Pembicara Terpilih IDF 2019: Alwin Adityo Belajar Cara Agresif Vietnam Tarik Investasi Asing

October 23, 2019

Alwin Adityo

Indonesia perlu belajar dari Vietnam yang menerapkan perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) secara agresif sehingga mampu menarik investasi asing atau Foreign Direct Investment lebih banyak. Pembicara terpilih IDF 2019, Alwin Adityo menyimpulkan hal ini dalam karyanya yang berjudul Igniting Foreign Direct Investment (FDI) in Indonesia through Free Trade Agreements (FTA): Learning from Vietnam’s Experience.

“Sebanyak 33 perusahaan hengkang dari Cina, sebanyak 23 pindah ke Vietnam, dan 10 negara lainnya, jadi milik Malaysia, Kamboja, dan Thailand. Tak ada yang pilih Indonesia,” lanjut Alwin.

Alwin menjadi anggota Tim Perunding Indonesia dalam perundingan perdagangan jasa keuangan FTA yang diikuti oleh Indonesia, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan perundingan bilateral dengan Australia dan Uni Eropa (UE). Latar belakang pekerjaannya ini turut mendorong Alwin menampilkan penelitian tentang keunggulan FTA di Vietnam yang mampu mendorong investasi asing di negara itu.

“Khususnya saat ini, kita bisa melihat banyak perusahaan yang relokasi dari Cina ke Vietnam akibat perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat,” kata Alwin yang merupakan Peneliti di Divisi Perbankan Internasional, Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Presiden Joko Widodo turut menyoroti laporan Bank Dunia yang mencatat kekalahan Indonesia dalam menarik investasi asing, khususnya dari Cina dan Jepang. Seperti dikutip dari Katadata, Jokowi menyatakan kecewa karena minat investasi masih sepi, khususnya dari Tiongkok dan Jepang.

 

FTA Vietnam yang Agresif

Alwin menyebut Vietnam Agresif dalam membuat perjanjian WTO.  Indikatornya menurut Alwin antara lain, pertama, meski baru menjadi anggota WTO pada 2007, Vietnam bergerak cepat membuat berbagai perjanjian perdagangan. Vietnam menjadi satu-satunya negara di ASEAN, selain Singapura, yang menikmati akses istimewa ke pasar Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Preferensi FTA ini dapat dianggap sebagai faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Vietnam dan menempatkan negara itu sebagai pusat untuk manufaktur yang berorientasi ekspor.

Kedua terkait FTA dengan high quality.  Alwin menjabarkan hal tersebut sebagai perjanjian perdagangan bebas dengan cakupan disiplin dan negosiasi yang lebih luas.  

“Vietnam memiliki FTA yang high quality dengan negara-negara yang bisa memudahkan ekspornya, dan itu membuat investor tertarik,” kata Alwin.

Salah satu FTA dengan high quality, adalah Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP). Para investor melihat, investasi ke Vietnam akan membuat mereka mudah mengekspor ke negara yang tergabung dalam CPTPP. Ongkosnya jauh lebih murah dibanding ekspor dari Indonesia. CPTPP menaungi sejumlah negara tujuan strategis ekspor dalam Uni Eropa dan Benua Amerika, seperti Chile, Kanada, dan Meksiko.

“Kementerian Perencanaan dan Investasi Vietnam memperkirakan bahwa CPTPP dapat meningkatkan PDB Vietnam sebesar 1,3 poin persentase dan ekspor sebesar 4,0 poin persentase pada 2035, dan menghasilkan 20.000-26.000 pekerjaan setiap tahun,” jelas Alwin lagi.

Lalu bagaimana FTA mampu menarik investasi? Alwin menyebut dua hal. Pertama, manfaat ekonomi. FTA dapat menurunkan tarif ekspor barang dari negara A ke negara B, sehingga biaya lebih murah. Selain itu, FTA akan mengurangi hambatan akses pasar dan perlakuan diskriminatif dari pemain lokal di negara tujuan ekspor. Dengan begitu akan sangat menguntungkan investor berorientasi ekspor. Kedua, FTA bisa memberikan kepastian hukum bagi investor.

“Investasi yang ada di suatu negara membutuhkan dana besar untuk menanam modal sehingga perlu jaminan agar tidak ada hal-hal yang merugikan mereka di kemudian hari. Misalnya, adanya pergantian kebijakan yang berbeda yang berimbas pada nasionalisasi,” terang Alwin lagi.

Menurut Alwin, FTA, terutama untuk perjanjian high quality, memungkinkan adanya jaminan perlindungan tersebut. 

Indonesia Perlu Memetakan Diri Lebih Dulu

Alwin mengatakan Indonesia memang perlu belajar dari Vietnam untuk menarik investasi dengan memanfaatkan FTA. Namun Indonesia perlu juga mempertimbangkan kepentingan nasional jika ingin mengikuti cara Vietnam.

“Perlu dipetakan sektor mana saja yang kita siap untuk kita buka ke asing, sektor mana saja yang masih perlu perlindungan untuk hanya para pemain domestik,” lanjutnya.

Beberapa pertimbangannya adalah dengan mencari sektor berbiaya investasi besar yang sulit atau kurang diminati oleh pemodal dalam negeri. Paling penting, mampu memberikan multiplier effect ekonomi yang tinggi. Ia mencontohkan sektor konstruksi, apalagi saat ini infrastruktur masih menjadi prioritas pembangunan Indonesia. Sektor ini perlu dana besar yang mungkin tidak cukup didanai hanya oleh investor domestik.

“Nah, dalam prosesnya akan melibatkan sektor jasa keuangan untuk memfasilitasi pembiayaan proyek tersebut. Artinya ada efek berganda ke sektor Jasa Keuangan,” kata Alwin.

Menurut Alwin, Indonesia juga perlu cermat jika ingin terikat dalam FTA dengan high quality. Keterlibatan dengan CPTPP memiliki banyak konsekuensi. Alwin menilai kemungkinan keterikatan FTA ini perlu didalami oleh kementerian dan lembaga terkait.

“Karena begitu terikat, Indonesia tidak bisa mundur lagi,” tambahnya.

Paparan Alwin disampaikan dalam sesi Improving the Investment Climate for Employment Creation dalam ajang Indonesia Development Forum (IDF) 2019 pada 22 Juli. Paparan ini mengembangkan Sub-Tema 4 Memperbaiki Iklim Investasi untuk Penciptaan Lapangan Kerja, sebagai bagian dari Tema besar IDF 2019, “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerjaan Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif”.

 


--> -->