• Ridhony Marisson Hasudungan Hutasoit
    Ridhony Marisson Hasudungan Hutasoit
    Aku ini bukan siapa-siapa, hanya terus berjuang meninggalkan jejak-jejak mulia dalam sejarah peradapan manusia, sebelum kelak diminta pertanggungjawaban dalam kekekalan.

Balancing Inklusi dan Literasi Keuangan Demi Memacu Pertumbuhan

May 15, 2018
Balancing Inklusi dan Literasi Keuangan Demi Memacu Pertumbuhan

Sumber Gambar: Otoritas Jasa Keuangan

Tahun 2019, pemerintah Republik Indonesia menargetkan tingkat inklusi keuangan pada titik 75 persen sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Secara sederhana, target inklusi keuangan atau disebut  dengan Indeks Inklusi Keuangan (IIK) adalah kondisi faktual masyarakat dewasa yang terakses sektor jasa keuangan. Percepatan inklusi keuangan harus terus  dilakukan selaras dengan perubahan zaman dan persaingan global di depan mata. Jika melihat trend pertumbuhan inklusi keuangan, pencapaian target ini terlihat optimis.

Berdasarkan Survei Nasional Literasi Dan Inklusi Keuangan 2013 dan 2016,  Indeks Inklusi Keuangan (IIK) tahun 2013 secara nasional mencapai 59,7%, kemudian meningkat pada tahun 2016 menjadi 67,82%. Peningkatan IIK hingga tahun 2016 sebesar 8,12%  menjadi penanda optimis bahwa trend peningkatan dapat konsisten dipertahankan hingga tahun 2019. Namun muncul suatu pertanyaan, bagaimana dengan kualitas inklusi keuangan tersebut?

Kualitas inklusi keuangan sangat erat kaitannya dengan tingkat literasi keuangan atau dikenal dengan Indeks Literasi Keuangan (ILK). Dari tahun ke tahun, ILK mengalami kemajuan. Hal ini terlihat pada tahun 2013, ILK sebesar 21,8% yang terus meningkat menjadi 29,66% pada tahun 2016. Hal yang senada dengan IIK, ILK memiliki tren yang optimis untuk dicapai, bahkan dimungkinkan melampaui target. Berdasarkan Perpres Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen, target ILK sebesar 35% pada tahun 2019.

Namun, perbandingan nilai kuantitatif antara tingkat inklusi dan literasi pada posisi unbalance. Terdapat gap antara tingkat inklusi dengan literasi sebesar 38,16%. Artinya, sebanyak 38,16% penduduk Indonesia dewasa yang telah terakses dengan produk dan/atau industri jasa keuangan, minim pemahaman mengenai produk/jasa industri jasa keuangan yang digunakan. Pemicunya adalah keterbatasan infrastruktur sampai di pelosok negeri serta belum optimalnya sinergi dalam  literasi keuangan.

Hal yang perlu kita pelajari dari negara-negara maju ialah mengapa pemerataan akses keuangan termasuk inovasi terkait produk/jasa sektor jasa keuangan dapat tumbuh dengan cepat. Penyebabnya karena pertumbuhan tingkat literasi sejalan dengan tingkat inklusi keuangan masyarakat. Tingkat literasi yang matang sejatinya membentuk ekosistem pasar yang menstimulus masyarakat meningkatkan kualitas pilihan dalam menggunakan produk/jasa pada industri jasa keuangan. Kualitas pilihan masyarakat ini mendorong industri jasa keuangan untuk lebih inovatif, efisien, dan efektif dalam menyediakan jasa dan produknya. Maka tidak heran, perkembangan zaman membawa industri jasa keuangan untuk bersimbiosis dengan teknologi informasi. Buktinya adalah dengan kehadiran branchless banking hingga financial technology.

Jika dianalogikan inklusi adalah huruf sedangkan literasi adalah spasi, maka kesimbangan antara inklusi dan literasi senada dengan pertanyaan retorik dalam karya Dee Lestari di karya sastra berjudul Filosofi Kopi: “Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?”. Kondisi literasi yang rendah dapat menjadi pukulan telak pada inklusi keuangan tersebut.

Pemahaman masyarakat atas produk/jasa industri jasa keuangan bisa jadi pemicu resistensi terhadap perkembangan bisnis dalam industri jasa keuangan. Resistensi ini signifikan terlihat, khususnya di daerah pelosok yang masih gagap produk/jasa keuangan termasuk teknologi (gaptek). Padahal tidak dapat dipungkiri, salah satu pemacu pertumbuhan ekonomi signifikan adalah akses investasi dan pembiayaan dari sektor jasa keuangan hingga ke pelosok negeri, khususnya melalui teknologi informasi tadi.

Artinya, ke depan Pemerintah termasuk OJK perlu membuat suatu desain strategi yang menciptakan keseimbangan antara inklusi dan literasi keuangan dengan melibatkan sektor jasa keuangan bagi seluruh rakyat Indonesia, dari kota hingga, dengan tetap memperhatikan pencapaian target IIK dan ILK sebagaimana telah ditetapkan dalam dua ketentuan di atas. Seperti pepatah yang menyatakan: “Kecepatan kereta kuda, bukan tergantung pada kuda yang paling cepat, tetapi kuda yang paling lambat”.


Komentar
--> -->