Pembicara Terpilih IDF 2019: Dimas Fauzi Dorong Perluasan Akses Informasi Pasar untuk Petani Kopi Perhutanan Sosial Pagar Alam

October 24, 2019

Dimas Fauzi

 

Terpisah jarak dan akses petani sebagai produsen kopi dengan pembeli di pasar menjadi tantangan utama bagi petani kopi Masyarakat Hukum Adat Tebat Benawa dan anggota Hutan Kemasyarakatan (HKm) Semidang Jaya di Pagar Alam, Sumatera Selatan. Pembicara Terpilih Indonesia Development Forum (IDF) 2019, Dimas Fauzi menjelaskan kondisi tersebut menyebabkan terbatasnya informasi pasar di kalangan petani dalam paparan berjudul “Transforming Employment in Agriculture by Enabling Social Forestry Coffee Market”.

 

“Diperlukan upaya peningkatan akses informasi pasar dan informasi lainnya, baik kepada petani maupun pembeli, termasuk di dalamnya pengolahan pasca panen yang belum banyak dilakukan oleh petani,” kata Dimas Fauzi yang merupakan Analis Riset World Resources Institute (WRI) Indonesia.

 

Dimas telah melakukan berbagai proyek penelitian tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan isu-isu transisi energi di Indonesia. Dimas lulus dari jurusan Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan sekarang menjadi mahasiswa Magister of Public Policy di National University of Singapore (NUS). Dalam penelitian petani di Pagar Alam ini, Dimas berkolaborasi dengan peneliti WRI lainnya, Umi Purnamasari dan Satrio Adi Wicaksono.

 

Rantai Pasok yang Panjang          

 

Dalam paparannya di ajang IDF 2019, Dimas menjelaskan petani kopi di dalam kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Semidang Jaya di Sumatera Selatan memiliki akses pada tiga tingkat pengepul, mulai dari desa hingga Kota Pagar Alam. Dalam proses ini, faktor relasi sosial kadang menjadi penentu, terutama di Tebat Benawa.

 

Hutan Kemasyarakatan yang dimaksud adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat secara lestari. Hutan kemasyarakatan ini merupakan bagian dari program Perhutanan Sosial, yaitu sistem pengelolaan hutan lestari dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya.

 

“Dalam konteks masyarakat yang lebih homogen, Masyarakat Hukum Adat Tebat Benawa, rantai dagang kopi dipengaruhi oleh hubungan sosial. Petani cenderung menjual hasil panennya kepada pengepul yang memiliki hubungan kekerabatan,” lanjutnya.

 

Sedangkan untuk masyarakat yang lebih heterogen, termasuk anggota Hutan Kemasyarakatan (HKm) Semidang Jaya, pola dagang murni dipengaruhi perhitungan untung-rugi. Petani membandingkan harga di beberapa pengepul.

 

Rantai pasok kopi yang panjang terjadi akibat keterbatasan akses dan  informasi pasar yang tidak merata. Jika dilihat dari rantai nilainya, semakin dekat pengepul kepada pembeli utama, semakin tinggi harga kopi. Akibatnya, petani di rantai pasok paling bawah akan menerima harga terendah.

 

“Tetapi perlu digarisbawahi bahwa kita tidak bisa menegasikan peran pengepul dalam rantai nilai kopi karena mereka tetap berperan besar dalam proses pemasaran kopi. Terlebih, beberapa petani dan pengepul juga memiliki relasi sosial yang tidak dapat dipisahkan,”  tegas Dimas.

 

 

Keterbatasan informasi telah menimbulkan ketidaksesuaian kualitas kopi antara yang diminta oleh pembeli, seperti roastery (tempat memanggang kopi segar) dan perusahaan, dengan kopi yang dihasilkan oleh petani.

 

“Pembeli besar biasanya membutuhkan pasokan kopi dalam volume besar dan kualitas baik, di mana roastery biasanya akan membeli kopi dengan kualitas yang lebih bagus dibanding perusahaan yang menjadikan kopi sebagai salah satu bahan baku produknya,” tambah Dimas.

 

Temuan lain yakni adanya kebutuhan finansial yang mendesak. Petani biasanya mengandalkan pendapatan dari hasil penjualan kopi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan besar, seperti untuk pendidikan anak, kesehatan, dan lain-lain. Desakan ekonomi ini kerap kali menghambat proses pascapanen karena petani ingin menjual lebih cepat. 

