Pembicara Terpilih IDF 2019: Febe Amelia Usulkan Pengadaan Sosial untuk Kembangkan Dampak Usaha Sosial

October 24, 2019

Febe Amelia Haryanto

 

Tren pertumbuhan usaha sosial harus berhadapan dengan hambatan pengembangan usaha dan keberlanjutan dampak sosial yang ingin diciptakan. Pembicara Terpilih IDF 2019, Febe Amelia Haryanto mengatakan hambatan-hambatan ini mencakup persoalan pendanaan, sumber daya, arus kas (cash flow), hingga kurang dikenalnya usaha sosial. Dalam penelitian Febe berjudul “Leveraging Social Procurement through Social Enterprises to Create Social Impact”, Febe mengusulkan pembuatan skema pengadaan sosial (social procurement) sebagai solusi untuk mengatasi tantangan usaha sosial.

 

“Dana pemerintah untuk pengadaan tidak sedikit, dan sebenarnya menyimpan peluang yang unik dan sangat besar untuk menciptakan dampak sosial dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan jika dibelanjakan pada usaha sosial. Bahkan, walaupun hanya sebagian kecilnya saja,” jelas Febe yang merupakan lulusan Master of Commerce, Global Sustainability & Social Enterprise, UNSW Business School Sydney.

 

Febe memiliki perhatian khusus pada isu-isu pemberdayaan dan pembangunan sosial. Selama menempuh studi di UNSW, Febe sempat bekerja di Lyka Pet Food, sebuah startup untuk makanan binatang peliharaan di Australia. Febe juga pernah bekerja di sejumlah sektor nirlaba. Pada 2016, ia ikut memprakarsai bootcamp kewirausahaan kelompok muda untuk siswa kejuruan setelah memenangi Engagement Innovation Fund dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

 

 

Mengenal Lebih Jauh Pengadaan Sosial

 

Dalam penelitiannya tentang pengadaan sosial ini, Febe menjelaskan pembeda antara social procurement dan procurement biasa. Pengadaan sosial, menurut Febe, mengacu pada proses pengadaan yang mempertimbangkan aspek dampak sosial dari proses pengadaan yang dilakukan. Hal ini bisa dikaitkan dengan dampak sosial berkelanjutan yang ingin dibuat. Misalnya, terkait tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) ke-8 yaitu mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua.

 

“Jika ini ingin diwujudkan melalui social procurement dan secara khusus menyasar teman-teman penyandang disabilitas, berarti salah satu bentuknya bisa berupa pengadaan barang dan jasa melalui usaha sosial yang memang dengan sengaja mengkaryakan atau bermitra dengan teman-teman disabilitas untuk menghasilkan produk yang dicari tersebut,” papar Febe.

 

Dalam penelitian ini, Febe menemukan fakta bahwa banyak usaha sosial yang terhambat dalam menyalurkan produk mereka secara business to business (B-to-B).

 

“Maksudnya, menyalurkan produk kepada teman-teman pelaku bisnis lainnya (perusahaan), juga kepada pemerintah. Umumnya karena proses pengadaan atau procurement yang berjalan sekarang pada umumnya masih mengusung prinsip value-for-money, yang menitikberatkan pada aspek harga atau biaya dan kualitas,” terang Febe. 

 

Ada pula yang menonjolkan aspek rekam jejak. Faktor penilaian ini tentu kurang berpihak pada usaha sosial yang baru merintis bisnis. Artinya, aspek dampak sosial belum menjadi pertimbangan.

 

Febe juga sempat mewawancarai sebuah perusahaan yang sudah melakukan pengadaan sosial. Dari wawancara itu ditemukan, banyak perusahaan yang mencari cara untuk menciptakan dampak sosial lewat rantai suplai merek. Tapi, mereka masih kesulitan mencari data tentang keberadaan usaha sosial dan produknya.

 

Menurut Febe, social procurement platform bisa membantu perusahaan yang ingin membuat dampak sosial dengan membeli barang dan jasa dari usaha sosial dalam proses pengadaan mereka.

