Best Paper IDF 2019: Kharisma Bintang Alghazy Usulkan Satgas Investasi hingga Insentif Startup Pertanian

August 23, 2019

Kharisma Bintang Alghazy

Peraih Best Paper di Indonesia Development Forum (IDF) 2019, Kharisma Bintang Alghazy mengusulkan paket kebijakan  investasi pertanian,  untuk mengatasi persoalan perizinan, konversi lahan, dana riset yang minim, dan inovasi pertanian, serta digitalisasi pertanian. Hasil penelitian yang dipaparkan Bintang ini sejalan dengan bahasan dalam sub-tema 4 IDF 2019, Memperbaiki Iklim Investasi untuk Penciptaan Lapangan Kerja.

“Sektor pertanian masih strategis dan relevan dalam menciptakan lapangan kerja di Indonesia selama iklim investasi terus diperbaiki,” kata Kharisma selaku anggota Tim Reformasi Regulasi Perizinan Berusaha, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Tim Reformasi Regulasi Perizinan Berusaha merupakan bagian dari tim yang membangun sistem satu pintu atau Online Single Submission (OSS) untuk perizinan bisnis. Kharisma menyebut sangat berminat mendalami isu kebijakan publik, khususnya mengenai Revolusi Industri 4.0, Usaha Mikro dan Kecil (UKM), dan Pemerintahan Berbasis Elektronik. Sebelum bergabung di Kemenko Perekonomian, lulusan Hukum Universitas Indonesia ini sempat menjadi peneliti di Djokosoetono Research Centre. 

Penelitian Kharisma berjudul “Paket Kebijakan Ekonomi Pertanian Solusi Perbaikan Iklim Investasi” mendapat penghargaan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro pada Penutupan IDF 2019, 23 Juli 2019. Dalam paparan penelitiannya, Kharisma menulis aktivitas investasi, baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) terbukti secara empiris memiliki peran penting terhadap penciptaan lapangan pekerjaan.

“Secara umum, peningkatan realisasi investasi di Indonesia cenderung berbarengan dengan peningkatan jumlah angka pekerja,” kata Kharisma.

Namun, kondisi iklim investasi sektor pertanian di Indonesia masih menghadapi empat masalah fundamental yaitu konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang terus terjadi, anggaran untuk riset yang terbatas, inovasi dan pemberdayaan kemampuan petani minim, tingkat kemudahan berusaha yang rendah, dan kompleksitas pengurusan izin di daerah, serta belum ada insentif khusus untuk digitalisasi pertanian.

Menurut Kharisma, kewenangan perizinan berada di kementerian sektor. Artinya, investasi sektor pertanian diatur oleh Kementerian Pertanian yang saat ini telah menyusun norma, standar prosedur, hingga kriteria investasi untuk menjadi pedoman bagi pemda di seluruh Indonesia, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

“Pada praktiknya, di luar sana banyak pemda yang masih mempersyaratkan di luar yang dipersyaratkan kementerian sektor, dan ini tidak tercatat atau di luar jangkauan kementerian sektor,” lanjut Kharisma.

Sedangkan terkait persoalan konversi lahan, Kharisma menilai banyak pemda yang melakukan diskresi.

“Pada daerah tertentu sudah ditentukan untuk usaha pertanian, tapi dengan tidak adanya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang dituangkan dalam bentuk perda, pemda bisa dengan mudah mengubah fungsi lahan. Yang awal untuk pertanian, jadi non pertanian, sehingga terjadi konversi lahan,” tambah Kharisma.

Misalnya, di Yogyakarta, alih fungsi lahan seperti ditulis setkab.go.id, mencapai 200 hektar setiap tahun. Dikutip dari Republika, di tingkat nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat rata-rata alih fungsi lahan per tahun mencapai 150 ribu hingga 200 ribu hektar.

 

Empat Paket Kebijakan Ekonomi Pertanian

Empat masalah fundamental iklim investasi  menimbulkan ketidakpastian investasi di sektor pertanian. Oleh karena itu, menurut Kharisma, pemerintah perlu merajut berbagai macam kebijakan solutif, strategis, dan relevan yang dikemas dalam bentuk Paket Kebijakan Ekonomi Pertanian.

