Abstraksi
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, namun dalam kenyataannya hingga saat ini hak masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional belum sepenuhnya terlindungi yang mengakibatkan keberadaannya terpinggirkan, serta munculnya konflik sosial dan konflik agraria di wilayah adat sehingga perlu dilakukan upaya pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan. Situsi pelik ini terjadi pada masyarakat hukum adat Pekasa di Kabupaten Sumbawa, NTB, masyarakat hukum adat pekasa mengalami kriminalisasi bahkan stigmatisasi oleh pemerintah terhadap akses pengelolaan hutan di kawasan hukum adat. Pemerintah mengabaikan eksistensi mereka, berdasarkan legitimasi UU Kehutanan yang mempropagandakan pembangunanisme. Pasca putusan PUU Kehutanan pun belum mampu menyelesaikan konflik ini di lapangan. Urgensi belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur hal pengakuan masyarakat hukum adat secara umum serta peraturan daerah yang mengatur hal pengakuan masyarakat hukum adat pekasa. Harapan setelah adanya pengakuaan serta perlindungannya, maka akan lebih mudah melakukan pemberdayaan bagi masyarakat hukum adat pekasa untuk mengelola sumber daya alam baik berupa hasil hutan, maupun kebun (lada, kemiri dan tanaman lainnya) sebagai sumber ekonominya dan kebutuhan pangan sehari-hari berbasis ekowisata demi mewujudkan kesejahterannya tanpa pula mengabaikan kelestariaan lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-legal, dengan mengkombinasikan pendekatan hukum dan ilmu-ilmu sosial lainnya meliputi ekonomi, politik, sejarah, sosiologi dan antropologi.