Kawasan Indonesia Timur terhitung sebagai wilayah yang paling banyak menyumbang angka kemiskinan di tingkat nasional. Wilayah Maluku dan Papua terutama, dicatat oleh BPS sepanjang tahun 2014-2017, sebagai daerah yang paling lamban dalam hal perbaikan kondisi kemiskinan. Di 2014, tingkat kemiskinan di keduanya mencapai 23,15 persen; tahun 2015 sebesar 22.04 persen; tahun 2016 sebesar 22,09 persen; dan tahun 2017 sebesar 21,23 persen (BPS, 2017). Apabila dibandingkan dengan kawasan lain seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, tingkat kemiskinan di Maluku, Papua, dan sebagian Nusa Tenggara tentu masih jauh tertinggal. Wilayah Indonesia bagian barat telah berhasil menekan prosentase penduduk miskin sebesar kurang dari satu digit (BPS, 2017).
Kemiskinan Multidimensi
Kita semua mahfum, dimensi kemiskinan bukan hanya menyoal besaran pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kemampuan penduduk untuk mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan juga patut dipertimbangkan. Untuk konteks kawasan Indonesia Timur, persoalan kemiskinan energi (energy poverty) menjadi salah satu faktor determinan penyebab kemiskinan tak berkesudahan yang dialami oleh mereka. Kemiskinan energi diartikan sebagai ketidaktersediaan akses terhadap sumber energi yang memadai untuk menopang kehidupan sehari-hari penduduk. Ada atau tidaknya infrastruktur layanan energi yang memadai sangat memengaruhi kualitas kehidupan dasar masyarakat di tingkat rumah tangga, efektivitas mereka dalam mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, bahkan juga ikut menentukan penyelesaian kemiskinan pendapatan secara keseluruhan.
Indikator yang paling umum digunakan untuk melihat kemiskinan energi di suatu wilayah adalah dengan melihat ketersediaan akses listrik dan penggunaan bahan bakar biomassa tradisional untuk memasak (UNDP, 2010). Kedua hal itu dipergunakan sebagai indikator untuk mengevaluasi capaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
Untuk konteks Indonesia, penggunaan sumber energi bukan listrik paling banyak dipergunakan oleh Provinsi Papua (49,10 persen), Nusa Tenggara Timur (27,86 persen), Papua Barat (13,61 persen), Maluku (11,86 persen), dan Maluku Utara (10,01 persen) (Susenas, 2016). Hampir seluruh penduduk di daerah tersebut tidak menggunakan listrik sebagai sumber penerangan utama. Mereka umumnya menggunakan sumber penerangan dari lampu minyak tanah atau lampu tempel. Daerah-daerah tersebut juga hanya menikmati listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar Papua (39,79 persen), Nusa Tenggara Timur (64,96 persen), Papua Barat (&4,87 persen), Maluku (83,58 persen), dan Maluku Utara (79,02 persen), sementara sisanya menikmati listrik dari non- PLN.
Sementara itu, wilayah di bagian barat Indonesia sudah menggunakan energi bukan listrik dengan prosentase yang sangat kecil, yaitu DKI Jakarta sebesar 0,10 persen; Jawa Barat sebesar 0,15 persen; Jawa Tengah sebesar 0,12 persen; DI Yogyakarta sebesar 0,07 persen, dan lain-lain (Susenas, 2016). Rata-rata penggunaan energi listrik PLN yang memasok daerah-daerah tersebut sudah mencapai angka lebih dari 90 persen.
Selain timpangnya akses terhadap listrik antara Indonesia bagian Barat dan Timur, penggunaan biomassa tradisional untuk memasak juga perlu dijadikan indikator dalam melihat kemiskinan. Penggunaan kayu bakar dan arang masih menunjukkan prosentase yang tinggi di kawasan Indonesia Timur, yaitu Nusa Tenggara Timur sebesar 77,58 persen; Papua sebesar 67,04 persen; Papua Barat sebesar 39,01 persen; Maluku sebesar 43,58 persen; Maluku Utara sebesar 58,22 persen, dan seterusnya (Susenas, 2016).
Kemiskinan energi yang ditunjukan dengan keterbatasan akses terhadap listrik dan infrastruktur teknologi memasak yang tidak memadai benar-benar memengaruhi kehidupan dasar masyarakat di Indonesia Timur. Mereka menjadi sulit untuk mengembangkan potensi terbaik daerahnya akibat adanya lack of energy access. Lebih jauh lagi, kemiskinan energi tersebut juga memiliki dimensi gender. Meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama terkena dampak, perempuan terbilang menjadi pihak yang paling dirugikan. Ketiadaan sumber energi membuat mereka harus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dalam kondisi gelap. Mereka juga khawatir melakukan aktivitas di malam hari karena rawan mengalami pelecehan seksual. Terlebih lagi untuk penduduk yang mata bermatapencaharian sebagai nelayan, ketiadaan sumber penerangan membuat mereka kesulitan menangkap ikan pada saat petang.
Untuk memperoleh sumber penerangan, mengerjakan pekerjaan rumah tangga sekaligus untuk memastikan anak-anak mereka bisa belajar di malam hari, para penduduk lokal biasanya menggunakan lampu kerosene. Penggunaan lampu kerosene sangat berbahaya karena tergolong dirty energy yang menyebabkan polusi rumah tangga. Di samping itu, alat penerangan itu juga tidak baik bagi kesehatan mereka. Sebagaimana ungkapan WHO, diperkirakan ada 6.5 juta penduduk dunia meninggal akibat penggunaan sumber energi tersebut.
