• Ari Wibowo
    Ari Wibowo
    Place & DOB : Bangka 19-01-1992 Gender : Male Religion : Islam Nationality : Indonesia Education: Master Degree in Economic Planning and Public Policy, UNIVERSITY OF INDONESIA, Jakarta
Ideas

Koperasi Pertanian: Mendorong Pertumbuhan Inklusif

2019
Koperasi Pertanian: Mendorong Pertumbuhan Inklusif

Gaung koperasi di Indonesia saat ini tidak begitu populer terdengar bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan non-koperasi. Kontribusi koperasi dalam perekonomian Indonesia juga sangat kecil sekali hanya sekitar 1,9% terhadap PDB (BPS, 2014). Padahal, konstitusi kita mengamanatkan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (UUD 1945 pasal 33 ayat 1). Namun amanat UUD tersebut seperti tak terealisasi. Pemanfaatan koperasi sebagai usaha untuk mendorong perekonomian yang berkeadilan dan inklusif tidak terjadi. Dengan melihat indeks koefisien gini beberapa tahun terakhir yang berada pada angka rata-rata 0,41 mengindikasikan bahwa di Indonesia masih terjadi kesenjangan pendapatan yang cukup tinggi.

Dibanyak negara-negara maju yang memiliki usaha berbasis koperasi, terutama koperasi pertanian (agriculture co-operatives), indeks koefisien gininya cukup rendah bila dibandingkan dengan Indonesia. Negara-negara seperti Perancis, koefisien gininya berada pada angka 0,33, Denmark 0,29, Jerman 0,3, Korea 0,3 dan Jepang 0,37 (World Bank, 2011).

Di negara-negara tersebut, koperasi pertanian cukup mendominasi. Di Perancis misalnya, 3 koperasi terbesar masuk kedalam 20 besar koperasi pertanian terbesar di UE dilihat dari omset tahunannya. Sedangkan di Denmark, 2 koperasi pertaniannya juga masuk kedalam 20 koperasi terbesar di UE dan mempunyai pangsa pasar konsumen sekitar 37%. Tidak hanya di negara-negara barat, ternyata koperasi pertanian juga memiliki cerita sukses di Asia seperti yang terjadi di Jepang dan Korea Selatan. Dua koperasi Jepang, Zen Noh dan Zenkroyen, merupakan koperasi terbesar di dunia dengan nilai omset masing-masing USD 56,99 Milliar atau sekitar Rp 672 Trilliun dan USD 52,33 Milliar atau sekitar Rp 617 Trilliun. Sedangkan koperasi pertanian Korea (National Agriculture Cooperative Federation), mempunyai omset USD 32,39 Miliar atau setara dengan ± Rp 382 Trilliun (Global300 Report, 2010). Nilai tersebut bahkan lebih besar dari omset BUMN dan Perusahaan non-koperasi kelas atas Indonesia seperti Telkom (Rp 68T), BRI (Rp 50T), Mandiri (Rp 43T), Indofood (Rp 38T), Gudang Garam (Rp 37T) dan BCA (Rp 28T). Bahkan di negara kapitalis seperti Amerika, koperasi pertaniannya mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar non-koperasi dengan.total aset mencapai USD 88,2 Milliar atau setara ± Rp.1150 Trilliun (USDA, 2015).

Dilihat dari kapitalisasinya saja, koperasi-koperasi tersebut mampu memberikan kontribusi nyata dalam perekonomian di negara-negara tersebut seperti penciptaan lapangan kerja disektor pertanian, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, menciptakan kesejahteraan bersama, dan mendorong pertumbuhan inklusif. Artinya, peran besar koperasi sebagai soko guru perekonomian sangat tercapai. Persoalannya adalah mengapa koperasi bisa berkembang di negara-negara yang notabenenya adalah kapitalis namun tidak berkembang di negara Pancasilais seperti Indonesia? Apa solusi dan langkah-langkah yang harus dilakukan agar koperasi pertanian dapat menjadi solusi atas permasalahan ekonomi petani dan solusi atas ketimpangan serta penciptaan lapangan pekerjaan di Indonesia kedepan?

