• Taradhinta Suryandari
    Taradhinta Suryandari
    Mahasiswa tingkat akhir di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Saat ini juga menjadi asisten peneliti di proyek penelitian gerakan nirkekerasan dan hak atas air.
Papers

Ketimpangan Pemenuhan Akses Air Bersih di Kabupaten Malang dan Pandeglang: Sebuah Analisis Diskursus

2018

Abstraksi

Makalah ini berupaya menganalisis penyebab ketimpangan pemenuhan akses air bersih di Kabupaten Malang dan Pandeglang. Makalah ini penting karena dua hal. Pertama, RPJMN 2015-2019 menargetkan akses universal atas air minum dan sanitasi layak harus dipenuhi pada tahun 2019, tetapi baru 71,14% yang dipenuhi pada 2016. Kedua, studi terdahulu menjawab permasalahan ini dengan pendekatan teknis; keterbatasan finansial dan infrastruktur, kondisi demografi, dan topografi. Meskipun penting, ia cenderung mengaburkan dimensi politis seperti relasi kekuasaan dan dinamika struktur sosial yang memengaruhi kebijakan terkait. Oleh karenanya, tulisan ini akan menganalisis dimensi politis dari ketimpangan pemenuhan akses air bersih. Secara spesifik, akan digunakan analisis diskursus (Laclau dan Mouffe, 2001). Diskursus merupakan sebuah jalinan ide, praktik dan aksi yang secara parsial menetapkan makna sebuah objek dan menjadikannya hegemonik. Hal ini membuat objek tersebut dinormalisasi dengan cara tertentu, serta menyaratkan adanya eksklusi terhadap cara pandang alternatif. Makalah ini menganalisis kontestasi diskursus dalam mengisi makna dari ‘akses’ sebagai arena politis yang sama-sama dipertarungkan, termasuk strategi pembentukan jejaring lintas-kepentingan yang digunakan oleh para aktor untuk mengartikulasikan diskursusnya. Makalah ini berargumen bahwa ketimpangan akses air bersih terjadi karena adanya kontestasi diskursus mengenai prasyarat dasar terhadap akses air bersih. ‘Idle capacity’ sebagai prasyarat dasar menjadi diskursus hegemonik yang menciptakan batasan politis terkait “siapa yang berhak mendapatkan akses”. Akibat hegemoni prasyarat tersebut, masyarakat yang tidak memiliki ‘idle capacity’ namun lebih membutuhkan akses air, menjadi terkesampingkan. Makalah ini diharapkan berimplikasi bagi pembuatan kebijakan pemenuhan akses air bersih yang lebih peka dan emansipatif terhadap kondisi empiris maupun diskursus alternatif yang terdapat di masyarakat.

Komentar
--> -->