan pascaprogram menunjukkan perubahan mindset (pola pikir): “Oh, ternyata orang agama X tidak sejahat yang aku kira”, “Oh, ternyata tidak semua orang agama Y itu teroris”, dan “Oh, ternyata orang yang dari luar pulau Z banyak yang baik”.

Ketika saya dan teman-teman memulai program Milenial Islami tahun lalu, kami juga kembali membuktikan betapa besar peran sebuah ruang perjumpaan. Pada salah satu acara pesantren kilat yang kami kelola, kami mengumpulkan informasi tentang prasangka apa saja yang dimiliki oleh adik-adik peserta. Hasilnya lebih menyeramkan daripada yang kami antisipasi. Adik-adik ini dengan jujur menuliskan prasangka-prasangka mereka, di antaranya “Orang agama A akan merusak agama saya lewat lagu-lagu mereka”, “Umat agama B aneh karena menyembah patung”, “tempat ibadah agama C seram dan orangnya kejam”, serta “umat agama D anti-sosial”.

Keesokan harinya, kami mengajak adik-adik berkunjung ke berbagai rumah ibadah. Di sana, mereka kami persilakan bertanya apa saja pada para pemuka agama yang mereka temui. Setelah itu kami mengajak teman-teman yang seumuran dengan mereka yang bukan Muslim untuk ikut berbuka puasa bersama. Di sinilah hal menarik mulai terjadi.

Anak-anak ini sehari sebelumnya begitu penuh prasangka dan ketakutan dalam berinteraksi dengan teman-teman yang bukan Muslim. Tapi setelah interaksi nyata yang sebenarnya tidak terlalu lama –hanya beberapa jam- mereka bisa jadi akrab dengan teman-teman barunya yang bukan Muslim. Mereka mengajukan berbagai pertanyaan khas anak-anak, seperti “Kalau sedang hari raya, kamu paling suka makanan apa?”, atau “Kalau sedang ibadah, kamu sering ngantuk nggak?”. 

Pengalaman berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda ini akan membekas, dan akan melindungi mereka dari siraman hoaks. Jika kelak suatu saat mereka mendengar informasi yang tidak baik tentang orang dengan agama atau suku yang berbeda, mereka akan bisa dengan lantang berkata, “Aku tidak akan percaya begitu saja berita ini, karena aku pernah berinteraksi dengan mereka, dan mereka sangat baik kepadaku.”

Interaksi membuka peluang inklusif

Inklusivitas dan toleransi tidak hanya soal agama dan suku. Saya akan bercerita pula tentang gender, rokok, dan disabilitas.

Saya akan menceritakan betapa pentingnya interaksi untuk membantu empati pada disabilitas. Salah satu interaksi pertama saya dengan kursi roda adalah ketika Suharno, teman kuliah saya, mengalami kecelakaan sepeda motor dan tulang belakangnya cedera. Setelah kecelakaan, ia lumpuh dari pinggang ke bawah sehingga harus duduk di kursi roda. Saya jadi belajar banyak karena saya cukup sering mengikuti proses mengantar Suharno ke kampus.

Proses memindahkan Suharno dari kursi roda ke mobil, dan sebaliknya, tidak pernah mudah. Dan kampus juga awalnya tidak ramah pada kursi roda, padahal Suharno bukan mahasiswa berkursi roda pertama di kampus ini. Ternyata, dulu mahasiswi yang pakai kursi roda ini, harus digendong (beserta kursi rodanya) naik-turun tangga ke lantai 2. Maka, untuk menyiasati bangunan yang tidak ramah kursi roda ini, dibangunlah ram-ram darurat. Meskipun membantu mobilitas, tetapi rutenya tetap terlalu sulit untuk dilewati sendirian oleh Suharno.

Interaksi kedua saya dengan dunia disabilitas terjadi ketika saya sudah memasuki dunia kerja. Ketika itu saya bekerja sebagai salah satu staf Gubernur Basuki Tjahaja Purnama di Balaikota DKI Jakarta. Salah satu staf magang di Balaikota adalah seorang tuli, Surya Sahetapy. Mulanya kami tidak tahu fasilitas apa yang harus diberikan agar Surya bisa beraktivitas dengan baik. Untungnya setelah berdiskusi, akhirnya di Balaikota disediakan satu orang penerjemah Bahasa Isyarat yang mendampingi Surya sehari-hari.