 

 

Peran Pemerintah dalam Pengadaan Sosial                   

Tahun lalu, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) merumuskan aturan pengadaan barang/jasa Pemerintah yang baru melalui Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah. Ini menggantikan Perpres No. 54 Tahun 2010 beserta perubahannya.

 

“Langkah ini patut diapresiasi karena di Perpres yang baru ini. Pada Pasal 68 disebutkan pengadaan barang dan jasa perlu memperhatikan aspek berkelanjutan yang meliputi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan,” kata Febe.

 

Namun, Febe menilai itu belum cukup untuk mendukung penerapan pengadaan sosial.  Febe menyebut ada beberapa tahapan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengembangkan pengadaan sosial.

 

Pertama, membuat kebijakan dan kerangka kerja pengadaan sosial yang mencakup kapan dan bagaimana pengadaan sosial bisa diterapkan. Selanjutnya, perlu mengidentifikasi pengadaan di bidang apa saja yang bisa dijadikan pengadaan sosial sesuai target area pembangunan pemerintah saat ini, termasuk  sektor industri yang bisa banyak melibatkan usaha sosial.

 

Kedua, memberi ruang bagi usaha sosial. Artinya, pemerintah perlu mengatur  cakupan usaha sosial dan memberikan dukungan-dukungan yang diperlukan untuk mengembangkan kualitas serta kapasitas mereka.

 

“Di beberapa negara, upaya yang berjalan mencakup sertifikasi usaha sosial untuk memberikan kredibilitas. Upaya ini juga termasuk membuat social procurement platform (platform pengadaan sosial) yang bisa diakses pemerintah maupun swasta, dan ini pun dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga non-pemerintah pendukung usaha sosial,” kata Febe.

 

Ketiga, membangun budaya pengadaan sosial. Tahapan ini bisa dilakukan melalui sosialisasi tentang pentingnya pengadaan sosial dan penerapannya kepada pelaku-pelaku pengadaan. Pemerintah juga perlu mencari champion untuk mendorong perubahan dari dalam dan mendokumentasikan praktik baik.

 

Langkah Usaha Sosial Menyambut Social Procurement

Jika pemerintah dengan dukungan perusahaan swasta mulai membangun pengadaan sosial, usaha sosial juga perlu menyiapkan diri.  Usaha sosial harus terus mengawal dampak sosial yang mereka ingin buat melalui bisnis yang jujur dan profesional. Menurut Febe, saat ini istilah usaha sosial terdengar makin seksi sehingga banyak yang melabeli usaha mereka dengan usaha sosial. Penyebabnya lantaran belum ada aturan yang jelas di Indonesia.

 

“Jadi, usaha-usaha yang memang sedari awal sungguh-sungguh berdiri dengan semangat membuat dampak sosial itu tadi, perlu memastikan keberlanjutan dan keberlangsungan dampak sosial itu,” kata Febe.

 

Selanjutnya, bukan hanya dampak sosial saja yang mereka perlu jaga, tapi juga perlu memastikan keberlangsungan usaha. Usaha sosial perlu menjaga kualitas produk barang dan layanannya.

 

“Ini pasti akan membuat pelaku usaha atau pemerintah yang melakukan pengadaan yakin akan terciptanya dampak sosial melalui social procurement yang mereka lakukan,” tambah Febe.

 

Febe memaparkan karyanya dalam Sesi Ideas and Innovations Marketplace: Co-creating and Collaborating pada ajang Indonesia Development Forum (IDF) 2019, 22 Juli 2019. Paparan Febe menjadi bagian dari Sub-tema 6 IDF 2019, Membina Para Pelaku Usaha Sosial, khususnya terkait strategi untuk menciptakan ekosistem pendukung, termasuk lingkungan kebijakan dan regulasi untuk mendorong pertumbuhan usaha sosial. Sub-tema 6 merangkai tema besar IDF 2019: Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”. 

 

 

 


--> -->