Abstraksi
LATAR BELAKANG Di tengah pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang pesat, perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sektor pertanian termasuk karet. Pada tahun 2016, terdapat sekitar tiga juta hektar perkebunan karet yang tersebar di 27 provinsi dengan 80% lahan dikelola oleh petani kecil dan perorangan—ini menjadikan monokultur karet terluas di Indonesia sesudah kelapa sawit, dan lebih besar daripada kokoa (sekitar 1,7 juta hektar). Skala industri karet alam di Indonesia pun telah menyerap sekitar 2,5 juta tenaga kerja dan menempatkan Indonesia sebagai negara kedua terbesar dalam mengekspor karet, atau setara dengan 30% permintaan dunia. Kontribusi industri karet alam kepada PDB juga cukup signifikan, yaitu sekitar 3,47% dari total PDB (2017). Dalam dua tahun belakangan, harga karet dunia menurun secara drastis yang diakibatkan oleh kelebihan pasokan (oversupply) karet alam yang kualitasnya tidak sesuai dengan karet medical grade. Jumlah penawaran yang melebihi permintaan pun membuat harga karet menurun. Per tanggal 25 Maret 2019, harga karet mencapai harga 1,46 dolar Amerika per kilogram, jauh menurun dibanding tahun 2011 sebesar 4 dolar per kilogram. Bila dikonversi ke nilai rupiah dan dikurangi biaya ekspor dan lain-lain, maka harga karet murni di Indonesia berkisar pada Rp 17.000,- per kilogram. Beberapa faktor dapat dikaitkan dengan kondisi ini: Pertama adalah kemurnian karet. Harga karet dunia adalah harga untuk karet murni, sedangkan karet yang dijual petani masih tercampur dengan air, ranting, dan dedaunan. Kedua, petani karet juga kesulitan mendapat harga yang lebih tinggi karena penjualan karet bergantung pada tengkulak—rantai nilai yang panjang membuat harga jual rendah. Ketiga, tanpa ada pengolahan yang baik atau proses hilirisasi produk karet alam mentah, petani akan terus menjadi pihak yang paling dirugikan dalam penurunan harga karet. Penurunan harga karet ini secara khusus menjadi tantangan bagi petani kecil, termasuk masyarakat di sepanjang Sungai Subayang, Kabupaten Kampar, Riau. Berdasarkan data etnografis yang dihimpun oleh WRI Indonesia, petani karet pernah mengalami masa kejayaan di tahun 2010 dengan harga jual karet mencapai Rp 15.000,-/kg, dibandingkan saat ini yang hanya Rp 5.000,-/kg. Penelitian ini akan berfokus pada masyarakat Desa Gajah Bertalut, Kabupaten Kampar sebuah desa yang terletak di kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (SMBRBB)—saat ini sudah memiliki status masyarakat hukum adat. Sebagai masyarakat yang telah lama bergantung pada komoditas karet, Desa Gajah Bertalut dan masyarakat lain di sepanjang Sungai Subayang menghadapi kerentanan pekerjaan dan sumber penghidupan. Kebutuhan sehari-hari semakin sulit dipenuhi karena penghasilan yang menurun. Perubahan harga jual ini juga mempengaruhi rasionalitas masyarakat untuk mencari alternatif mata pencaharian, salah satunya melalui penebangan kayu. Media pun menyoroti maraknya aktivitas penebangan kayu di wilayah konservasi ini. Masyarakat kerap digadang sebagai pelaku kriminal atas kayu-kayu yang sengaja dihanyutkan di sepanjang Sungai Subayang menuju Pelabuhan Gema untuk diambil para pengepul. Analisis tree cover loss melalui Global Forest Watch menemukan bahwa kawasan SMBRBB mengalami deforestasi seluas 319,70 Ha sepanjang tahun 2000 – 2017 atau 0,23% kawasan. PERTANYAAN PENELITIAN Penelitian ini mengajukan pertanyaan, “Bagaimana pengaruh harga karet terhadap laju deforestasi di kawasan Rimbang Baling selama periode 2014-2019?”. Pertanyaan ini ingin mengetahui lebih jauh bagaimana kondisi perekonomian berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan, dan juga strategi yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan di tengah himpitan ekonomi. TUJUAN PENELITIAN Tim peneliti berharap makalah ini dapat memberi rekomendasi praktis tentang strategi yang dapat dilakukan masyarakat untuk meningkatkan sumber penghidupannya tanpa harus merugikan hutan sekitar mereka. Dengan beberapa kajian sosio-ekonomi yang telah dilakukan di Desa Gajah Bertalut, makalah ini akan menginisiasi rumusan praktis berdasarkan konteks yang sesuai dengan lingkungan setempat. Usulan dalam penelitian ini juga dapat menjadi referensi bagi komunitas lain di Indonesia yang bergantung pada sektor pertanian dan menghadapi tantangan serupa. METODE PENELITIAN Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur di mana makalah akan didasarkan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh WRI Indonesia di Desa Gajah Bertalut. Pertama, Buku Profil Gajah Bertalut yang mendalami konteks masyarakat termasuk sejarah, sistem adat, mata pencaharian, kondisi geografis dan lingkungan. Ini juga akan didukung penelitian yang sedang berjalan tentang hak perempuan atas lahan dan sumber daya, yang menunjukkan keragaman akses masyarakat atas lingkungan sekitarnya. Kedua, penelitian tentang hubungan antara pendapatan masyarakat dan hasil hutan serta sumber daya alam lainnya. Ketiga adalah penelitian yang dilakukan RCCC UI berupa pemetaan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lingkungan alam dan prediksinya (scenario planning). Kajian ini akan fokus pada: • Produksi karet di Indonesia dan sebagai sumber penghidupan masyarakat Gajah Bertalut • Analisis mata rantai produksi dan distribusi karet di tingkat tapak • Analisis strategi untuk mengembangkan komoditas karet yang sesuai dengan konteks masyarakat. Selain itu, penelitian ini akan melihat potensi alam lainnya yang dapat menjadi diversifikasi penghidupan masyarakat.