Pitch Competition Winner IDF 2019: Sri Widuri Mencegah Pelabelan Anak dengan Identifikasi Kebutuhan dalam Pendidikan Inklusi

August 27, 2019

Sri Widuri (tengah duduk) bersama para siswa dalam program pendidikan inklusi.

Hal paling utama dalam pendidikan inklusi adalah menumbuhkan kesadaran, ada anak-anak berkebutuhan khusus dan cara-cara untuk mengidentifikasi kondisi maupun kebutuhan mereka. Demikian dikatakan Pemenang Kompetisi Paparan Singkat (Pitch Competition Winner) Indonesia Development Forum (IDF) 2019, Sri Widuri dengan judul karya “Leave No One Behind: INOVASI’s Experience in Central Lombok”.  Tema ini  selaras dengan Sub-Tema 8, Meningkatkan Kualitas Modal Manusia.

 

“Dan kalau sudah diidentifikasi, ayo kita berikan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhan dan hambatan mereka! Sehingga bisa meminimalisir hambatan tersebut, serta memaksimalkan potensi. Dalam konteks pendidikan inklusi adalah bisa mencapai hasil pembelajaran sesuai kemampuan dan potensi mereka,” papar Sri Widuri, Education Adviser, Nusa Tenggara Barat (NTB), Innovation for Indonesia’s School Children (INOVASI).

Sri berpengalaman lebih dari 15 tahun menekuni bidang pendidikan formal dan non-formal untuk anak-anak, remaja, dan dewasa. Dia mulai bekerja sebagai guru, kemudian menjadi kepala sekolah, spesialis kurikulum, dan pekerja pengembangan pendidikan dan peneliti.

Sri pernah bekerja untuk Coffey International,  International Labour Organization (ILO), Save the Children, UNICEF, dan University of New South Wales, Australia. Sebelumnya, ia bekerja sebagai spesialis Pendidikan UNICEF untuk mengelola program pendidikan skala besar di NTB, Papua, dan Papua Barat di bidang manajemen berbasis sekolah, pengajaran dan pembelajaran, literasi, dan kepemimpinan pendidikan.

Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) merupakan program kemitraan antara pemerintah Australia dengan pemerintah Indonesia dengan fokus bidang pendidikan. Program ini berupaya memahami cara-cara untuk meningkatkan hasil pembelajaran siswa di sekolah-sekolah yang ada di berbagai kabupaten di Indonesia, terutama dalam hal kemampuan literasi dan numerasi. Program yang ditangani Sri dilaksanakan di Lombok Tengah.  Dalam program tersebut, menurut Sri langkah mengidentifikasi kebutuhan khusus dalam pendidikan inklusi menjadi bagian penting. 

“Identifikasi maksudnya begini, kadang-kadang dalam konteks pendidikan sekolah umum, guru masih ada yang suka melabeli anak. Ketika anak-anak punya masalah konsentrasi dan itu merupakan masalah atau hambatan anak, dia langsung melabelnya bodoh lah, atau anak nakal lah, dan lain-lain,” lanjut Sri.

Rupanya sikap seperti itu timbul karena ketidaktahuan para guru, termasuk tidak mengetahui siapa-siapa saja anak berkebutuhan khusus yang harus diperhatikan.

 

Solusi Lokal untuk Masalah Lokal

Program INOVASI di NTB mengembangkan sebuah alat sederhana agar para guru bisa mengidentifikasi anak-anak yang memiliki hambatan-hambatan belajar, baik yang ringan, sedang, maupun berat, atau bahkan total.

“Kalau total kan cenderung ketunaan, misalnya tuna netra, tuna rungu, dan itu gampang dilihat. Yang susah dilihat itu adalah mereka yang kesulitan belajar, tapi tidak terlalu mudah dilihat. Itu maksudnya penggunaan alat identifikasi,” lanjut Sri

Pendekatan berbasis lokal tersebut dinamai Problem Driven Iterative Adaptation (PDIA), yang bermakna solusi lokal untuk masalah lokal.

