Abstraksi
Sektor Industri pengolahan non-migas merupakan penyumbang kontribusi terbesar dalam Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, kontribusi sektor industri pengolahan non-migas menunjukkan kondisi yang fluktuatif dan cenderung menurun. Bahkan dalam 3 tahun terakhir ini, kontribusi sektor industri pengolahan non-migas cenderung terus menurun, yaitu 18,21% pada tahun 2016, 17,89% pada tahun 2017, dan 17,63% pada tahun 2018 (BPS, 2019). Sebagaimana Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tahun 2015, industri pengolahan non-migas terdiri atas 15 sub-sektor, meliputi (1) industri makanan minuman, (2) industri pengolahan tembakau, (3) industri tekstil dan pakaian jadi, (4) industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, (5) industri kayu, barang dari kayu dan gabus dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya, (6) industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman, (7) industri kimia, farmasi dan obat tradisional, (8) industri karet, barang dari karet dan plastik, (9) industri bahan galian bukan logam, (10) industri logam dasar, (11) industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik, (12) industri mesin dan perlengkapan, (13) industri alat angkutan, (14) industri furnitur, dan (15) industri pengolahan lainnya, jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan. Banyak jenis KBLI yang terkait langsung dengan industri pengolahan non-migas yang selama ini tersebar di luar kategori industri pengolahan (kategori C) yang tidak dihitung sebagai kontribusi sektor industri pengolahan. Sebagai gambaran, dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 30 Tahun 2017 tentang Jenis-jenis Pembinaan Direktorat Jenderal dan Badan di lingkungan Kementerian Perindustrian, ada sekitar 95 jenis KBLI yang tidak masuk dalam 15 sub-sektor industri pengolahan non-migas. 95 jenis KBLI tersebut tersebar di luar kategori C sehingga tidak dihitung sebagai kontribusi sektor industri pengolahan. Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, yang dimaksud industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri. Definisi ini sejalan dengan definisi BPS yang menyebutkan Industri Pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi/setengah jadi, dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir (termasuk dalam kegiatan ini adalah jasa industri/makloon dan pekerjaan perakitan/assembling). Hanya saja, dalam mendefinisikan jasa industri sangat berbeda. UU No. 3 Tahun 2014 menyebutkan jasa industri sebagai usaha jasa yang terkait dengan kegiatan industri. Definisi ini terlalu general dan luas, sehingga sangat sulit untuk memastikan bahwa aktivitas tersebut dapat disebut sebagai jasa industri. Sementara BPS mendefinsikan jasa industri sebagai kegiatan industri yang melayani keperluan pihak lain, bahan baku disediakan oleh pihak lain sedangkan pihak pengolah hanya melakukan pengolahannya dengan mendapat imbalan sejumlah uang atau barang sebagai balas jasa (upah makloon). Definisi tersebut tidak dapat disebut jasa industri, karena kegiatan sejenis makloon bukan lagi sebagai jasa industri, tetapi sebagai salah satu kegiatan industri. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Kementerian Perindustrian, telah melakukan kajian jasa industri untuk mendefinisikan jasa industri ini secara lebih spesifik dan detail. Dari beberapa referensi, dapat disimpulkan definisi jasa industri dalam 3 pendekatan, yaitu : a. Pendekatan umum Segala kegiatan yang memberikan nilai tambah tanpa terjadi proses pemindahan kepemilikan aset baik dalam proses produksi maupun setelah produk dimanfaatkan. b. Pendekatan teknis kegiatan industri yang melakukan pekerjaan terhadap bahan atau barang milik pihak lain untuk memenuhi kebutuhan pihak lain (industri lainnya atau konsumen), yang terlepas dari proses kegiatan manufaktur dengan mendapat imbalan (bukan merupakan biaya) sejumlah uang atau dalam bentuk barang sebagai balas jasa tersebut. c. Pendekatan hukum Suatu kegiatan yang mengeksploitasi kompetensi, pengetahuan, dan basis teknologi dari suatu proses industri oleh industri yang memiliki kemampuan di bidangnya dan dilakukan berdasarkan perjanjian kerjasama kedua belah pihak berdasarkan aturan yang berlaku Melalui pendekatan tiga definisi tersebut, ruang lingkup jasa industri dapat dikelompokkan dalam 8 jenis, yaitu (1) jasa reparasi, (2) pelatihan operasional, (3) jasa retrofit, (4) optimasi proses, (5) jasa safety inspection, (6) jasa maintenances, (7) penyewaan jangka pendek, dan (8) penyewaan jangka panjang. Berdasarkan definisi dan ruang lingkup jasa industri tersebut, terdapat 19 KBLI dalam kategori C sebagai jenis jasa industri. Demikian halnya 95 KBLI di luar kategori C dalam pembinaan Kementerian Perindustian juga sebagai jenis jasa industri. Sehingga dipandang perlu untuk pengelompokan subkategori jasa industri dalam kategori C agar lebih memudahkan dalam penghitungan kontribusi jasa industri dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebagai gambaran sederhana, 19 KBLI dalam kategori C dan 95 KBLI di luar kategori C tersebut, telah memberikan kontribusi terhadap PDB Indonesia mencapai 4-5 % tiap tahunnya. Kontribusi subkategori jasa industri juga cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa industri pengolahan non-migas tidak hanya bergantung pada industri komoditinya, namun menunjukkan adanya pergeseran ke arah jasa industri. Secara makro, ada indikasi terjadinya transformasi struktural perekonomian Indonesia dari sektor manufaktur ke sektor jasa, hal ini dapat dilihat dari komposisi PDB Indonesia tahun 2016 dimana kontribusi sektor jasa sebesar 45%, sektor industri 41%, dan sektor primer sebesar 14%. Negara-negara lain pun demikian, seperti Amerika Serikat yang mencapai 80% terhadap GDP-nya, Inggris yang mencapai 78% terhadap GDP-nya, dan China sebesar 51% terhadap GDP-nya (AT Kearney, 2017). AT Kearney (2017) juga menyebutkan kontribusi sektor manufaktur akan cenderung menurun, sementara sektor jasa akan semakin meningkat seiring waktu hingga tahun 2030. Tentunya ini sebuah potensi yang harus dipersiapkan untuk bertransformasi ke sektor jasa. Kementerian Perindustrian sebagai bagian dalam menjalankan tugas dan fungsi perumusan dan penetapan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan kebijakan di bidang jasa industri, tentunya harus mempersiapkan dalam membawa lini jasa industri untuk memberikan kontribusi yang semakin besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.