• Admin CfS
    Admin CfS
    Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Ideas

Inovasi Aplikasi Dalam Menghadapi Tantangan Bonus Demografi [TEST]

2019
Inovasi Aplikasi Dalam Menghadapi Tantangan Bonus Demografi [TEST]

Inovasi aplikasi ( platform ) sebagai daya ungkit memetakan potensi bonus demografi

Dalam sebuah seminar di salah satu kampus politeknik dengan tema Technopreneur saya pernah mengajukan pertanyaan ini , : “ Tahukah kamu akan tantangan bonus demografi? Tantangan di mana persaingan mendapatkan pekerjaan semakin sengit dan sempit, sehingga kamu tidak menyesali jurusan yang kamu pilih saat ini?”. Pertanyaan saya selanjutnya kepada mereka adalah, “ Siapakah di antara kamu yang sudah punya rencana menghadapinya ?”.

Pertanyaan ini, saya sampaikan kepada mereka, kaum muda kampus (milenial dan generasi Z ) yang sering diharapkan sebagai agent of change , di mana saya di undang dalam seminar dan berdiskusi mengenai topik isu tantangan bonus demografi. Belum ada yang tahu betapa ledakan penduduk muda produktif tersebut, yang akan mengalami dampak besarnya nanti di masa depan adalah generasi mereka.

Hal tersebut disebabkan ada sekitar 80-90 juta jiwa generasi muda berusia 15-34 tahun dari total 180 juta usia produktif ( usia 15-64 tahun ) yang akan terjun kedunia kerja atau berwirausaha pada tahun 2028-2030 pada puncak bonus demografi. Mirisnya, bagai buah simalakama, jika tahu saja belum, bagaimana pula paham menghadapinya ? Ibarat ingin maju dalam medan pertempuran, medan perangnya belum teridentifikasi dengan matang. Hampir bisa dipastikan, akan menelan korban lebih besar dan sia-sia, karena itu perlu langkah progresif dalam menghadapinya.

Jika melihat data yang pernah di paparkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia ( BPS ) tahun 2017, ada sekitar 7,04 juta pengangguran dan sebagian besarnya justru dialami oleh pendidikan diploma dan sarjana sekitar 856 ribu jiwa ( februari 2017 ) yang dilabeli memiliki keterampilan dan keahlian. Menyelisik data pengangguran pada tahun 2018 pada bulan februari, juga tidak jauh berbeda. Angka pengangguran terbuka sekitar 5,13 persen atau 6,87 juta jiwa yang kebanyakan pengangguran terdidik khususnya lulusan pendidikan vokasi.

Pemerintah, orang tua, kaum muda dan pihak-pihak terkait patut awas akan anomali ini. Kesimpulannya, jika berpendidikan saja menjadi pengangguran, bagaimana dengan yang tidak berpendidikan dan memiliki keahlian khusus \? Menjadi produktif adalah solusi yang jitu. Pertanyaannya sekarang, bagaimana menjadi produktif atau di mana angkatan usia produktif ini dapat bekerja atau memilih profesi mandiri dengan berwirausaha ?

Agar tenaga produktif ini dapat terserap dalam dunia kerja maupun berwirausaha mandiri, tentu harus ada sebuah sistem pendukung di mana seharusnya mereka berada agar lebih kompetitif. Dibutuhkan sebuah upaya terobosan. Terobosan yang dapat mengenali dan mengidentifikasi daerah-daerah yang berpotensi dimasuki dan peluang yang bisa digarap. Lantas, terobosan seperti apa yang dibutuhkan?

Kita membutuhkan pusat informasi pendukung yang terintegrasi dengan pusat-pusat data daerah, psikografi dan rancangan pembangunan daerah. Pusat informasi ini harus terdiri dari dua hal : edukasi & advokasi. Inovasi teknologi ini dengan sistemnya diinjeksi dengan dengan informasi faktual, data-data pendukung yang di miliki pemerintah daerah, dan perencanaan strategis pembangunan daerah sehingga warga khususnya usia produktif layak kerja tadi memiliki pengetahuan yang komprehensif dan dapat memilih sesuai dengan kemampuan kompetensinya dalam dirinya, di mana seharusnya ia bekerja atau berwirausaha ( Edukasi ). Aplikasi juga dapat menjadi semacam peta pribadi di mana tiap warga di mungkinkan untuk mencapai dan membangun karir hidupnya ( Lingkungan, perusahaan, demografi ).

