Abstraksi
Sebagai negara anggota G-20, Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah besar yang mendasar, yaitu penyediaan akses sanitasi (pengelolaan air limbah domestik) untuk sekitar 86 juta penduduknya. Walaupun sudah merupakan urusan wajib pemerintah daerah dan terbukti menurunkan laju pertumbuhan pembiayaan kesehatan yang bersifat kuratif (PMU PPSP, 2015), pembangunan sanitasi dari anggaran APBD masih perlu terus didorong. Pemerintah pusat mendukung pemda dalam aspek pendanaan ini melalui berbagai cara: dana K/L (APBN Reguler), dana transfer berupa DAK, dana hibah berbasis kinerja, dan Dana Desa yang pemanfaatannya sudah termasuk untuk pembangunan sanitasi. Pemerintah pusat juga mendorong pendayagunaan dana zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf untuk pembangunan air minum dan sanitasi, menindaklanjuti fatwa MUI mengenai hal tersebut. Peningkatan dukungan dana pusat diluar APBN reguler K/L sejak tahun 2015 adalah lebih dari 104% dari APBN KemenPUPR, meningkat dibandingkan kurun waktu 2010-2015 (74%). Namun demikian, peningkatan dukungan dana ini masih belum menghasilkan peningkatan akses sanitasi yang sepadan, bahkan lajunya sedikit melambat: 2,41%/tahun (2007-2014) dibandingkan 2,15% (2014-2017). Makalah ini bermaksud untuk mengangkat tiga cara yang dapat meningkatkan akuntabilitas dan dampak dari berbagai sumber pendanaan yang tersedia, yang diperkirakan akan semakin besar di masa yang akan datang. Pertama yaitu melalui perencanaan sanitasi yang terintegrasi di kabupaten/kota sebagai upaya sinkronisasi sumber pendanaan yang berfokus pada lokasi dan target. Kedua, peningkatan kualitas monitoring keluaran dan dampak, salah satunya melalui penggunaan teknologi informasi, dan ketiga melalui penerapan skema hibah berbasis kinerja (output-based aid) dari APBN dan hibah luar negeri yang saat ini sudah menunjukkan kinerja yang baik dengan kualitas hasil (outcome) yang terjamin.