Pembicara Terpilih IDF 2019: Venansius Openg Ajak Perempuan Berani Ambil Keputusan dari Level Rumah Tangga

October 24, 2019

Venansius Thomas Kapitan Openg dan Sayuri Ichikawa

 

Pembicara terpilih IDF 2019, Venansius Thomas Kapitan Openg bersama Sayuri Ichikawa berupaya mengidentifikasi pendekatan ideal untuk mengatasi masalah yang dihadapi para perempuan dalam membangun usaha di Nusa Tenggara Timur (NTT). Lewat karya berjudul Empowering Women’s Small-scale Businesses in East Nusa Tenggara, through Platforms to Access a Wider Market, keduanya memotret dan mempelajari upaya pemberdayaan ekonomi kelompok perempuan di Desa Tasikona Kabupaten Kupang yang mereka dampingi.

 

“Kami mengulas pemberdayaan perempuan di provinsi Nusa Tenggara Timur, dimana sistem patriarkal sangat kuat meskipun pemberdayaan ekonomi dan kewirausahaan perempuan berlangsung dengan cepat,” tulis Venan.

 

Venan merupakan mahasiswa Program Master Antropologi Terapan dan Pengembangan Partisipatif dengan fokus pada masyarakat dan lingkungan di Australian National University (ANU). Venansius pernah bekerja sebagai staf Lentera CIDEC, Nusa Tenggara Timur, dan WADAH Foundation. Dalam IDF 2019, Venansius berduet dengan Sayuri Ichikawa dari Jepang, mahasiswa Semester II program Master of Environmental Management & Development di Australian National University.

              

Perempuan Perlu Berani Mengambil Keputusan

Berangkat dari studi kasus Desa Tasikona dalam penelitiannya, Venan menyebut ada dua poin penting yang harus dilakukan untuk pemberdayaan ekonomi perempuan di NTT. Pertama, dimulai dengan peningkatan peran perempuan dalam mengambil keputusan.

“Partipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di level rumah tangga harus ditingkatkan. Peningkatan peran perempuan tersebut dapat berdampak positif dalam rumah tangga, seperti peningkatan pendapatan rumah tangga,” kata Venan.

 

Upaya mendorong perempuan mengambil keputusan sangat penting mengingat perempuan NTT cenderung hanya ditempatkan sebagai pemeran pendukung dari keputusan-keputusan “pemimpin rumah tangga”. Di NTT yang menganut patriarki, para pemimpin itu laki-laki. Menurut Venan, salah satu model patriarki yang menghambat pemberdayaan perempuan di NTT adalah label perempuan yang disebut ume, berarti tertutup atau diam. Anggapan itu memberi kesan perempuan identik dengan pasif.  Masyarakat lalu berpikir, jika ingin menjadi perempuan yang baik, maka harus pasif.

 

“Tentu kita semua akrab dengan model perempuan yang demikian, yang patuh pada suami. Namun, kami beranggapan, hal ini bisa memperlemah posisi tawar perempuan dalam rumah tangga,” tegas Sayuri.

 

Menurut Sayuri, laki-laki kerap memanfaatkan kesan pasif untuk kepentingannya, termasuk yang berujung pada munculnya kekerasan dalam rumah tangga.

 

“Hal ini yang ingin kami perbaiki,” katanya lagi.

 

Selain itu, Sayuri mengatakan untuk menguatkan perempuan agar berani mengambil keputusan di level rumah tangga, perlu diimbangi dengan pendidikan.

“Perempuan pun harus punya akses terhadap informasi, memiliki kebebasan untuk mencari dan menemukan apa yang mereka inginkan, sama halnya dengan laki-laki. Pola pikir yang membeda-bedakan dan melestarikan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan harus kita ubah,” tambahnya.

 

Memilih Produk Usaha dan Memperluas Pasar 

Setelah perempuan memiliki kekuatan dengan mampu mengambil keputusan, langkah kedua dalam pemberdayaan ekonomi di NTT adalah dengan pemilihan jenis usaha kerajinan tangan.

“Cara ini dipilih karena selain kebanyakan perempuan di NTT akrab dengan produk tenun, komunitas yang kami dampingi sudah menjalankan usaha ini beberapa tahun terakhir,” lanjut Venan.

Menurut Venan, tujuan pendampingan ini untuk memperbesar pasar produk tenun olahan seperti dompet, tas, anting, atau sepatu.

“Harapannya bisa memperkuat ekonomi kelompok-kelompok perempuan yang kami bina,” tambah Venan.

Venan juga mengaku mendapat banyak saran yang relevan untuk ekspansi pasar produk kerajinan tangan yang dibuat para perempuan NTT. Ia meyakini survei bisa menjawab kebutuhan pasar dan meningkatkan efektivitas usaha.

“Misalnya, kami perlu melakukan survei pasar. Survei tersebut dimaksudkan untuk melihat tren pasar saat ini. Jenis anting, dompet, atau produk tenun seperti apa yang sesuai minat konsumen,”  lanjut Venan.

Langkah berikutnya adalah menjalin kolaborasi. Misalnya, membuka jaringan dengan agen tur dan pariwisata di kawasan wisata, seperti Labuan Bajo, NTT dan Denpasar, Bali. Kolaborasi untuk memperluas pasar juga bisa memanfaatkan social intermediary, semacam perantara pasar, namun menjadi bagian dari kelompok. Menurut Sayuri, social intermediary memiliki peran besar dalam pemberdayaan perempuan NTT, khususnya untuk menjual produk-produk ke pasar yang lebih luas.

“Individu atau institusi. Misalnya NGO, bisa menjadi social intermediary selama kepentingan kelompok bisa ditempatkan di atas kepentingan individu atau institusi, serta tetap fokus pada keuntungan,” jelasnya.

 

Paparan tentang pemberdayaan perempuan di NTT ini disampaikan Venan dalam Sesi Ideas and Innovations Marketplace: Co-creating and Collaborating pada ajang Indonesia Development Forum (IDF) 2019, 22 Juli. Venan dan Sayuri mengembangkan ide dalam Sub-tema 6 IDF 2019, Membina Para Pelaku Usaha Sosial. Dalam sub-tema 6 ini membahas contoh-contoh usaha sosial yang berhasil, khususnya yang berkontribusi untuk menyediakan solusi lapangan kerja di wilayah terpencil dan tertinggal, terutama di NTT sebagai provinsi percontohan pertama dalam IDF 2019. Sub-tema 6 ini  merangkai tema besar IDF 2019: Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”. 

 


--> -->