• Generic placeholder image
    Admin Dashboard

Desa Silikon dan Pendapatan Universal

May 16, 2018
Desa Silikon dan Pendapatan Universal

Sumber: http://www.budimansudjatmiko.net/

Penulis: Budiman Sudjatmiko
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi)


Peta risiko global 2018 yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia menempatkan konsekuensi negatif dari kemajuan teknologi di inti jejaring keterhubungan risiko global. Ia terkait erat dengan risiko ekonomi pengangguran/setengah pengangguran dan risiko ketidakstabilan sosial.

Otomasi dan digitalisasi diperkerikan akan menekan jumlah pekerja manusia dan upah kerja meningkatkan produktivitas, dan konsekuensinya akan kian memperbesar pendapatan dan kekayaan pemilik modal dan teknologi. Dampak otomasi dan pengangguran akibat teknologi harus mulai menjadi perbincangan serius di meja-meja rapat pemerintahan hingga bangku-bangku ruang kuliah. Prediksi McKinsey & Co mengungkapkan bahwa 45 persen pekerjaan yang kita kenal saat ini akan hilang dalam dua dekade ke depan.

Saya menyoroti tiga hal ini. Pertama, ancaman otomasi dan digitalisasi tidak boleh dianggap bahaya di masa depan. Kenyataanya ia sedang berlangsung di depan mata. Ia seperti dulu munculnya kereta api dan sepeda yang menggantikan kereta kuda. Peristiwa tutupnya sejumlah gerai ritel besar tahun lalu dan akan terus berlanjut di tahun ini hanyalah adegan pembuka dari kisah saga peradaban berisi makhluk-makhluk berakal budi yang hidup berbarengan dengan robot cerdas, kecerdasan buatan, dan mesin pembelajar.

Perusahaan-perusahaan swasta berkejar-kejaran dengan napas memburu melakukan investasi teknologi. Sejauh ini sasarannya adalah otomasi pekerjaan yang bersifat rutin dengan peringkat keahlian menengah. Namun, tinggal menunggu waktu dan harga teknologi yang pas untuk bergerak ke peringkat pekerjaan yang kompleks, yang terkena dampak kerasanya adalah orang-orang cerdas tetapi dengan cara berpikir usang. Pada peringkat pekerjaan sederhana yang terdampak adalah berpuluh juta orang yang tidak punya keunggulan ilmu di masa kini, apalagi di masa depan. Akan jadi petaka dahsyat jika keduanya menyatu dan meledak.

Kedua, proses transformasi dunia kerja akan berlangsung cepat. Dunia pernah mengalami transformasi masif karena renovasi teknologi. Namun, apa yang terjadi saat ini akan sungguh-sungguh berbeda. Bobot dan kecepatannya yang tinggi akan mendatangkan momentum yang jauh lebih meremukkan jika salah penanganan. Butuh waktu 200 tahun lebih Amerika Serikat untuk bergerak dari masyarakat dengan 84 persen petani pada 1810 menjadi tinggal 2 persen saat ini. Namun hari ini keahlian akan cepat usang dan setiap pekerjaan rentan tergantikan oleh mesin. Tidak ada jeda waktu yang cukup bagi individu ataupun pemerintah untuk beradaptasi dan memberikan respon yang sesuai.

Ketiga jaring pengaman sosial yang kita miliki masih juh dari cukup untuk meredam luka dalam tersebut. Bayangkan anda memacu kecepatan sepeda motor dalam sirkuit balapan dengan tikungan, tanjakan, dan turunan menajam cuma memakai helm plastik. Hal ini karena skema kesejahteraan yang ada saat ini dibangun berdasarkan ide, cara kerja, dan jenis pekerjaan produk Revolusi Industri II yang bersandar pada tenaga listrik. Sekarang revolusi industrinya bertumpu pada teknologi digital, superkomputasi dan biologi (neuroscience dan biologi sintetik).

Pertanyaanya, bagaimana kita mencegah luka dalam di tubuh masyarakat, antara si kaya dan si miskin, antara pemilik teknologi di Sillicon Valley dan mereka yang kehilangan pekerjaan akibat teknologi? Jawaban satu-satunya adalah melalui skema pendapatan dasar universal (PDU) atau universal basic income.

Pendapatan dasar universal

Ide dasarnya adala negara memberikan pendapatan minimum yang yang mencakup kebutuhan dasar tiap-tiap warganya bahkan pada kondisi ia tidak dapat bekerja sama sekali, secara rutin dan tanpa prasyarat apa pun. Meski sangat sederhana, ide ini memiliki gaung yang kencang. Ia mendapatkan dukungan dari banyak kalangan, di spektrum politik kiri tengah ataupun kanan-tengah, dari aktivis HAM seperti Martin Luther King Jr dan Desmond Tutu, sampai ekonom pro-pasar bebas Milton Friedman. Tak ketinggalan para inovator dan elite teknologi seperti Mark Zuckenberg dan Elon Musk (yang berpolemik tentang dampak teknologi kecerdasan buatan) berada di garis depan mendukung pelaksanaan skema ini.