Sri mencontohkan di Bima banyak anak tidak bisa menerima pelajaran  kelas 1 SD dengan berbahasa Indonesia. Itu karena, mereka tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga harus memakai bahasa setempat. Pendidikan inklusi dalam hal ini bukan disabilitas, tapi kesukuannya. Solusinya? Memakai  bahasa ibu.

Di setiap kabupaten, kata Sri, hasil identifikasi tantangan yang membuat anak tidak bisa belajar dengan optimal itu berbeda-beda.

“Kita tidak  pernah  kasih solusi, tapi kita inspirasi solusi yang sudah berlaku pernah dilakukan di daerah lain,” tegas Sri.

Di Lombok Tengah masalah yang muncul adalah disabilitas. Lewat PDIA, INOVASI membantu guru di 19 sekolah untuk mengidentifikasi anak-anak berkebutuhan khusus hingga ke level kelas. Misalnya, ada anak yang memiliki hambatan total penglihatan, sementara guru tidak punya kemampuan memahami huruf braille. Langkah yang dilakukan adalah membantu guru untuk melebarkan jaringannya. INOVASI memberi informasi dalam mencari guru pendamping dari Sekolah Luar Biasa (SLB).

Dalam proses penerapan PDIA di Lombok Tengah, para guru secara rutin merefleksikan bersama praktik dan implementasi uji coba mereka. Mereka mengkaji praktik pendekatan yang berhasil, tidak berhasil, dan mencari solusi untuk mengatasi yang belum berhasil. Setiap bulan, fasilitator lokal bertemu dengan mereka untuk mendokumentasikan umpan balik dan kemajuan. Tujuannya untuk bahan evaluasi dan meningkatkan pembelajaran pada masa depan. Fasilitator ini berasal dari kumpulan guru, kepala sekolah, dan pengawas dari lembaga di sekitar kabupaten. Mereka adalah aset lokal dalam pengembangan kapasitas guru.

 

Perubahan di Lombok Tengah

“Perubahan ini mungkin kecil bagi orang, tapi bermakna bagi saya,” kata Sri. 

Menurut Sri, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Tengah H. Sumum berhasil meningkatkan akses anak yang sebelumnya tidak sekolah. Para orangtua malu menyekolahkan anak yang menyandang disabitas ke sekolah umum. Akhirnya, anak-anak bisa masuk sekolah. Sebelumnya, para orang tua berpikir anak-anak berkebutuhan khusus harus bersekolah di SLB.

“Melihat anak-anak itu pakai seragam sudah luar biasa, tapi ternyata banyak juga yang  sampai di sekolah tidak dapat layanan pembelajaran karena tidak sesuai dengan kebutuhannya, dan hambatannya malah di-bully oleh teman-teman, bahkan gurunya,”  tutur Sri.

Ia berkisah, ada guru yang mengatakan disabilitas yang dialami anak-anak karena kutukan dari orangtua dan lain-lain. 

“Jadi, ketika kami melakukan praktik PDIA dengan guru, masalah terbesar yang ditemukan adalah tidak sadarnya guru dan warga sekolah lain, bahwa ada yang berbeda dan itu bukan masalah,” tambahnya.

Melalui pendekatan PDIA yang dilakukan INOVASI, guru akhirnya menyadari sikap mereka telah membuat anak-anak berkebutuhan khusus tertekan dan akhirnya putus sekolah. Bermula dari kesadaran itu, guru-guru tidak lagi memberi label pada anak-anak berkebutuhan khusus dan meminta anak-anak lain tidak melabeli teman-temannya

“Nah, perubahan paling nyata yang terjadi. Satu hal kecil, tapi fundamental menurut saya adalah hilangnya labeling itu dan hilangnya aspek bullying untuk anak berkebutuhan khusus,” tambahnya.

Saat perhelatan IDF 2019, Sri berbicara pada Sesi Ideas and Innovation Marketplace, Capturing and Sharing Knowledge pada 22 Juli. Tema besar IDF 2019, “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan  Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif.” 

Selamat untuk Sri Widuri yang memenangkan Pitch Competition!

     

 

 


--> -->