• Admin Dashboard
Ideas

Pasar Kerja Inklusif, Mungkinkah?

2018
Pasar Kerja Inklusif, Mungkinkah?

Penyandang disabilitas yang tergabung dalam Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Makassar mendapatkan pelatihan olah raga basket menggunakan kursi roda, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (17/1). Kegiatan yang di prakarsai HWDI bekerjasama dengan Bali Sports Foundation tersebut untuk mengkampanyekan sejumlah olahraga yang dapat di lakukan juga oleh penyandang disabilitas guna menjaga kesehatan serta menjadi sarana rekreasi serta penyaluran minat dan bakat mereka. ANTARA FOTO/Dewi Fajriani/foc/17.

Tubuhnya mengecil, otot kaki dan panggulnya melemah karena penyakit becker muscular dystrophy sehingga memaksanya harus duduk di kursi roda sejak kecil. Namun, siapa sangka, laki-laki 30 tahun ini mempunyai penghasilan  rata-rata mencapai 2000 dollar AS per bulan atau setara Rp 27, 1 juta? Dialah Habibie Afsyah pengusaha muda di bidang online marketing.

“Aku memilih dunia internet marketing karena basic-nya sudah terbiasa dengan komputer dan internet,” kata Habibie seperti yang dilansir dari Kompas.com, 30 November 2017.

Habibie memulai bisnisnya di tahun 2007, setelah menyelesaikan kursus marketing tingkat lanjut di Singapura. Dari situlah, dia berhasil mendapatkan honor pertama setelah berhasil menjual game PlayStation 3 senilai 24 dolllar AS. Menginjak tahun 2010, dia mulai merambah Google AdSense selain masih fokus pada toko daringnya.

Kisah sukses Habibie ini menunjukan bahwa kondisi disabilitas ternyata tak membatasi orang untuk berkarya, bahkan mempunyai hasil kerja yang lebih besar dari pada orang kebanyakan.  Tenaga Ahli Bidang Disabilitas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Marthella Rivera Sirait mengatakan setiap penyandang disabilitas mampu bekerja sesuai dengan keunikan masing-masing.

“Disabilitas fisik misalnya, mempunyai kemampuan sensorik yang baik sehingga hampir bisa melalukan semua pekerjaan,” kata Thella saat di acara diskusi bertajuk Disability Doesn’t Mean Inability, Senin, pertengahan Mei lalu.

Thella menuturkan contoh pekerjaan untuk disabilitas fisik mulai dari produksi konveksi, admin, pengajar, call center, bahakn servis elektronik. Sedangkan disabilitas netra yang biasanya mempunyai kemampuan mengingat dan komunikasi yang baik, bisa bekerja di bidang telemarketing, terapis, customer, penulis, bahkan hingga pengajar.

Kelompok tuli, menurut Thella, banyak yang bekerja menjadi analis keuangan, desainer, IT, online marketing, karena kemampuan visual yang baik serta mempunyai konsentrasi tinggi. Disabilitas intelektual mempunyai daya tahan yang tinggi untuk melakukan pekerjaan repetitif sehingga cocok bekerja di bidang pengemasan dan tenaga kebersihan. Sementara disabilitas mental yang ternyata tidak membutuhkan modifikasi aksesbilitas selama kondisinya dalam keadaan mendukung bisa bekerja secara individu seperti seniman, animator, teknisi, dan lain-lain.

Jadi, Thella, mengatakan para penyandang disabilitas tak perlu khawatir mendapatkan pekerjaan asal tahu kemampuan dan percaya diri. Apalagi, ujarnya, pemerintah telah menjamin hak penyandang disabilitas bekerja dalam UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan UU Ketenagakerjaan.

“Pemerintah, BUMN, dan BUMD wajib mempekerjakan minimal 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pekerja, sedangkan perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah pekerja,” kata Thella.

Pendapat Thella ini diamini oleh aktivis tuli Surya Sahetapy. Dia mengatakan pekerjaan yang cocok bagi penyandang disabilitas tergantung kemampuannya. Misalnya jika penyandang tersebut sarjana akuntansi, maka dia bisa menjadi akuntan perusahaan. Namun yang terpenting adalah akses lingkungan kerja yang  mendukung penyandang disabilitas.

Sayangnya, ujar Surya, banyak perusahaan yang tidak bisa menerima penyandang disabilitas atau takut karyawannya tak mampu memenuhi target. Penyebabnya karena perusahaan-perusahaan tersebut kurang edukasi bahwa penyandang disabilitas bisa bekerja layaknya orang biasa asal aksesnya inklusif.

Mengatasi hal ini, konsultan pendidikan sekaligus aktivis netra Mimi Mariani Lusli mengatakan agar penyandang disabilitas tidak ragu untuk menyatakan kebutuhannya kepada perusahaan. Akses untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif tak perlu baru, cukup dimodifikasi sehingga bisa digunakan penyandang disabilitas. Misalnya meja kantor yang diubah agar pengguna kursi roda bisa bekerja.

Pemahaman mengenai inklusifitas inilah, menurut Mimi, bukan sekadar kemudahan atau fasilitas yang diberikan oleh perusahaan tetapi juga tidak distigmatisasi oleh atasan atau pekerja lain. Penyandang disabilitas sering kali dipandang sebelah mata karena dianggap menjadi beban perusahaan.

“Padahal sama saja, disabel telat kerja, yang lain juga pernah. Jangan terus dibilang mereka tak tahu terima kasih, sudah diberi pekerjaan malah malas. Tegur saja langsung, ‘karena kamu telat tiga hari jadi gaji dipotong sekian’,” kata Mimi.

Masalah lain, menurut Tenaga Ahli Bappenas Marthella Sirait, banyak perusahaan yang masih ragu karena takut penyediaan akses fasilitas menghabiskan biaya yang banyak. Solusinya, ujar dia, penyandang disabilitas harus berani mengkomunikasikan dan mencari solusi tengah yang tepat.

Thella memberi contoh  kisah rekannya, penyandang disabilitas fisik yang berprofesi sebagai penulis, kesulitan menaiki tangga karena gedung tempat bekerja tiada elevator. Kemudian penyandang tersebut bernegosiasi untuk menunaikan kewajiban melebihi target yang diberikan asal dibolehkan bekerja di rumah. Perusahaan menyetujui karena solusi ini menguntungkan kedua belah pihak.

Pada akhirnya, disabilitas merupakan bagian dari keragaman tenaga kerja. Kalau perusahaan sudah menerima, pasar kerja disabilitas akan semakin terbuka luas dan kesenjangan ekonomi antara disabilitas dan non-disabilitas bisa diatasi.

Solusi-solusi kesenjangan ekonomi antarindividu dan antarwilayah inilah yang selalu dibicarakan di Indonesia Development Forum. Di tahun 2018, IDF mengambil tema ‘Pathways to Tackle Regional Disparities Across The Archipelago’. IDF 2018  digagas oleh Bappenas dan didukung oleh Pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Initiative dengan tujuan mendukung percepatan pembangunan di Indonesia yang lebih merata dan berkelanjutan berbasiskan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan fakta. **


Komentar
--> -->