Salah Kelola EBT
Pemerintah sudah mahfum, kawasan Indonesia Timur relatif jauh dari keterjangkauan PLN yang sumber energinya berasal dari batubara. Biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit listrik yang akan ditanggung oleh kawasan Indonesia Timur seperti Papua, Maluku, dan NTT menjadi dua kali lipat dibandingkan rata-rata biaya pokok penyediaan listrik nasional.
Di sisi lain, kawasan Indonesia Timur memiliki potensi energi terbarukan berupa angin dan tenaga surya yang cukup besar. Jenis sumber energi itu sangat cocok untuk masyarakat di kawasan tersebut karena terdesentralisasi dan jauh dari sumber energi batu bara. Namun demikian, proyek pengembangan energi terbarukan di Indonesia Timur baru berusaha untuk menjawab pertanyaan menyoal science (berapa proporsi karbon di atmosfer yang harus dicapai?); teknologi (apa teknologi modern yang perlu dikembangkan?; ekonomi (kapan energi tenaga surya dan angina akan semurah batu bara?; dan pertanyaan tentang elite management (siapa “experts” yang harus berperan untuk mengembangkan sumber energi terbarukan?).
Pertanyaan-pertanyaan seputar siapa yang akan memperoleh keuntungan dan kerugian dari sumber energi tersebut, suara siapa yang harus didengarkan, dan jenis sumber energi apa yang diinginkan oleh sebagian dari masyarakat di Indonesia Timur seolah luput dari perhatian. Lebih jauh lagi, pengembangan energi terbarukan yang ada kurang mempertanyakan aspek-aspek politik, seperti konflik kepentingan, control and ownership, colonialism, kelas, gender, ras, dan kekuasaan. Hal itu terlihat dari orientasi kerja Kementerian ESDM yang lebih banyak berkutat pada investor, tender, profit, prosentase sumber energi yang akan dihasilkan, dan lain-lain.
Energy Democracy Agenda
Demokrasi energi atau energy democracy menawarkan ruang kolaborasi antara ecological movements dan social movement, economic, dan workplace justice. Konsep ini berusaha untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat, termasuk masyarakat lokal, untuk ikut ‘menguasai’ sumber energi yang ada. Demokrasi energi tidak hanya menekankan pentingnya beralih dari sumber energi fosil, melainkan juga pentingnya kepemilikan publik atas sumber energi tersebut. Sean Sweeny dalam penelitiannya menyebutkan bahwa “energy democracy is about workers’ and communities’ ability to decide who owns and operates our energy systems, how energy is produced and for what purpose”. Konsep ini juga menekankan pentingnya kepemilikan lokal (local ownership) dan memastikan pengembangan sumber energi yang ada merupakan hasil dari partisipasi aktif masyarakat, keterlibatan para ahli energi, dan aktor-aktor lokal seperti ketua adat, pemuka agama, kepala desa, pelajar, manula, dan lain-lain.
Setidaknya, ada empat nilai yang termuat dalam konsep demokrasi energi, yaitu menjamin semua orang untuk dapat mengakses EBT dan memprioritaskan kebutuhan komunitas, rumah tangga, dan masyarakat lokal: meninggalkan sumber energi fosil dan beralih sepenuhnya ke sumber energi terbarukan; sumber energi yang ada “dikuasai” oleh publik dan terdapat dimensi social ownership; transisi dari energi fosil ke EBT menjamin hak-hak tenaga kerja (Energy Democracy, 2012). Konsep ini sangat berpihak pada kepentingan masyarakat lokal dan menentang monopoli EBT oleh kelompok-kelompok tertentu. Keterlibatan masyarakat lokal menjadi sangat penting, mengingat mereka adalah pihak yang paling dirugikan ketika terjadi kemiskinan energi. Sementara itu, mereka tidak memiliki kekuatan politik dalam menentukan kebijakan pengembangan energi terbarukan, karena tempat tinggal mereka yang tak terjangkau.
Konsep demokrasi energi menawarkan klaim politik secara eksplisit untuk mengambil alih kekuasaan pengembangan energi terbarukan oleh masyarakat lokal, ketika negara dan korporasi terlalu eksploitatif mencari keuntungan ekonomi. Konsep tersebut berangkat dari keyakinan bahwa kebijakan yang dirumuskan oleh negara tidak selamanya bersifat nir-kepentingan, sehingga aspek-aspek politik dan kekuasaan juga perlu disertakan.
Dalam bahasa sederhana, memastikan kawasan Indonesia Timur beralih ke sumber energi terbarukan saja ternyata tidaklah cukup. Pemerintah semua juga perlu memastikan, sumber energi yang ada tidak boleh lagi dikuasai oleh stakeholder tertentu. Masyarakat umum, terutama masyarakat lokal, juga perlu diberikan ruang untuk ikut serta menentukan kebijakan EBT dan menikmati sumber EBT yang ada secara demokratis. Dalam hal ini, konsep energy democracy agenda di Indonesia perlu mulai didengungkan.