 

 

Jalan Pemberdayaan untuk Petani Kopi Pagar Alam

Upaya peningkatan akses informasi pasar dapat dilakukan melalui promosi hasil kopi dari Pagar Alam kepada pembeli dengan memanfaatkan jaringan yang ada. Misalnya, melalui Kamar Dagang (KADIN), gabungan eksportir kopi, dan lain-lain.

 

“Pendekatan terhadap e-commerce juga dapat dilakukan agar petani dapat mandiri menjual kopi langsung kepada konsumen, tapi petani perlu meningkatkan kualitas produksinya lebih dulu,” lanjut Dimas.

 

Peningkatan akses terhadap informasi dinilai memberi peluang petani mendapatkan insentif untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi. Pembeli pun dapat menambah jaringan penyuplai kopi. Selain informasi pasar, peningkatan kapasitas petani juga perlu dilakukan, terutama dalam pemeliharaan kebun kopi pra-panen dan pengolahan pascapanen.

 

“Di Pagar Alam, pemerintah tengah gencar melaksanakan program revitalisasi kebun kopi melalui pembagian bibit stek yang dapat meningkatkan hasil kopi hingga tiga kali lipat. Upaya ini perlu untuk terus didukung dan diekspansi hingga ke kebun kopi yang berada di dalam kawasan Perhutanan Sosial (PS),” terang Dimas.

 

Selain meningkatkan volume produksi, Dimas menilai perlu pengolahan pascapanen, seperti memetik buah kopi yang sudah merah, penjemuran dengan alas, fermentasi, dan seterusnya. Upaya ini akan meningkatkan kualitas kopi yang dihasilkan petani. Tak kalah penting dalam rangkaian pemberdayaan petani kopi Pagar Alam adalah penguatan kapasitas lembaga petani, antara lain dengan membangun koperasi agar petani dapat mengumpulkan kopi dengan jumlah dan kualitas sesuai permintaan pasar.

 

Kolaborasi Para Pemangku Kepentingan Perhutanan Sosial


Upaya pemberdayaan ini melibatkan sejumlah pihak. Pertama, pemerintah berperan menjalankan program-program pengembangan kapasitas petani untuk meningkatkan produktivitas kopi dan pengolahan pascapanen. Pemerintah juga dapat membantu untuk menghubungkan petani dengan pembeli.

 

“Tetapi, perlu disadari dalam menjalankan programnya, pemerintah harus dapat memangku petani kopi independen maupun yang menanam kopi di dalam kawasan Perhutanan Sosial agar tidak ada petani yang tidak terjangkau,” tambahnya.

 

Kedua, kelompok tani. Petani juga perlu untuk membentuk dan memperkuat lembaga kelompok tani yang bisa melakukan pengorganisasian pemasaran secara terpadu. Adanya kelompok yang kuat akan membantu petani dalam mengumpulkan hasil panen kopi. Bahkan, pengolahan pascapanen secara komunal dapat menarik pembeli besar. Ketiga, LSM. Dukungan dari LSM tetap dibutuhkan, terutama dalam membantu meningkatkan kapasitas petani dan advokasi ke pemerintah, serta menjangkau pembeli.

 

Keempat, pembeli baik besar maupun kecil. “Sebagai konsumen, kita bisa mulai memerhatikan dari mana kopi yang kita konsumsi berasal dan apakah kopi tersebut telah diolah berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan, misalnya,” ajak Dimas.

 

Selain itu, pembeli besar seperti roastery dan perusahaan juga dapat turut andil untuk membeli langsung kepada petani melalui kelompok tani dan membina mereka untuk merawat kebun serta pengolahan pascapanen. Konsep ini sudah dilakukan oleh beberapa roastery dan perusahaan yang datang langsung membantu petani untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kopi.

 

Paparan Dimas ini disampaikan dalam sesi Developing Globally Competitive Micro, Small and Medium Enterprises, ajang Indonesia Development Forum (IDF) 2019 pada 23  Juli. Dimas bersama Umi dan Satriodari Tim WRI mengembangkan Sub-tema 5  Mengembangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menegah yang Berdaya Saing Global. Sub-tema 5 ini merangkai Tema besar IDF 2019: Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”. 


--> -->