• Hayu Fadlun Widyasthika
    Hayu Fadlun Widyasthika
    Bekerja sebagai PNS di BPS Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Pendidikan yang pernah ditempuh yaitu D-IV Statistik Sosial dan Kependudukan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dan magister Ilmu Ekonomi di Universitas Sriwijaya. Penelitian yang pernah disusun bertemakan kemiskinan, gender dan pertumbuhan ekonomi.
Papers

Sekolah Gratis Untuk Semua : Meninjau Implementasi Program Pendidikan di Sumatera Selatan

2019

Abstraksi

Tingkat pendidikan tersier di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand apalagi Singapura. Berdasarkan hasil Programme for International Students Assessment (PISA) 2015, Indonesia menempati urutan enam puluhan dari 69 negara yang menjadi peserta tes, dimana Singapura justru menempati urutan pertama. Hal ini tidak mengherankan karena menurut data BPS, jumlah penduduk yang berijazah Diploma dan Sarjana pada 2018 hanya sebesar 8,75 persen. Pemerintah telah mengalokasikan dua puluh persen dari APBN untuk meningkatkan kualitas pendidikan penduduk Indonesia. Berbagai program pendidikan juga dicanangkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Beberapa program yang telah diluncurkan Pemerintah Pusat meliputi Dana BOS, Program Indonesia Pintar, Bantuan Siswa Miskin, Bidik Misi dan LPDP. Sedangkan contoh program pendidikan dari pemerintah daerah salah satunya dengan Sekolah Gratis di mana Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi yang menerapkan kebijakan tersebut. Kebijakan Sekolah Gratis di Sumatera Selatan ditetapkan sejak tahun 2009 dengan sasaran program yaitu sekolah dari SD-SMA/SMK/Sederajat kecuali kelompok belajar paket. Kemudian di tahun 2014, pemerintah provinsi Sumatera Selatan meluncurkan program Kuliah Gratis dengan alokasi 2000 peserta setiap tahunnya dan di tahun 2018 telah mencapai 8000 peserta program. Program Sekolah Gratis menunjukkan indikasi adanya pengaruh positif terhadap tingkat pendidikan di Sumatera Selatan meski masih menyisakan pekerjaan yang belum tuntas. Hal ini ditunjukkan dari Angka Partisipasi Sekolah mulai dari SD/Sederajat sampai SMA/SMK sederajat mulai beranjak naik dari tahun 2006 sampai 2017. Begitu juga rata-rata lama sekolah yang semula 7,60 tahun pada 2006 menjadi 8,41 tahun pada 2017. Namun sayangnya, angka putus sekolah masih cukup tinggi. Jumlah penduduk usia 16-18 tahun yang putus sekolah berkisar 30 persen dan pada usia 19-24 tahun bahkan masih di atas 80 persen. Peningkatan angka partisipasi sekolah SMA ke atas yang masih diiringi dengan tingginya angka putus sekolah pada usia 16-24 tahun tentu menimbulkan pertanyaan apa yang menjadi alasan penduduk usia 16-24 untuk tidak melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi individu untuk tidak melanjutkan pendidikan mulai dari SMA sederajat sampai dengan Universitas. Keputusan dalam menempuh pendidikan tersier dipengaruhi oleh karakteristik yang melekat pada individu, karakteristik rumah tangga, dan faktor regional. Sehingga variabel yang akan digunakan yaitu klasifikasi daerah, jenis kelamin, keikutsertaan program PIP dan akses internet sebagai variabel independen. Kemudian variabel dependen yang digunakan yaitu partisipasi sekolah penduduk kelompok usia 16-18 tahun dan 19-24 tahun. Variabel-variabel tersebut akan dianalisis menggunakan Analisis Regresi Logistik. Data yang digunakan bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2017. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa penyebab utama individu usia 16-18 tahun untuk tidak melanjutkan sekolah menurut jenis kelamin yaitu alasan bekerja, tidak ada biaya sekolah pada penduduk laki-laki. Sedangkan pola pada perempuan yaitu karena tidak ada biaya sekolah dan menikah. Hasil ini juga tidak jauh berbeda jika dilakukan analisis spasial. Pada daerah perkotaan dan pedesaan, penduduk usia 16-18 tahun yang tidak melanjutkan pendidikan didominasi dengan alasan bekerja dan tidak ada biaya sekolah. Kemudian alasan yang mendominasi lainnya adalah karena merasa sudah memiliki pendidikan yang cukup. Pola yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada kelompok penduduk usia 19-24 tahun. Alasan utama penduduk kelompok umur ini untuk tidak melanjutkan sekolah sampai pendidikan tinggi karena bekerja. Jika analisis dibagi secara wilayah maka penduduk perkotaan memiliki alasan bekerja, tidak memiliki biaya dan merasa memiliki pendidikan cukup. Sedangkan di pedesaan, alasannya adalah karena bekerja, tidak ada biaya sekolah dan menikah. Begitu juga jika dilihat dari jenis kelamin maka alasan utama penduduk laki-laki usia 19-24 tahun tidak melanjutkan sekolah yaitu karena bekerja dan tidak memiliki biaya. Sedangkan alasan utama pada penduduk perempuan yaitu karena menikah. Hal ini sama seperti yang disampaikan BPS dan UNICEF (2015) dimana pernikahan muda merupakan salah satu faktor penghambat dari partisipasi sekolah tersier. Penelitian ini juga menghasilkan bukti dari analisis regresi logistik bahwa penduduk usia 16-18 tahun yang tinggal di desa memiliki peluang lebih besar untuk tidak melanjutkan pendidikan dibanding penduduk kota. Kemudian penduduk yang tidak mendapat PIP (Program Indonesia Pintar) juga memiliki peluang yang lebih besar untuk tidak melanjutkan studi sampai ke jenjang yang lebih tinggi dibandingkan penduduk yang memperoleh PIP. Sedangkan penduduk perempuan memiliki peluang lebih kecil untuk putus sekolah dibandingkan laki-laki. Dan penduduk yang tidak mengakses internet memiliki peluang lebih besar dibandingkan penduduk yang mengakses internet. Hasil serupa juga terjadi pada kelompok penduduk usia 19-24 tahun. Kemudian hasil regresi logistik juga menunjukkan faktor yang paling mempengaruhi penduduk usia 16-24 tahun untuk melanjutkan sekolah ke pendidikan tinggi adalah keikutsertaan PIP (bantuan dana pendidikan) dan akses internet. Hal ini tentu selaras dengan hasil analisis dekstriptif sebelumnya dimana alasan utama untuk tidak melanjutkan pendidikan karena tidak adanya biaya (faktor ekonomi) sehingga mereka memililih untuk bekerja atau menikah (perempuan). Sedangkan akses internet sangat berperan pada akses terhadap berbagai informasi terutama di era digitalisasi revolusi industri 4.0 saat ini dimana informasi mengenai beasiswa maupun pekerjaan di sektor formal lebih banyak disebarkan secara daring. Impikasi kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian ini baik untuk Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Selatan maupun Pemerintah pusat yaitu memperluas bantuan pendidikan bagi penduduk kelompok pendapatan menengah kebawah. Bantuan pendidikan disini bukan hanya untuk pendidikan tersier namun juga pendidikan sekunder. Karena angka putus sekolah untuk pendidikan sekunder masih tinggi. Selain itu memperluas pembangunan infrastruktur untuk Internet terutama di daerah pedesaan. Akses internet gratis dan berkecepatan tinggi diperlukan untuk akses informasi yang lebih cepat bagi penduduk pedesaan.

Komentar
--> -->