Hidup Bashir (petani bawang merah) tidak pernah tenang. Terutama akhir-akhir ini. Impor bawang merah besar-besaran membuat dirinya khawatir harga bawang merah turun drastis. Kalau sampai turun drastis, jelas ia akan mengalami kerugian. Apalagi yang dapat dilakukan oleh Bashir? Ia tak bisa apa-apa. Harga naik dan turun, semua sudah tak tentu. Seperti main remi. Seperti mengocok togel. Kalau keluar bagus yang bisa makan, kalau tidak, berarti harus makan batu – untuk mengganjal perutnya.
Keadaan kepepet seperti itu, akhirnya mendorong nafsu sanubari untuk melakukan tindakan kurang baik. “Biasa petani menyemprot pakai Round Up biar lebih cepat kering, kelihatan matang. Padahal belum waktunya panen. Bawang merah sekarang komoditas yang ngeri untuk dikonsumsi.” Ujar Pak Agus Kurniawan (Koordinator Lapang Bina Kerabat Tani Jatayu).
“Kita banyak mengonsumsi racun yang nempel di bawang merah hasil semprotan petani.” Imbuhnya. Fakta-fakta mengerikan ini yang seharusnya segera disikapi oleh kita sebagai warga negara yang cinta tanah air.
Indonesia yang kaya akan potensi masih belum teroptimalkan. Indonesia yang katanya negara agraris, lupa dengan potensinya sendiri. Lahan-lahan direklamasi untuk didirikan apartemen mewah. Padahal kita masih banyak impor bahan pokok. Sampai pada akhirnya muncul sebuah ide cemerlang yang saya dapatkan dari Guru saya, Bapak Kiai Tanjung.
Memanfaatkan Lahan Sela
Sudah menjadi bagian dari menjalankan perintah Allah, memakmurkan bumi Allah adalah mutlak. “Allah telah memberi kita potensi berupa organ, indera, dan akal. Kalau tidak digunakan, Allah murka sekali!” Pesan Bapak Kiai Tanjung.
“Sama halnya negeri ini, idealisme kita Pancasila, Allah memberi matahari, tanah yang subur, lautan yang luas, musim kemarau dan musim hijan, tapi malah disia-siakan. Allah pasti murka.” Sejenak beliau minum kopi, lalu melanjutkan lagi.
“Lihat rumah tetanggamu, Mas Arif, kamu perhatikan, ada lahan-lahan sela yang tidak termanfaatkan tidak?” Tanya beliau.
“Banyak sekali!” Jawab saya.
“Nah, bayangkan kalau itu semua dimanfaatkan, ditanami, bisa pakai polybag, atau ember, apa pun lah! Biar tidak menganggur. Sekali lagi, Mas Arif, Allah akan murka kepada umatnya yang tidak memanfaatkan potensi yang dimiliki.”
Semula dari situ, akhirnya ide itu berkembang menjadi sebuah bangunan program yang solutif dan inovatif. Bahkan tidak muluk-muluk. Ini bisa diduplikasi di mana pun.
Model Ide
#1 Budidaya
Setiap rumah yang memiliki lahan kosong, bisa melakukan budidaya bawang merah. Tidak harus memiliki sawah atau lahan yang luas. Sesempit apa pun, asal ada tempat kosong, tetap bisa ditempati untuk menanam.
Taruhlah di RT 02 dusun Tanjunganom, ada 30 rumah. Masing-masing rumah menanam sekitar 60 polybag. Setiap polybag akan menghasilkan 2 ons. Setelah diakumulasi berdasarkan data faktual di lapang, 1m persegi (10 polybag) menghasilkan 2 Kg bawang merah. Berarti kalau setiap rumah 60 polybag hasilnya adalah 12 Kg dalam 80 hari. Total hasil panen seluruh rumah 12 Kg per polybag x 30 rumah adalah 360 Kg.
Beban budidaya bawang merah sangatlah murah. Apalagi dengan kapasitas per rumah. Instrumen tambahan yang dibutuhkan adalah pupuk organik cair, Manutta saja. Selain itu bawang merah yang dihasilkan berkualitas sehat dan organik.
60 polybag itu dibagi menjadi 3 blok (A, B, C). Masing-masing blok ada 20 polybag. Sehingga bawang merah dari petani rumah bisa panen setiap bulan. Bulan ini yang dipanen blok A, bulan depan B, sampai C. Sehingga petani rumah setiap bulan tetap mendapat pemasukan dari hasil panen di belakang rumah atau lahan sempitnya yang selama ini tidak dimanfaatkan sama sekali.
