• Admin Dashboard
Ideas

PEKKA: Perempuan Kepala Keluarga Miskin Karena Stigma

2018
PEKKA: Perempuan Kepala Keluarga Miskin Karena Stigma

Direktur Pemberdayan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Nani Zulminarni. Dokumen pribadi

Muhae, janda 29 tahun dari Desa Dasan Geres, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Mantan suaminya menikah dengan perempuan lain dan pergi tanpa kabar. Sejak itu, dia mencari nafkah, mengurusi rumah, dan membesarkan anak-anaknya sendirian yang mulai menginjak usia sekolah.

Meski hidup susah dan kerja serabutan, bukan berarti Muhae mengabaikan permasalahan orang lain. Dia terbiasa membantu warga dusunnya membuat Kartu Keluarga dan KTP. Di tempat dia tinggal, banyak lansia yang tidak punya data kependudukan. Para lansia inilah yang dibantu oleh Muhae tanpa pamrih. Dari sinilah, Muhae ditawari menjadi tenaga survei Badan Pusat Statistik.

Tugas Muhae adalah mendata warga yang tidak mampu dari pintu ke pintu dan mengecek dokumen mulai kartu identitas hingga perlindungan sosial dari pusat dan daerah. Saat mendata, Muhae menemukan banyak keluarga miskin yang selama ini belum mendapat bantuan. Bila dusun lain rata-rata hanya mendapat tambahan bantuan lima keluarga, Muhae membuat data tambahan sekitar 30 keluarga.    

“Jika Bapak tidak percaya, silakan Bapak PCL (pendamping pendata) turun ke dusun tersebut dan cek langsung ke masyarakat,” ujar Muhae seperti yang dikutip dari Laporan Tahunan Pekka 2015.

Salah satu tetangga Muhae mengatakan dia dipilih karena sangat teliti saat mendata. Dia tidak akan memasukkan data saudaranya yang kaya untuk mendapatkan kartu bantuan.  Dari honornya sebagai tenaga survei, Muhae mengantongi modal untuk membuka toko sembako.

Kisah Muhae ini merupakan salah satu contoh bahwa perempuan yang memegang beban sebagai kepala keluarga seharusnya dilibatkan dalam upaya mengatasi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Menurut Direktur Pemberdayan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Nani Zulminarni selama ini perempuan kepala keluarga masih menjadi objek dalam pembangunan.

Nani mengatakan penting bagi pemerintah untuk menjadikan perempuan kepala keluarga sebagai subjek pembangunan karena merekalah salah satu elemen yang berada pada kerak kemiskinan. Berdasarkan penelitian PEKKA, satu dari empat keluarga di Indonesia dikepalai oleh perempuan. Sedangkan sebanyak 70 persen keluarga yang dikepalai oleh perempuan berkubang pada kemiskinan. Bisa disimpulkan mayoritas kemiskinan di Indonesia berasal dari keluarga  yang beban hidupnya ditanggung perempuan.

“Jadi kalau pemerintah mau menyelesaikan masalah kemiskinan, kelompok ini yang harus diurus dengan maksimal melalui pendekatan afirmasi,” kata Nani ketika ditemui pertengahan Mei lalu.

Ada dua hal kebijakan afirmatif yang ditujukan kepada perempuan kepala keluarga. Pertama, ujar Nani, mereka harus diorganisasi dengan program-program khusus sesuai kebutuhan mereka. Misalnya dengan program pemberdayaan di bidang ekonomi, pemberian legalitas status, bentuk pelatihan lain.

Kedua, perlindungan terhadap segala kegiatan ekonomi mereka. Misalnya, pasar tempat perempuan kepala keluarga mencari nafkah tidak boleh dimasuki oleh kompetitor yang lebih besar atau kuat. Perempuan kepala keluarga juga mendapatkan perlindungan dan kemudahan mengakses jaminan kesehatan, pembiayaan, administrasi kependudukan dan lain-lain.

Kesenjangan akses yang sering kali diterima oleh perempuan kepala keluarga mesti diatasi.  Salah satu ikhtiar mengatasi kesenjangan antarwilayah dan antarindividu ialah melalui Indonesia Development Forum 2018 yang bertema ‘Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago'. Forum ini merupakan upaya bersama yang digagas oleh Bappenas dan didukung pemerintah Australia melalui Knowledge Sector Initiative (KSI) untuk menemukan solusi lewat kebijakan pembangunan berbasis ilmu pengetahuan, pengalaman, dan fakta.

Terbentur Steoreotipe Kepala Keluarga

Ada tujuh kategori perempuan kepala keluarga berdasarkan definisi yang dibuat oleh PEKKA. Kategori tersebut antara lain janda mati, janda cerai, istri yang ditinggal pergi suaminya, perempuan yang punya anak tapi tak menikah, istri yang suaminya sakit sehingga tak  bisa bekerja, atau perempuan yang mempunyai suami yang tak bisa menunaikan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, dan anak perempuan yang harus menanggung beban keluarganya. Kebanyakan dari mereka tak dicantumkan sebagai kepala keluarga di KK meski menjadi tulang punggung utama.

Sejak ada Undang-Undang Administrasi Kependudukan 2006, perempuan bisa disebut sebagai kepala keluarga secara legal formal. Perempuan bisa memperoleh kartu keluarga sendiri tanpa harus bergabung dengan orang tua atau mantan suami sehingga bisa mengakses pelayanan dasar yang diberikan oleh pemerintah. Nyatanya secara kultural, perempuan kepala keluarga tetap tak dianggap di masyarakat.

“Mereka tak diajak ke rapat RT atau musyawarah desa karena pandangan masyarakat bahwa kepala keluarga itu pasti laki-laki,” ujar  Nani.

Alhasil, banyak keputusan di masyarakat yang tak berperspektif perempuan. Para perempuan ini mempunyai beban berlipat-lipat sendirian, mulai mencari mencari nafkah hingga membesarkan anak. Bahkan di Indonesia timur, tutur Nani, banyak perempuan yang harus menanggung beban adat mengurus keluarga suami meski pasangannya pergi tanpa memberi nafkah cukup. Belum lagi mereka harus mendapatkan stigma buruk dari masyarakat sekitar.

“Kalau janda itu buruk, atau perawan tua, padahal merekalah yang menghidupi keluarga” kata Nani.

Untuk itulah, Nani berharap adanya kerja bersama antara pemerintah, tokoh masyarakat, dan sistem sosial kultural saat menuntaskan kemiskinan perempuan kepala keluarga.***


Komentar
--> -->