Best Paper IDF 2019: Nika Pranata Dorong Pembatasan Impor Individu dan Pembentukan Desa E-commerce

August 22, 2019

Nika Pranata

Hanya dengan sentuhan jari di smartphone, setiap individu kini bisa mengimpor barang dari luar negeri melalui platform e-commerce. Dalam survei yang dilakukan peraih Best Paper di Indonesia Development Forum (IDF) 2019, Nika Pranata  menemukan sebanyak 87,8 persen responden menyadari kemudahan impor tersebut. Bahkan, 45,96 persen responden menyatakan pernah mengimpor secara individu.

“Berbelanja langsung ke luar negeri itu berpotensi menggerus pangsa pasar penjual online kita,” kata Nika, Peneliti Ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Lewat penelitian yang berjudul “How Should Government Promote Competitiveness of Indonesia's Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) in the Borderless Trade Era?” , Nika menerima penghargaan dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro. Penelitian Nika terkait Sub-Tema 5, Mengembangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang Berdaya Saing Global.

Nika merupakan lulusan program Master of Economics and Public Policy dari National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Jepang dan program magister Ekonomi Terapan dari Universitas Padjajaran. Pada 2018, ia menerima penghargaan Best Paper Winner dalam Indonesia Development Forum 2018. Ia telah mempublikasikan berbagai karya tulis ilmiah dan naskah kebijakan serta mempresentasikannya di berbagai forum internasional dan nasional.

Dalam presentasi  IDF 2019 pada 23 Juli, Nika menjelaskan hasil survei pembelanja dari 34 provinsi.  Sebanyak 45,96 persen responden yang mengaku pernah mengimpor barang secara individu, mereka membeli melalui platform e-commerce dari Tiongkok dan Amerika Serikat yaitu Alibaba 55 persen, AliExpress 49,1 persen, Amazon 46,3 persen, dan eBay 36,36 persen.  Pasar global lain tempat mereka berbelanja adalah Rakuten 17,6 persen, Taobao 16,7 persen, Gearbest 15,8 persen, Banggood 12,4 persen, dan beberapa pasar luar negeri lainnya sebesar 3,9 persen.

“Alasan mereka membeli dari luar negeri, produk yang mereka beli tidak tersedia atau sangat terbatas di Indonesia dan harga produk di pasar luar negeri lebih murah,” tambah Nika.

Menurut Nika, para pelaku e-commerce lokal juga menyadari kondisi persaingan pasar impor ini. Produk yang pembeli impor sebagian besar adalah aksesoris, perangkat elektronik, fesyen, dan produk kecantikan

“Tentu saja, situasi ini akan membuat persaingan antara penjual nasional dan penjual global semakin sengit yang dapat mengancam kelangsungan hidup mereka dalam e-commerce,” lanjut Nika.

 

Menjaga Kejayaan UMKM di Era E-commerce

Nika menyatakan kehadiran e-commerce  tetap penting bagi kelangsungan hidup UMKM. Menurut Nika, perlu kebijakan-kebijakan yang bisa mengoptimalkan e-commerce untuk keberlangsungan UMKM di Indonesia. Dalam penelitiannya, Nika menyampaikan sejumlah rekomendasi terkait perlindungan domestik dan peningkatan daya saing lokal.

“Saat ini, peluang masih lebih besar. Namun tidak menutup kemungkinan nanti di masa mendatang, dengan tren impor individu makin meningkat, ke depan jadi potensi ancaman bagi penjual online kita,” katanya.

Untuk perlindungan domestik, poin utamanya memberi batasan impor untuk individu  karena selama ini belum dibatasi. Satu-satunya penghalang adalah ambang batas 75 Dollar Amerika sebagai nilai maksimum yang memenuhi syarat untuk tanpa biaya pajak impor dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan kebijakan itu, selama individu mau dan mampu membayar pajak impor dan PPN, mereka dapat mengimpor sebanyak yang mereka inginkan.

 

“Itu beda kondisinya dengan di luar negeri, di Tiongkok mereka membatasi individu untuk melakukan impor. Padahal mereka sudah sangat ekspansif dalam mengekpor, tapi mereka bisa memproteksi produk lokal dengan batasan impor oleh individu,” jelasnya.