Pertama, percepatan penyusunan peta digital RDTR di 541 kabupaten/kota dan kebijakan Satu Peta.  Peta RDTR adalah gambar wilayah administrasi kabupaten/kota dengan skala 1 : 5.000 yang menunjukkan sebaran lahan dan zonasi sesuai dengan peruntukan ruangnya.

“Sedangkan, Kebijakan Satu Peta adalah kebijakan yang mengintegrasikan berbagai macam peta tematik (termasuk peta RDTR) ke dalam satu referensi yang sama,” tambahnya.

Tujuannya untuk mengendalikan laju konversi lahan pertanian dan memberikan kepastian bagi pelaku usaha di sektor pertanian dalam mengakses informasi mengenai fungsi penggunaan lahan di kabupaten/kota.

Kedua, realokasi anggaran pemerintah untuk kegiatan riset dan inovasi produk pertanian serta pengembangan pelaku usaha di sektor pertanian dengan  menggunakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) atau Dana Desa. Realokasi anggaran bertujuan untuk memberikan akses yang lebih luas bagi petani dan pelaku usaha dalam menggunakan bibit, obat, dan pupuk yang lebih berkualitas.

“Selain itu, untuk pengembangan kapasitas dan peningkatan skill para petani dan pelaku usaha pertanian di Indonesia agar bisa mengakses pengetahuan pertanian modern,” ujar Kharisma.

Ketiga, melanjutkan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS) dan Pembentukan Satuan Tugas Investasi Sektor Pertanian (Agricultural Investment Task Force). OSS adalah sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik berbasis internet yang berfungsi untuk mengajukan dan menerbitkan perizinan berusaha untuk 20 sektor usaha, termasuk sektor pertanian, dan dapat diakses secara online.

“Sedangkan Satgas Investasi ini nantinya, bertugas mengawal pengendalian konversi lahan, dapat mengawal investasi di sektor pertanian secara end- to- end,” kata Kharisma lagi. 

Satgas diharapkan akan bergerak cepat dan tepat sasaran dalam menangani keluhan investor pertanian. Satgas berasal dari lintas sektor yaitu Kementerian Pertanian dengan melibatkan dinas pertanian di setiap kabupaten/kota, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, atau Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Empat pemangku kepentingan ini, punya kewenangan dalam rangka investasi sektor pertanian,” cetus Kharisma.

Keempat, peninjauan ulang dan pemberian insentif bagi pelaku usaha berbasis platform digital di sektor pertanian. Menurut Kharisma, pemerintah perlu mengidentifikasi kembali efektivitas insentif untuk kegiatan usaha di sektor pertanian, seperti pengurangan pajak penghasilan (tax allowances) untuk sektor pertanian. Pemberian insentif bagi pelaku usaha berbasis platform digital di sektor pertanian mencakup upaya untuk mendorong pertumbuhan kegiatan usaha sektor pertanian berbasis platform digital, misalnya pendanaan massal, edukasi petani, dan pembentukan marketplace.

“Karena sudah terbukti. Petani yang saya wawancara mereka bilang platform-platform tersebut sangat bermanfaat,” tambahnya.

Menurut Kharisma, dalam beberapa tahun terakhir banyak startup dan petani muda yang mengembankan usah sektor agro industri atau sektor hilir pertanian.  Contohnya, Tani HubIgrow, dan 8villages.

“Sekarang Indonesia punya 10 atau 12 pelaku usaha yang memanfaatkan platform teknologi  digital. Jangan sampai nanti berkurang jadi delapan atau lima, kalau bisa bertambah 40 atau 50,”  pesannya.

Kharisma memaparkan  hasil penelitiannya tersebut  di Sesi Inspire berjudul “Improving The Investment Climate for Employment Creation” pada 22 Juli 2019. Ia berharap penelitiannya bisa jadi masukan untuk memperbaiki investasi sektor pertanian yang berpotensi memperluas lapangan kerja, sesuai dengan tema besar IDF 2019, “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”.  Selamat untuk Kharisma!

 


--> -->