• Muis Fajar
    Muis Fajar
    I works as a GIS analyst at WRI Indonesia’s Riau Office with the main duty to provide spatial analysis for One Map Initiative at the Landscape Level. He has long been familiar with GIS and remote sensing works as he formerly worked in a multinational palm oil companies, consulting firms, and some international NGOs focusing on disaster risk reduction and environmental issues
Papers

Inisiasi Profesi Fasilitator pemetaan partisipatif untuk mendorong perencanaan di tingkat desa yang lebih akurat dan inklusif

2019

Abstraksi

Salah satu implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang sedang berjalan saat ini adalah kebutuhan untuk penyelenggaraan data dan informasi geospasial yang mutakhir, berkualitas dan terintegrasi. Hal ini adalah kunci untuk melaksanakan tata guna lahan yang inklusif dan berkelanjutan di tingkat nasional hingga desa. Pada level nasional, Kebijakan Satu Peta bertujuan untuk memfasilitasi penyelenggaraan data dan informasi geospasial serta memberikan satu referensi peta yang sama dalam proses perencanaan, implementasi dan monitoring/evaluasi program. Kebijakan ini berdasarkan pada Perpres No. 9 Tahun 2016 yang didorong melalui lima pilar yaitu; kebijakan, kelembagaan, teknologi, standard dan sumber daya manusia. Padahal saat ini dan pada masa yang akan datang dibutuhkan banyak sumberdaya manusia untuk pemetaan di tingkat tapak (M & Astrika, 2018). Hal ini berimplikasi terhadap beberapa hal, antara lain; 1. Belum terpetakknya berbagai potensi desa secara spasial (Samsu, Suramenggala, Komarudin, & Ngau, 2005), padahal berpengaruh cukup siginifikan terhadap sistem tata kelola lahan dan pengembangan sumber mata pencaharian bagi masyarakat desa. Melalui pemetaan potensi desa yang komprehensif, maka diharapkan dapat diketahui hasil pertanian, perkebunan, pertambangan dan jenis sumber penghasilan lain yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan di tingkat desa. 2. Tumpang tindih perizinan dengan lahan yang diakui oleh masyarakat berdampak pada tingginya potensi konflik di tingkat desa (Hadijah, 2017). Seperti konflik antara masyarakat desa dengan perusahaan (izin konsesi/HGU) dan dengan kawasan hutan (KLHK). Oleh karenanya, pemetaan partisipatif di tingkat desa dapat membantu proses transformasi konflik lahan yang banyak terjadi. 3. Proses penyelenggaraan kebijakan Satu Peta membutuhkan skema berbagi pakai dan keterlibatan berbagai pihak hingga ke tingkat desa (Hasyim, Subagio, & Darmawan, 2016), namun selama ini hanya peran pemerintah saja yang cenderung mendominasi proses pemetaan. Masyarakat desa juga harus berperan aktif untuk proses pemetaan desanya. Oleh karenanya, pemahaman dan partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan melalui pembentukan tim pemetaan desa atau fasilitator desa. Tim ini bertujuan untuk mempercepat proses pemetaan, mendukung pengembangan potensi ekonomi dan sistem informasi desa. Berdasarkan Permedagri no 45 Tahun 2016 tentang pedoman penetapan dan penegasan batas desa telah dibentuk tim Penetapan dan Penegasan Batas Desa di tingkat nasional hingga Kabupaten/kota. Tim ini sendiri cenderung lebih sebagai verifikator atau validator data – data tentang batas desa. Namun, di tingkat desa sendiri masih belum ada fasilitator desa atau kelompok masyarakat yang secara khusus membantu proses pemetaan desa. Padahal untuk mempercepat proses pemetaan batas dan potensi di tingkat desa, maka perlu diinisiasi dan dilatih kelompok masyarakat seperti pemuda untuk berpartisipasi dalam mengumpulkan data spasial tentang batas dan potensi desa. Fasilitator desa saat ini sedang dikembangkan oleh WRI Indonesia di Desa Gajah Bertalut, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Sejak tahun 2017, proses pemetaan dan penetapan batas desa sudah dilakukan di desa ini yang sebagian besar melibatkan para pemudanya. Kelompok ini mengumpulkan data – data tentang potensi desa mereka, mulai dari batas desa, peta perencaan penggunaan lahan, potensi hasil hutan bukan kayu, lokasi potensi ekowisata, lokasi spesifik tentang aturan adat, potensi keanekaragaman hayati hingga detil area pemukiman. Dalam prosesnya, fasilitator pemetaan desa berfungsi untuk membantu masyarakat dalam menandai lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan. Data yang dihasilkan akan menyesuaikan dengan standar yang berlaku, seperti toponimi. Hal ini dikarenakan masyarakat dan pemerintahan desa yang mengetahui secara detil tentang lokasi yang ada di desa. Namun, rendahnya kapasitas pemerintah desa dan masyarakat desa menjadi salah satu tantangan yang harus segera ditangani. Salah satunya dapat ditingkatkan melalui proses bertukar pengalaman, lokakarya pengenalan awal tentang Sistem Informasi Geografi di tingkat Desa dan training penggunaan aplikasi pemetaan berbasis android. Secara umum, tugas fasilitator desa akan melingkupi 5 fase, antara lain; 1. Orientasi dan pemberdayaan awal 2. Asesmen data spasial tingkat desa 3. Pembentukan kelembagaan pengelola wilayah desa 4. Pengembangan kelembagaan, data dan standard pemetaan 5. Integrasi data spasial yang ada dengan tata ruang. Dari 5 fase tersebut, saat ini fasilitator desa baru terlaksana di tingkat desa, padahal untuk pengembangan yang lebih luas dibutuhkan pengembangan regulasi untuk memperkuat kelembagaan, data dan standard pemetaan agar dapat terintegrasi langsung dengan proses penataan ruang di tingkat Kabupaten. Oleh karenanya, Fasilitator pemetaan desa merupakan agen perubahan di tingkat desa yang secara umum akan menghasilkan 3 hal, antara lain; data spasial yang akurat, peningkatan kapasitas para pemuda desa untuk proses pemetaan dan pengembangan potensi mata pencaharian baru. Contoh data – data spasial yang dapat dihasilkan, antara lain; Batas desa yang disepakati bersama oleh pihak yang berbatasan, Tata ruang desa atau tata ruang adat yang dapat terintegrasi secara langsung dengan Rencana Detil Tata Ruang, identifikasi lahan – lahan yang mengalami tumpang tindih dan peta potensi ekonomi desa. Sedangkan untuk peningkatan kapasitas, para pemuda dapat didorong untuk membuka lapangan pekerjaan baru sebagai professional pemetaan desa. Selain itu, data – data spasial dan peta potensi desa yang dihasilkan oleh fasilitator desa akan menjadi dasar untuk pengembangan mata pencaharian baru di tingkat desa, seperti sektor pertanian, hasil hutan bukan kayu dan sektor perikanan.

Komentar
--> -->