Nika menyontohkan, kebijakan batas sekali impor maksimal Rp10 juta dan dalam satu tahun tidak boleh melebihi total Rp50 juta. Proses pembuatan aturan pembatasan memang harus melalui langkah yang panjang karena terkait prinsip-prinsip perdagangan bebas di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).

“Tapi, itu satu hal yang kita bisa perjuangkan. Kalau negara lain bisa, kita juga bisa,” tegas Nika. 

Sementara itu, terkait peningkatan daya saing dalam negeri, Nika merekomendasikan upaya untuk mengutamakan produk yang memiliki keunggulan komparatif di pasar e-commerce, misalnya produk agro dan makanan. Sebab untuk bersaing dalam produksi fesyen, elektronik, dan aksesoris, akan sulit dilakukan dalam jangka pendek. 

“Pemerintah harus mempromosikan atau membangun pasar skala nasional untuk produk pertanian, mengingat saat ini platform e-commerce untuk mereka adalah produk kecil dan tersebar seperti Tanihub, Limakilo, Aruna, dan lain-lain,” tambahnya.

Selain itu, karena 90 persen pembelanja dan penjual online berasal dari generasi milenial dan pascamilenial, itu berarti bahwa orang yang berusia lebih dari 37 tahun kebanyakan tidak berbelanja online.

“Mungkin juga sulit untuk langsung mengundang mereka ke belanja online,” kata Nika.

Terkait penetrasi belanja online, pemerintah harus mempromosikan pendekatan Online to Offline (O2O), khususnya untuk produk pertanian dan yang mudah rusak. Di Tiongkok, Alibaba dan JD mendirikan gerai ritel di seluruh negara yang menjual kesegaran kualitas produk pertanian dengan nama Hema dan 7Fresh.

“Toko-toko eceran itu terhubung secara digital ke platform online. Mereka hanya perlu memindai produk kode QR untuk membayar, maka produk akan dikirim dalam 30 menit,” lanjut Nika. 

Membangun Desa e-Commerce

Indonesia perlu belajar dari Tiongkok dalam mempercepat pengembangan pasar pedesaan, mengurangi kemiskinan, dan menyediakan kesempatan kerja. Langkah bisa dimulai dengan mendirikan dan mempromosikan program serupa Taobao Village, desa yang terkait dengan program Rural Taobao dari perusahaan e-commerce raksaksa Tiongkok, Alibaba Group.


“Kalau di sana, inisiasinya datang dari marketplace, lalu mereka mengharuskan pemerintah lokal atau pusat untuk berkomitmen dari sisi perbaikan infrastruktur. Kalau di Indonesia, inisiatif sebaiknya dari pemerintah,” tambah Nika.

Pemerintah, menurut Nika, bisa berkolaborasi dengan platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee,  dan melibatkan pemerintah daerah.

“Platform dapat bertindak sebagai fasilitator untuk meningkatkan kemampuan penduduk desa sehingga mereka dapat menjalankan toko online serta membantu memasarkan produk mereka di platform,” lanjutnya.

Untuk pemerintah pusat dan daerah, mereka harus memastikan infrastruktur dan ekosistem yang lebih baik, seperti meningkatkan jangkauan dan kualitas internet, meningkatkan infrastruktur dan jaringan logistik, serta menyediakan ekosistem dan kebijakan yang mendukung, seperti kemudahan bisnis dan proses perizinan.

“Skema seperti ini (di Tiongkok) terbukti bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja dan meningkatkan ekonomi  pedesaan,”  tutupnya.

Nika mempresentasi hasil penelitiannya pada Sesi Imagine, Developing Globally Competitive Micro, Small and Medium Enterprises di IDF 2019.  Nika berharap, kajian menjadi masukan di IDF 2019 yang bertema “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif ”.

“Mungkin bisa dibawa ke Kementerian Perdagangan, Bea Cukai, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo),” tutupnya.

Selamat untuk Nika sebagai pemenang Best Paper IDF 2019!

 


--> -->