Abstraksi
Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan nexus antara ketimpangan akses sarana dan prasarana, kepentingan perempuan, konflik sumberdaya alam, dan kebijakan pelayanan publik untuk daerah terpencil. Desa Praikaroku Jangga adalah salah satu dari 65 desa di Kabupaten Sumba Tengah yang letaknya tersisolir karena fasilitas transportasi dan komunikasi yang buruk. Setelah porak poranda karena konflik tambang emas, desa kaya sumber mineral Praikaroku tetap terisolir, terlupakan, berkembang mandiri, hampir tanpa perlindungan dan pelayanan publik. Studi etnografi yang digunakan untuk mengurai gerakan sosial melawan operasi multinasional korporasi tambang, membuka fenomena tentang limitasi pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta transportasi dan komunikasi. Metode etnografi poskolonial memfasilitasi data narasi, teks dan wacana yang tersembunyi menjadi pemakna dan pola nexus antar kekuasaan dan kekuatan dengan warga dan lingkungan. Narasi, teks dan wacana memastikan kelindan penguasaan, inferioritas dan ketidak-berpihakan kebijakan. Hasil studi memperlihatkan bahwa komunitas lokal punya pengetahuan yang komprehensif tentang pengelolaan alam dan preservasinya. Masyarakat, terutama komunitas perempuan, melawan korporasi tambang emas bukan hanya untuk mencegah kerusakan lingkungan; tetapi mereka mempertahankan sumber air, mencegah pencemaran, dan reservasi air bersih untuk sanitasi dan rumah tangga, serta keselamatan hewan dan pertanian. Desain penurunan ketimpangan akses masih menjadi impian masyarakat Praikaroku, sepertinya mereka meletakkan impian itu di ruang kosong kebijakan pelayanan publik.