#2 Harga
Setelah panen, kita beli hasil panennya – sudah pasti dibeli – dengan harga yang stabil. Taruhlah kita ambil bawang merah kualitas sehat dari petani rumahan dengan harga 14 ribu per kilo. Pendapatan per rumah dari budidaya bawang merah adalah 14 ribu x 12 Kg = 168 ribu.
Setiap 80 hari, per rumah mendapatkan uang 168 ribu rupiah. Angka itu sudah banyak bagi masyarakat desa. Uang segitu sudah bisa buat beli sepatu anak-anak, bayar sekolah, bayar listrik, dan membayar kewajiban-kewajiban yang lainnya. Toh hanya pendapatan sampingan yang potensial dan hanya memanfaatkan waktu-waktu kosong.
Harga beli dari petani rumahan adalah stabil, saat harga pasar naik atau turun tidak akan berubah. Hanya berubah dalam periode waktu tertentu, disesuaikan dengan inflasi ekonomi makro.
Perhitungan ini baru satu dusun, bagaimana jika satu kabupaten? Perhitungan ini baru 60 polybag, bagaimana jika ada yang tanam 200 polybag di belakang rumahnya? Berapa penghasilan petani rumahan tersebut? Perhitungan ini barus satu komoditas, bagaimana kalau diduplikasi ke komoditas yang lain? Ini jelas-jelas solutif sekali.
#3 Digital Marketing Kemandirian Pangan Nusantara Bangkit
Setelah terkumpul hasil panennya di gudang, kita simpan dengan standar yang bagus. Hasil panen bawang merah bisa diakses dalam sebuah aplikasi, seperti lokapasar sayur sehat segar.
Tinggal klik, diantar, bayar di tempat, atau e-cash juga bisa. Customer bisa menuliskan daftar masakan dalam seminggu, sehingga stake holder bisa memetakan kebutuhan bahan pokok si customer. Semua dipadukan dengan teknologi. Informasi ketersediaan pangan update secara real time.
#4 Memberdayakan dan Mengedukasi Masyarakat
Kenapa ide ini menurut saya cemerlang, karena ada banyak pihak yang diuntungkan dan terberdayakan. Siapa saja kira-kira yang kena efek positif dari model ini?
1) Semua petani rumahan.
Masyarakat kita rata-rata adalah petani – seusai dengan julukannya, negara agraris. Kalau petani terberdayakan, sudah otomatis ekonomi kita akan bagus. Mereka selama ini terlindas oleh angka impor yang tinggi. Harga dimonopoli. Mereka rugi, akhirnya negara agraris kita malah impor dari negara yang lahannya sempit. Miris bukan?
2) Jasa antar atau ekspedisi barang (mirip-mirip Go-Food).
Setiap pesanan langsung di antar ke rumah dalam keadaan segar.
3) Pemerintah, jelas pemerintah akan banyak terbantu oleh ide ini.
4) Masyarakat luas
“Selama ini, bangsa kita terlalu berpikir muluk-muluk, padahal ada hal luar biasa dari yang sederhana.” ~ Bapak Kiai Tanjung.
Ide ini bisa mengurangi kesenjangan sosial, ekonomi, dalam negeri bahkan luar negeri. Dalam aplikasi, tersedia sarana edukasi untuk masyarakat. Tentang apa? Tentang pentingnya kebutuhan gizi keluarga, daftar resep sehat, diet, herbal, dan informasi-informasi edukatif lainnya. “Mencerdaskan kehidupan bangsa,” seusai dengan pembukaan UUD 1945.
Tidak hanya mengangkat ekonomi, tapi juga memberi nilai edukasi dan sosial. Program ini benar-benar membumi atau merakyat. Pelan-pelan kita kurangi impor bahan pokok, maka inflasi tidak akan terjadi. Dana pembangunan melimpah. Perut masyarakat kenyang dan sehat. Tidak akan ada tindak kejahatan. Generasi sehat makan makanan sehat untuk bangsa yang lebih hebat.
Hal yang paling prioritas untuk kebangkitan Nusantara adalah, MANDIRI PANGAN. #IDF2018 #AtasiKesenjangan