Perkembangan sektor pertanian di Indonesia terutama yang terkait dengan isu ketahanan pangan dan nasib Rumah Tangga Petani cukup memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Persoalan ketahanan pangan selama ini masih menjadi isu sentral di sektor pertanian. Indonesia telah menjadi negara importir bahan pangan yang cukup banyak jumlahnya (29 jenis) dengan total impor mencapai Rp 104,9 Trilliun pada 2013 (BPS). Ironis sekali, padahal Indonesia adalah negara agraris dengan lahan pertanian yang sangat luas. Isu lain yaitu yang terkait langsung dengan petani dimana nasib petani di Indonesia bisa dikatakan tidak semujur nasib petani di negara-negara seperti Jepang, Korea, Amerika, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya yang memiliki pendapatan tinggi dan tak kalah dengan pekerja di sektor industri maupun jasa. Di Indonesia pendapatan petani terbilang sangat rendah sehingga terjadilah apa yang disebut dengan ketimpangan. Pendapatan per kapita pengusaha pertanian dan buruh tani misalnya, hanya sebesar Rp 11,4 Juta dan Rp 6Juta per tahun (BPS, 2008). Sangat berbeda jauh dengan orang yang bekerja disektor jasa yang ada di perkotaan. Inilah yang salah satu faktor penyebab terjadinya ketimpangan cukup tajam seperti yang dilaporkan oleh Oxfam dalam risetnya beberapa waktu yang lalu. Sementara untuk persoalan ketenagakerjaan juga memiliki banyak tantangan terutama untuk penyediaan lapangan pekerjaan dalam menyongsong bonus demografi pada tahun 2030 mendatang. Bonus demografi akan memberikan keuntungan yang besar bagi Indonesia jika dan hanya jika lapangan pekerjaan yang tersedia cukup banyak, sementara jika lapangan pekerjaan tidak cukup tersedia maka akan berpotensi menjadi bumerang bagi Indonesia.

Lalu bagaimana dan apa langkah untuk mewujudkan koperasi agar menjadi solusi atas permasalahan ketahanan pangan, ketimpangan, dan lapangan pekerjaan diatas? Maka jawabannya adalah harus menumbuhkan dan meningkatkan peran koperasi di sektor pertanian. Rekomendasi kebijakannya adalah Pendidikan dan Pelatihan tentang Koperasi. Pendidikan yang baik akan menciptakan SDM yang berkualitas sehingga sistem akan berjalan dengan baik. Beberapa langkah yang dapat dilakukan; pertama, pendidikan tentang koperasi harus diajarkan di sekolah-sekolah dengan kurikulum yang komrehensif dan sistemik dari mulai sekolah menengah sampai kepada sekolah tinggi. Tidak hanya sekolah-sekolah pertanian dan bisnis tapi juga sekolah umum. Kedua, mengintensifkan pelatihan-pelatihan kepada kalangan masyarakat (petani dan pengusaha kecil dan menengah) serta kepada para jajaran managemen dan pegawai koperasi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (skill) para pegawai. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada saat ini, edukasi dan pelatihan koperasi sangat mungkin dilakukan dalam skala yang massif.

Selanjutnya adalah peran pemerintah memberikan pendampingan dan kemudahan permodalan serta dukungan regulasi yang berkualitas. Tentu ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah, namun tahapan awal yang menjadi prioritas adalah bagaimana agar pemerintah dapat memfasilitasi dan memberikan kemudahan-kemudahan bagi tumbuhnya semangat dan keinginan masyarakat bergabung dalam koperasi. Dukungan regulasi, edukasi, pelatihan manajerial, bantuan permodalan, dan pendampingan dilapangan merupakan langkah-langkah strategis yang dapat diterapkan dalam jangka pendek dan menengah. Dengan komitmen dan kemauan untuk memajukan bangsa secara bersama-sama serta menjaga kedaulatan ekonomi nasional, harusnya kita bisa memiliki koperasi pertanian yang memiliki omset dan pangsa pasar konsumen terbesar setidaknya di Asia Tenggara. Mimpi untuk memiliki koperasi yang memiliki omset lebih besar dari perusahaan-perusahaan non koperasi seperti BUMN dan swasta bukanlah suatu yang mustahil bagi Indonesia bila kita memiliki komitmen untuk menggarap ide ini.


Komentar
--> -->