Abstraksi
ABSTRAK Paradigma pembangunan di Papua sejak orde baru hingga memasuki otonomi khusus masih mengalami tantangan. Sejauh ini pemerintah pusat melihat pembangunan di Papua lambat ataupun stagnan. Hal ini ditandai dengan indikator sosial-ekonomi masyarakat Papua yang masih memprihatinkan. Ironisnya, Papua memiliki sumber daya yang melimpah dan dengan dana otonomi khusus dimana triliunan rupiah telah digelontorkan untuk Papua, namun, masyarkat Papua masih terbelengku dengan isu kemiskinan, pendidikan rendah dan juga kondisi kesehatan yang buruk menyebabkan pemerintah daerah frustasi dalam membangun Papua. Fenomena ini tentunya memicu adanya sekolompok masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI karena pemerintah gagal dalam mensejahterakan masyarakat Papua. Kegagalan pembangunan era orde baru di Papua disebabkan oleh pembangunan berorientasi pada wilayah administratif tanpa melihat ¬sentuhan socio-cultural masyarakat Papua yang begitu kompleks. Menyikapi fenomena tersebut pemerinath Provinsi Papua telah mencanangkan pembangunan berbasis wilayah adat pada tahun 2014, dimana model pembangunan tersebut mengacu pada pendekatan antropologi. Implikasi dari kebijakan tersebut, Papua terbagi menjadi lima pembangunan wilayah adat terdiri dari Mee Pago, La Pago, Hanim, Saireri dan Mamta. Dengan berjalannya waktu ternyata penerapan model pembangunan wilayah berbasis adat mengalami kendala, sehingga masih terdapat disparitas pembangunan di Papua. Makalah ini akan mengkaji secara kritis implikasi kebijakan pembangunan berbasis wilayah adat serta membahas kelemahan dan juga menganalisa dinamika pembangunan, dan indikator ekonomi serta sosial, sehingga nantinya kajian ini dapat memberikan rekomendasi yang konstruktif terhadap implementasi kebijakan pembangunan berbasis wilayah adat di