Interaksi-interaksi nyata ini membuka mata saya, dan membekas di hati saya. Maka, meskipun kini saya tidak bekerja full-time dalam bidang advokasi disabilitas, tapi saya selalu berusaha memperjuangkan akses bagi teman-teman disabilitas dalam berbagai aktivitas saya. Sederhananya, interaksi dengan teman-teman disabilitas telah menjadikan saya duta disabilitas.

Contohnya, seluruh kartu nama saya dan tim saya dilengkapi dengan huruf braillenya; seluruh video saya dilengkapi subtitle untuk memudahkan teman-teman tuli; saya memberikan sesi khusus untuk perempuan dengan disabilitas di sela-sela Workshop Improv Comedy bulanan; saya mengenalkan tim konstruksi MRT Jakarta dengan komunitas disabilitas sehingga MRT bisa dibangun ramah disabilitas; tahun ini SabangMerauke akan menerima 2-3 peserta program yang tuna daksa; dan tahun ini Indika Foundation berencana merekrut satu orang dengan disabilitas, serta membuka booth di job fair khusus disabilitas.

Melahirkan duta-duta disabilitas di dunia profesional, menurut saya, adalah salah satu cara untuk mewujudkan lebih banyak peluang kerja yang inklusif. Para profesional ini adalah mereka yang akan merekrut orang untuk bekerja di organisasi mereka. Jika di setiap kantor ada satu saja orang yang peduli disabilitas, dan mereka bisa mendorong perubahan menuju peluang kerja yang inklusif, ini akan mempercepat perubahan.
Tiga hal yang bisa saya sarankan untuk mewujudkan peluang kerja yang inklusif:

  1. Beri pengalaman. Cari cara untuk memberikan interaksi inklusif secara nyata di organisasi kita.
    • Rekrut orang dengan disabilitas. Bisa jadi intern (pekerja magang), atau full-time sekalian. Khawatir organisasi kita tidak siap? You know what, kita tidak akan pernah siap. Kita harus mencoba dulu, sembari melakukan perbaikan-perbaikan.
    • Ajak rekan setim untuk volunteering di organisasi disabilitas.
  2. Beri afirmasi. Cari cara untuk memberikan ‘pijakan’ bagi kelompok-kelompok yang membutuhkan.
    • Bantu mereka mendapatkan pekerjaan. Ketika saya di Australia, saya berkunjung ke sebuah organisasi yang bernama Fitted For Work (FFW). FFW bertujuan untuk membantu perempuan mendapatkan pekerjaan. Dengan cara apa? Macam-macam. Mulai dari mencarikan mentor yang bisa membantu merevisi CV dan berlatih interview, sampai meminjamkan baju dan tas yang pantas dipakai datang ke interview.
  3. Beri dukungan dalam keseharian.
    • Salah satu hal yang saya syukuri di tempat kerja saya yang sekarang, Indika Foundation, adalah memiliki bos yang mau melindungi hak saya untuk tidak terkena asap rokok. Sejak awal saya sudah menyampaikan bahwa saya alergi sehingga saya tidak ingin terpapar asap rokok. Padahal, bos saya selalu merokok di ruangannya. Maka, timbullah kesepakatan yang hingga kini ditaati oleh bos saya yaitu setiap kali saya perlu ngobrol dengan Beliau, kami akan mencari ruangan lain yang tidak pernah dipakai merokok. Ketika saya mendengarkan cerita teman-teman yang harus bekerja di lingkungan perokok, saya selalu diingatkan tentang betapa beruntungnya saya yang bisa bekerja di tempat yang melindungi kebutuhan saya.
    • Di Indika juga ada nursery room (ruang menyusui) yang dilengkapi dengan sofa yang nyaman dan kulkas untuk menyimpan ASI.

Kredo saya, sekali lagi, adalah toleransi tidak bisa hanya diajarkan, tapi harus dialami dan dirasakan. Untuk bisa mewujudkan peluang kerja yang lebih inklusif, para pengambil keputusan harus pernah mengalami dan merasakan berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang rentan. Karena sering kali, kealpaan untuk membantu hanya disebabkan karena ketidaktahuan, bukan karena ketidakmauan.

Ayu Kartika Dewi menjadi pemantik ide untuk sub-tema 3 IDF 2019: Menciptakan Peluang Kerja Inklusif 

Punya ide untuk  menciptakan peluang kerja inklusif? Silakan tuliskan tanggapan melalui kolom komentar atau kirimkan IDE Anda dengan format blog/ artikel, vlog, atau infografik melalui Pengajuan Proposal IDF 2019. Ide akan dipublikasi pada situs web IDF dan sebagian akan dipilih untuk dipaparkan pada Pasar Ide dan Inovasi.


Komentar
--> -->