Aplikasi teknologi edukasi akan menciptakan kepercayaan diri akan kompetensi pribadi yang dimiliki warga, karena kebutuhan tersebut sebelumnya sudah dalam proses pertimbangan dan analisa yang cukup sehingga pada akhirnya tidak timbul penyesalan di kemudian hari atau menggerutu bahkan menyalahkan pihak-pihak terkait akan pilihan jenis pekerjaan atau usaha yang dirasa kurang tepat.

Inovasi teknologi saat ini sungguh maju sangat pesat dan dukungan data di tiap daerah telah terbuka lebar bagi hadirnya platform aplikasi teknologi tersebut. Dengan cara ini , warga bisa melompat dan meningkatkan standar taraf hidupnya dengan lebih terukur dan efisien. Kita akan sangat jarang nantinya mendengar kerja karena “terpaksa” , karena tidak sesuai kompetensi atau “ peluang usaha tertutup”, atau malah menyebut “ salah wilayah “.

Data yang diolah dan dimanfaatkan dengan menggali potensi daerah merupakan unsur penting dalam memetakan kebutuhan warga. Data-data ini harus disinkronkan dengan rancangan pembangunan daerah dan juga harus cermat mengamati perubahan zaman. Perangkat daerah harus piawai menganalisa dan meneropong kebutuhan di masa depan. Sebagai ilustrasi, jika ingin mengembangkan industri pariwisata tentu sangat di perlukan infrastruktur transportasi yang memadai, tenaga kerja terdidik yang mendukung industri tersebut dan akses teknologi informasi dan komunikasi yang mumpuni sehingga masyarakat memiliki rencana strategis dalam memilih pekerjaan dan jenis usahanya. Dengan begitu haluan kesempatan pasar akan mudah terbaca.

Agar ini dapat terwujud dan dirasakan mamfaatnya, teknologi edukasi berdampingan dengan teknologi advokasi perlu segera diterapkan di tengah masyarakat. Organisasi sosial, organisasi masyarakat, akademisi maupun lembaga swadaya masyarakat menjadi pilihan relevan sebagai inisiator dan pengembang yang “memaksa” aplikasi teknologi dilahirkan. Dengan berbasis kesadaran kolektif melalui kolaborasi ide, kreatifitas, dan kajiannya ( advokasi ).

Dengan adanya aplikasi edukasi dan advokasi akan semakin mempercepat proses kebijakan pembangunan yang memprioritaskan warga masyarakat produktif khususnya generasi milenial. Para inventor dan pegiat teknologi yang tergabung dalam kesadaran kolektif tadi juga punya kesempatan besar dalam berkontribusi mengembangkan aplikasi tersebut.

Terobosan ini dapat dimulai dengan jejak digital dan riset yang tersedia cuma-cuma di ranah daring ( online ). Semakin banyaknya akun terverikasi di platform aplikasi tersebut, yang dapat di lakukan dengan pendaftaran media sosial pribadi, akan memetakan profil, membaca pola percakapan ataupun memproyeksi tren yang muncul di masa depan. Inilah biasanya yang di sebut dengan big data, di mana lintas data dan informasi di mamfaatkan untuk memahami berbagai kebutuhan manusia ( pekerjaan, produk, jasa, dan sebagainya ).

Keterwakilan tiap daerah di Indonesia yang tergabung dalam sebuah aplikasi juga akan semakin lebih efektif dan relevan mengolah maupun mengidentifikasi kebijakan pembangunan bagi generasi di masa depan , karena ada sharing informasi sehingga bonus demografi yang sering di perbincangkan saat ini tidak hanya sekedar gincu politik dan wacana yang tidak memiliki solusi apalagi aksi. Pertanyaannya sekarang, mau sampai kapan bangsa kita terlambat beradaptasi dengan inovasi teknologi ? Bukankah, Bung Hatta pernah mengingatkan : ” apa yang di lakukan oleh orang setelah mendengarkan khotbah,  jauh lebih penting dari apa yang di katakannya mengenai khotbah itu. “


Komentar
--> -->