Ada beberapa eksperimen PDU sedang berjalan, di antaranya di Finlandia, Kenya, India, Belanda, Kanada, dan AS dengan skala dan level pelaksanaan yang beragam. Inisatifnya tak hanya datang dari negara, tetapi juga pihak swasta dan lembaga donor. Tujuannya untuk mengevaluasi mekanisme dan dampak skema PDU sebagaimana disuarakan pendukung atau dituduhkan pengkritiknya.

Belum ada gambaran final dari berbagai eksperimen itu. Namun, hasilnya sejauh ini mengindikasikan skema PDU mampu mendatangkan manfaat positif, substansial dan jangka panjang, untuk tiap-tiap orang ataupun komunitas penerimanya. Misalnya, terlihat adanya peningkatan yang signifikan pada keahlian tiap-tiap orang ataupun komunitas penerimanya. Misalnya, terluhat adanya peningkatan signifikan pada keahlian tiap-tiap orang, investasi aset, kesehatan dan pendidikan anak. Kecurigaan bahwa skema PDU akan berakibat negatif pada individu, misalnya meningkatkan konsumsi alkohol atau membuat orang malas bekerja, tak punya dukungan empiris sama sekali.

Pada sat robot cerdas dan mesin pembelajar akan menjadi bagian keseharian hidup manusia, PDU adalah cara untuk membagi adil “kue kemakmuran’ yang terus membesar karena kemajuan teknologi. Kita perlu memandang PDU sebagai hak individu warga negara. Ia merupakan dividen warga dari investasi negara pada pengembangan teknologi yang justru menghilangkan akses warganya pada pekerjaan. Ia adalah royalri atas monetisasi informasi yang diberikan sukarela oleh tiap-tiap orang di ruang digital.

Ia kompensasi atas hilangnya akses terhadap berbagai hal yang seharusnya dimiliki bersama. Dengan beberapa cara pandang ini, ruang inovasi rancang penadanaan untuk membiayai pelaksanaan. PDU akan lebih terbuka. Bagaimana masyakarat perdesanaan meresponsnya? Kenapa desa?

Desa Silikon

Desa menjadi wilayah yang sangat rentan terdampak negatif oleh kemajuan teknologi. Ini karena mayoritas desa belum memiliki SDM mumpuni untuk menyesuaikan diri dan membangun pertahanan diri atas hal ini. Namun, itu akan jadi kisah masa lalu. Dalam tiga tahun terakhir, desa-desa di Indonesia mulai berbenah. Sejak dana desa digulirkan, berbagai model kewirausahaan sosial berbasis BUMDes (badan usaha milik desa) dan BUMADes (badan usaha milik antar-des) muncul dan berkembang. Tentu masih banyak persoalan, tetapi mimpi menjadikan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru akan semakin nyata dalam sepuluh tahun ke depn.

Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, menjadi salah satu kisah sukses BUMDes yang kemudian disuntik dari dana desa. Berawal dari desa miskin dengan pendapatan tahunan hanya Rp 14 juta di tahun 2006, kini menjelma menjadi makmur dengan total pendapatan Rp 15 miliar pada tahun 2017. Saat ini  BUMDes Ponggok menaungi 13 unit usaha, mulai dari wisata air sampai warung kelontong. Semua dikelola secara profesional, modern, dan memanfaatkan teknologi informasi.

Program kesejahteraanya beragam, mulai dari beasiswa satu rumah satu sarjana sampai pendapatan universal dalam rupa ‘gaji’ untuk semua penduduk usia lanjut. Hal serupa juga sedang dirintis di sejumlah desa lain di Indonesia.

UU Desa dengan dana desanya dan PDU adalah dua senjata kembar identik untuk menyongsong kemajuan teknologi. Jika PDU memberikan kekuatan pada individu bertahan terhadap gempuran otomasi dan perubahan cara kerja sebagai postur defensifnya, dana desa akan memberikan kemampuan orang banyak di desa untuk memenangkan kompetisi pada era ekonomi digital sebagai postur ofensifnya. Artinya, bahkan BUMADes-BUMADes bisa berkembang sebagai perusahaan data raksasa (big data) dan teknologi informasi dalam desa-desa berteknologi silikon (silicon village).

Ini memadukan kecerdasan buatan dan jejaring sosial desa di mana para pelakukan bukan cuma individu, melainkan komunitas-komunitas. Tak ada yang lebih tepat dari itu sekarang.

Sebagaimana UU Desa, PDU membutuhkan tindakan politik pogresif yang keras hati. Di tahap awal kita perlu dorong adanya eksperimen PDU di sejumlag wilayah. Ini perlu untuk memperkaya data dan pengetahuan kita tentang dampak PDU sambil menemukan skema yang pas.

Melalui PDU kita berharap bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan, terutama di kampung-kamping kota maupun desa, gunung, dan pantai secara tuntas sembali berselancar di atas gelombang kemajuan sains teknologi yang tak kenal rem ini.
***

Tulisan ini pernah dimuat di Opini Harian Kompas, Jumat, 9 Maret 2018


Komentar
--> -->