• firdaus cahyadi
    firdaus cahyadi
    Firdaus Cahyadi dilahirkan di Kecamatan Barat, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, 23 Mei. Anak ke-6 dari enam bersaudara ini tumbuh dan besar di Magetan dan Surabaya. Pada tahun 1994 melanjutkan kuliah di Fakultas Teknologi Industri (FTI) Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Namun tidak selesai. Tahun 1996 melanjutkan kuliah di Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) Universitas Hang Tuah Surabaya dengan beasiswa. Mulai aktif dalam kegiatan jurnalistik dan gerakan mahasiswa sejak duduk di bangku kuliah. Pada tahun 1996 mulai aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pada tahun 1998-1999 dipercaya menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknologi Kelautan, Universitas Hang Tuah, Surabaya. Di tahun 1998…
Ideas

Praktik Cerdas Pemda Bojonegoro Melawan Kutukan Sumberdaya Alam

2018

Bojonegoro adalah nama yang tak asing lagi di telinga kita, warga Indonesia. Betapa tidak, kabupaten itu memiliki banyak sekali potensi ekonomi, mulai dari wisata alam hingga sumber daya alam.

Salah satu potensi sumberdaya alam itu adalah minyak dan gas (migas). Seperti ditulis di website Kabupaten Bojonegoro[1], kawasan ini diperkirakan memiliki cadangan minyak mencapai 600 juta – 1,4 milyar barel. Sementara cadangan gas sekitar  1,7 – 2 triliun kaki kubik. Angka tersebut merupakan jumlah perkiraan terbesar di Indonesia yang berada di blok cepu yang dieksploitasi oleh Exxon Mobil.

Bukan hanya itu, terdapat JOB PPEJ (Petrochina – Pertamina) yang mengelola lapangan Sukowati dengan produksi rata-rata 3 juta barel/tahun. Juga terdapat lapangan Tiung biru yang masih dalam tahap eksplorasi oleh Pertamina EP dengan potensi gas yang diduga cukup besar dan mampu memberikan tambahan produksi gas 250 juta kaki kubik per hari. Dengan potensi migas yang cukup besar tersebut maka diperkirakan mampu menyumbang 20 % produksi nasional.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana kondisi masyarakat Bojonegoro dengan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah itu? Pertanyaan itu muncul, karena biasanya daerah yang memiliki sumberdaya alam melimpah justru masyarakatnya miskin. Ditambah lagi dengan rusaknya lingkungan hidup. Di sisi lain, migas adalah sumberdaya alam yang tidak terbarukan.

Perpaduan antara kemiskinan, lingkungan hidup yang rusak dan sumberdaya alam yang tidak terbarukan itu sering diistilahkan sebagai kutukan sumberdaya alam. Bagaimana Pemda Bojonegoro melawan kutukan sumberdaya alam yang sering terjadi di daerah yang kaya sumberdaya alam?

“Di Bojonegoro, skema bagi hasil dana migas difokuskan pada investasi di sektor sumberdaya manusia,” ujar Dakelan, Koordinator FITRA Jawa Timur dalam wawancara dengan SatuDunia, Selasa (22/8), “Investasi di sektor sumberdaya manusia itu antara lain di pendidikan, kesehatan dan pengembangan ketrampilan warga.

Pertengahan tahun ini FITRA Jawa Timur dan Publish What You Pay Indonesia bekerjasama untuk melakukan studi mengenai skema dan efektifitas dana abadi migas bagi pembangunan di daerah. Dana bagi hasil migas di Bojonegoro, menurut Dakelan, dialokasikan untuk membiayai program Desa Sehat dan Desa Cerdas.

“Kontribusi dana bagi hasil migas ke program itu mencapai 15%,” ujarnya, “Dengan fokus kepada investasi sumberdaya manusia itulah, kutukan sumberdaya alam dapat diatasi.”

Tahun 2009, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro membuat kebijakan inovatif dengan mengalokasikan 12,5 persen dari Dana Bagi Hasil (DBH) Migas untuk desa-desa se-Kabupaten Bojonegoro. Tak lama berselang, muncul peraturan bupati untuk memperpanjang manfaat DBH bagi masyarakat dengan membentuk dana abadi yang berfungsi untuk mengantisipasi apabila DBH yang diperoleh Bojonegoro tidak lagi cukup untuk membiayai pembangunan atau bila potensi migas di Bojonegoro sudah habis.

’’Fokus dana abadi ini hanya untuk pembangunan kualitas manusia. Kami sudah menyiapkan 1.200 pelatihan tenaga kerja tahun 2015,’’ ujar Bupati Bojonegoro Suyoto[2].

Pertanyaannya kemudian adalah kenapa Pemda Bojonegoro fokus pada investasi sumberdaya manusia di desa untuk mengatasi kutukan sumber daya alam? Untuk mengurangi kemiskinan, menurut Bupati Bojonegoro Suyoto[3], diperlukan ketepatan data dan identifikasi masalah sehingga kebijakannya tepat sasaran.

“Pemerintah desa yang paling dekat untuk memotret kondisi-kondisi tersebut,” ungkap Bupati Suyoto, “Selain itu, desa memiliki otonomi namun tidak semua aparatur desa menggunakan dengan baik kewenangan atas otonomi tersebut, sehingga perlu dilakukan penguatan termasuk dalam pengetasan kemiskinan.”

Lantas, bagaimana dengan pengawasan penggunaan dana itu di tingkat desa? Mengenai pengawasan dana abadi, menurut Sekretaris Daerah (Sekda) Pemkab Bojonegoro Soehadi Mulyono, akan dilakukan wali amanah di setiap desa yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat dengan masa tugas tiga tahun berdasarkan keputusan Bupati Bojonegoro[4].

Wali Amanah Desa terdiri dari tokoh masyarakat, guru, akademisi dan orang-orang yang dipercaya. Wali Amanah Desa ini nantinya akan mengawasi seluruh implementasi program atau kegiatan yang ada di desa[5].

Perubahan paradigma dari sumber daya alam ke sumber daya manusia. Mungkin adalah kalimat kunci yang dapat menggambarkan praktik cerdas Kabupaten Bojonegoro dalam melawan kutukan sumberdaya alam. Sementara, untuk menghindari penyalahgunaan dana tersebut dibangunlah sebuah kelembagaan pengawasan yang melibatkan berbagai pihak. Sehingga konflik kepentingan dapat diminimalisir.

 


[3] Presentasi Bupati Bojonegoro Suyoto, “Akselerasi Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro.” Disampaikan dalam acara Konferensi Nasional Satu Dekade Perkumpulan Prakarsa, 2014. http://theprakarsa.org/new/ck_uploads/files/Materi%20Helmy%20Elisabeth%20-%20PRESENTASI%20AKSELERASI%20KEMISKINAN.pdf

[5] Presentasi Bupati Bojonegoro Suyoto, “Akselerasi Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro.” Disampaikan dalam acara Konferensi Nasional Satu Dekade Perkumpulan Prakarsa, 2014. http://theprakarsa.org/new/ck_uploads/files/Materi%20Helmy%20Elisabeth%20-%20PRESENTASI%20AKSELERASI%20KEMISKINAN.pdf


Komentar
--> -->