Abstraksi
Sekalipun berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi, namun para petani dan nelayan di Gorontalo justru masih terjerat kemiskinan akut. Di satu sisi, sektor agrikultur masih menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Gorontalo dari tahun ke tahun (7,45% per Agustus 2018). Sementara di sisi lain, kontribusi para petani, pekebun, dan nelayan terhadap angka kemiskinan keseluruhan (16,8% per Juli 2018) juga sangat signifikan. Selain pergeseran habitus, kedua profesi tersebut juga harus berhadapan dengan perubahan iklim dan kebijakan pembangunan daerah yang justru mengabaikan kepentingan mereka. Sustainable Development Goals (SDGs), yang diadopsi Indonesia sejak 2015, sejatinya telah merancang penyelenggaraan pemerintahan yang baik sebagai salah satu elemen terpenting bagi pengentasan masalah tersebut. Pemerintah idealnya dapat berfungsi sebagai moderator bagi kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi masyarakat. Dengan mengacu pada asas hukum administrasi negara Indonesia, salah satu instrumennya adalah melalui eksistensi acuan hukum (rechtmatigheid dan wetmatigheid) yang tepat guna. Namun situasi menjadi sulit ketika peraturan perundang-undangan itu sendiri tidak berkarakter responsif. Utamanya ketika proses legislasi di tingkat lokal sendiri dengan sengaja mengabaikan data yang akurat dan kredibel, serta tidak berorientasi pada penyelesaian masalah. Dalam konteks kelompok ekonomi agraris, peraturan-peraturan daerah yang dihasilkan pada kurun 2013-2018 berkaitan dengan sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan sangat terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, pengaturan tentang proses penyusunan produk hukum daerah di Indonesia perlu dirombak agar menjadikan orientasi kepada data dan bukti sebagai keharusan. Penelitian ini kemudian disusun sebagai sebuah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan utama sosiolegal untuk mengakomodasi disiplin keilmuan sosial lainnya. Penelitian sosiolegal beroperasi melampaui keterbatasan pembahasan mengenai norma, dengan menjangkau konteks yang lebih luas (metayuridis). Di Indonesia, proses legislasi daerah dilaksanakan secara renteng oleh kepala daerah dan DPRD. Penelitian ini kemudian beranjak dari fungsi peraturan daerah yang dihasilkan keduanya sebagai instrumen transformasi dan emansipasi sosial, sebagaimana didalilkan para pemikir Sociological Jurisprudence. Teori ini digunakan untuk membedah panduan penyusunan peraturan daerah—khususnya di Gorontalo—sejak di level undang-undang hingga peraturan daerah. Ditemukan bahwa panduan-panduan tersebut mengatur bahwa peraturan daerah dapat dibentuk berdasarkan amanat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau menampung kondisi khusus di daerah. Panduan-panduan tersebut juga telah mengamanatkan adanya kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis di dalam proses legislasi. Sayangnya, keleluasaan tersebut cenderung tidak dimanfaatkan dengan baik di Gorontalo, khususnya dalam mengadvokasi permasalahan kelompok ekonomi agraris. Melalui peraturan daerah yang disusun berbasis data dan berorientasi penyelesaian masalah, idealnya gap sejenis dapat dientaskan perlahan. Penggunaan metode evaluasi hukum yang lebih komprehensif, seperti ROCIPPI ditambah analisis ekonomi-politik, perlu diadopsi secara formal sebagai suatu landasan penyusunan produk hukum. Pada akhirnya, peraturan daerah dapat memberikan koridor permulaan bagi kebijakan pemerintah daerah yang lebih sensitif pada keberlanjutan petani, pekebun, dan nelayan di Gorontalo. Beberapa kebijakan yang membutuhkan landasan hukum tersebut seperti asuransi, subsidi, dan/atau insentif perpajakan daerah. Di masa depan, seiring dengan berkurangnya kontribusi sektor agraris pada perekonomian negara lain, para petani dan nelayan Gorontalo justru dapat mengambil peran yang lebih penting.